Anya bergegas menuju lift. Dalam lift yang tidak terlalu penuh, Anya menghitung lantai demi lantai dalam hati. Terasa lama baginya.
Sesekali ia melihat ke dinding lift yang memantulkan bayangan dirinya yang tampak jelas. Penampilannya siang ini cukup oke seperti biasanya. Lebih terlihat oke dibandingkan penampilannya saat bertemu Pasha di Takengon. Mengingatnya lagi membuat Anya kembali menyesali pilihan kostumnya saat itu.
Anya lalu beralih merapikan rambut curly panjangnya.
Sempurna! Batinnya.
Anya menghela nafas. Namun hanya sesaat. Teringat sesuatu yang tidak boleh ia lewatkan. Bau badan!
Hidung mancungnya pelan-pelan mengendus-endus aroma kedua ketiaknya. Sebenarnya, setiap hari Anya tidak pernah melewatkan mengoleskan deodorant yang katanya tahan 48 jam pada ketiaknya. Namun ia tetap khawatir, apalagi jika ia sedang berkeringat cukup banyak.
Setelah membaui dua ketiaknya. Anya tetap masih memikirkan apa lagi yang telah ia lewatkan. Ia harus sesempurna mungkin tampil di depan Pasha.
Sepatu mungkin? Anya melihat ke bawah, pada kakinya yang dibalut sepatu heels hitam berbahan beludrunya. Matanya menangkap penampakan debu di ujung sepatunya. Perlahan Anya menarik keluar kaki kanannya dari sepatunya, lalu mengusapnya dengan telapak kakinya perlahan-lahan untuk menghapus debunya.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai 5. Anya mengangkat wajahnya tepat setelah ia membersihkan ujung sepatunya. Ia melihat Artha berdiri tepat di depan pintu lift yang terbuka di lantai lima. Anya mengerjapkan mata hampir tak percaya dengan penglihatannya. Lelaki itu tampak telah memangkas sangat pendek rambut kribo mengembangnya. Tidak ada lagi rambut kemoceng yang biasanya ia lihat selama ini.
Senyum lelaki itu mengembang menemukan Anya diantara pengguna lift lainnya, berada di pojok paling belakang lift.
"Mau kemana lo?" sapa Artha setelah berhasil masuk atau tepatnya memaksa menerobos orang-orang dan berhasil berdiri tepat di samping Anya.
"Eh elo pak Raden...ngapain kemari?" Anya malah balik bertanya.
Artha menghela nafas kesal. Kesal dipanggil pak Raden karena membuat seisi lift serempak melihat ke arahnya.
"Abis meeting sama client. Terus lo mau kemana?" Artha bertanya menyelidik. Anya tampak berbeda dari biasanya siang ini.
"Gue mau pergi lunch," jawab Anya riang.
"Sama siapa? Menor amat." Artha mengkritik tanpa ragu penampilan Anya yang siang itu sedikit lebih tebal dari biasanya. "Mau lunch apa mau ngelenong?" ledeknya dengan nada menyebalkan.
"Rese deh lo. Cantik gini dibilang mau ngelenong. Gue ada janji lunch sama Pasha," Anya menimpali dengan senang.
Mendengar nama Pasha, Artha melengos sebal.
"Kenapa lo keliatan nggak suka?" tukas Anya tanpa basa-basi. "Gara-gara kalah ganteng ya?" tukasnya lagi membalas Artha.
Artha hanya memberinya tatapan geli. Artha tidak ingin membahas lagi tentang Pasha. Lebih baik mengalah karena tidak ada gunanya berdebat dengan Anya.
Ting!
Pintu lift akhirnya terbuka di lobi. Anya bisa melihat Pasha sudah menunggunya di tengah-tengah lobi.
"Lo nggak kepengen nyapa dia?" tanya Anya sambil keluar lift bersamaan dengan Artha.
"Gue buru-buru," jawab Artha menolak dengan cepat. "Salam aja."
"O iya, gue udah bilang ke Arini. Dia mau kenalan ama lo."
Artha mengangkat sebelah alis tebalnya.
"Untuk lebih jelasnya, nanti malam gue chat lo, ok. Gue pergi dulu." Anya cepat-cepat menghampiri Pasha. Artha memilih pergi ke arah lain. Seolah tidak ingin berpapasan dengan Pasha apalagi sampai mengobrol sebentar untuk basa-basi.
"Hai!" Anya melangkah dengan cepat hingga bunyi hentakan demi hentakan heels-nya terdengar cukup keras. Berhasil membuat beberapa pasang mata melihat penasaran ke arahnya.
"Kamu keliatan lebih cantik siang ini." Pasha memuji Anya yang siang itu sempat mendapat kritikan dari Artha karena make up-nya.
"Terimakasih." Anya tersipu sambil menyelipkan sejumput rambutnya ke telinga.
"Mau makan di mana?" tanya Anya.
"Kayaknya aku tahu sebuah tempat makan yang enak." Pasha mengangkat lengannya agar Anya menggamitnya. Mengajak Anya menuju mobil sedan hitam mewahnya.
Sepanjang jalan menuju tempat makan rekomendasi Pasha, lelaki itu bercerita panjang lebar tentang dirinya.
"Jadi kamu sudah lama tinggal di Jakarta?" Anya menanyakan kiprah Pasha.
"Setelah lulus SMA, aku pindah dari Banda Aceh ke Jakarta untuk kuliah. Setelah lulus kuliah sempat kerja selama tiga tahun di perusahaan otomotif lalu resign dan kelola perusahaan keluarga di Jakarta sampai sekarang."
"Wow."
"Tapi aku sempat pindah ke Medan enam tahun yang lalu, buka cabang di sana. Tapi nggak sampai setengah tahun, aku balik lagi ke Jakarta. Hingga beberapa bulan yang lalu aku ketemu sama ayah kamu."
"Pertama kali ketemu Ayah di mana?" Anya penasaran.
"Pertama kali ketemu di Takengon. Waktu itu aku sedang melihat-lihat perkebunan kopi. Mencari mitra untuk usaha kopi kami."
Anya hanya bisa speechless mendengarnya. Kiprah Pasha terdengar cukup mengagumkan.
Lalu ayah kamu cerita kalau punya anak perempuan cantik." Pasha melirik sambil tersenyum. Lesung pipit dalam di pipinya saat tersenyum atau tertawa makin membuat Pasha tampak lebih tampan sepuluh kali dari pria mana pun di mata Anya. Anya love this guy!
Anya tersipu malu Pasha memujinya cantik. Hatinya langsung berbunga-bunga.
"Terus kenapa cewek secantik kamu masih sendiri? Aku dengar dari Ayah kamu, katanya kamu itu bandel," Pasha melontarkan pertanyaan yang membuat Anya kembali tersanjung sekaligus kesal dengan Ayahnya. Bisa-bisanya Ayah menjelek-jelekan putrinya di depan Pasha. Meski Ayahnya ada benarnya juga. Anya memang bandel juga suka membangkang sejak kecil.
"Masa Ayahku bilang gitu? Teganya Ayah…" Anya menunduk malu.
"Tapi setelah bertemu langsung dengan kamu di Takengon, aku rasa Ayah kamu nggak sepenuhnya benar deh. Aku nggak liat ada cewek bandel yang pernah aku dengar sebelumnya?" Pasha melirik Anya sambil tersenyum.
"Ah masa?"
"Iya, masa aku bohong?"
"Terus kenapa kamu juga belum nikah? Kamu kan lebih tua dari aku?" balas Anya. Mengapa lelaki seganteng dan setajir Pasha masih betah melajang.
Pasha tertawa keras sambil memutar setirnya, belok ke kanan dengan gerakan santai.
"Aku terlalu sibuk. Sepertinya..." Pasha lalu menyalakan tape mobilnya. Terdengar lagu Back At One-nya Bryan McKnight. Anya suka lagu itu. Sampai-sampai ikut bersenandung lirih.
"Suka juga lagu ini?"
Anya mengangguk keras.
"Tapi aku nggak menyesal sih kalo sampai sekarang belum nikah." Pasha ternyata melanjutkan lagi pembahasan mereka.
"Kenapa?" Anya menoleh sempurna pada Pasha yang tersenyum sambil menatap ke depan jalan.
"Karena akhirnya aku ketemu kamu." Pasha berkata sambil meraih tangan kanan Anya dan mengusapnya lembut. Melelehkan hati Anya yang ingin rasanya cepat-cepat mencari lapangan hijau lalu lari-lari riang sambil menyanyikan lagu India.
Namun faktanya Anya bisa membalasnya dengan ucapan, "Gombal."
Hanya itu yang ia bisa, untuk menutupi betapa ia hampir melayang dari tempatnya duduk. Ia sudah terlalu sering dirayu oleh banyak lelaki. Tapi belum pernah semanis ini rasanya.
Anya sampai tak henti-henti mencuri pandang pada Pasha yang menyetir sambil sesekali bersenandung menirukan Bryan McKnight bernyanyi. Suaranya cukup merdu. Sayang Anya hanya bisa memandangnya takjub tanpa bisa mengikuti Pasha bersenandung. Ia tidak ingin merusak merdunya suara Pasha dengan suara sumbangnya.
Kemudian ia pun berkhayal. Dalam khayalannya. Anya akhirnya dilamar Pasha saat candle light dinner di suatu tempat yang romantis, lalu segera menikah. Honey moon. Selanjutnya punya bayi selucu Everest dan Ellora seperti nasib sahabatnya, Amor.
Anya sudah tidak sabar lagi menunggu hingga saat itu tiba.
Namun khayalan manis itu ambyar saat Pasha tiba-tiba bertanya soal Artha. "Cowok yang waktu di Takengon itu gimana kabarnya?"
"Artha?"
"Iya. Sebenarnya aku sempat mengira sebelumnya kalo kalian itu pacaran."
Duaaarrr!!! Pernyataan berbau tuduhan Pasha membuat Anya kebingungan untuk menjawab.
"Habis kalian tampak sangat dekat," tambahnya dengan nada menggoda.
"Mmm…anu…Artha itu sahabat gue. Makanya kita keliatan deket banget." Anya akhirnya menemukan alasan dalam kepanikannya. "Sampai sering disangka pacaran. Tapi dia sudah punya seseorang yang dia suka sebenarnya."
Pasha tersenyum mendengar jawaban Anya lalu berkata, "syukurlah."
"Kok syukur?"
"Iya lah aku bersyukur. Syukur aku jadi nggak punya saingan," ujarnya makin membuat Anya melambung dan jadi ingin lari-lari mengelilingi Stadion Gelora Bung Karno.
"Kita sampai," ujar Pasha sambil memutar kemudinya belok ke kiri jalan. Memasuki parkiran sebuah restoran Minang yang sangat terkenal.
"Makan di sini?" Anya kaget karena tempat lunch mereka jauh dari ekpektasi Anya yang awalnya mengira Pasha akan mengajaknya lunch di sebuah restoran yang romantis. Meski siang-siang bolong begini.
"Nggak suka? Kita bisa cari tempat lain yang kamu suka."
Anya buru-buru menggeleng keras. "Suka kok! Suka! Kita berdua kan sama-sama punya lidah Sumatra. Masa nggak suka." Anya nyengir lebar.
Pasha tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala.
"Lain kali aku ajak kamu ke tempat yang bagus," katanya lagi dengan raut wajah dan nada suara menyesal.
Yaelaaah bang, kamu ajak aku lunch ke warteg aja aku mau baaaang! Batin Anya.
****
Artha sedang berkutat dengan tumpukan pekerjaannya saat ponselnya berdenting. Anya kirim chat.
Anya: Pak Radeeen!
Artha melotot menatap layar ponselnya. Sejak Anya mengetahui nama lengkapnya dan sejak pulang dari Aceh, perempuan itu kerap memanggilnya pak 'Raden'.
Artha mengetik chat balasan.
Artha: Ada apa Cut Anya Maulida Saleh? Anaknya bapak Abdullah Saleh.
Anya: Anya aja pliss.
Artha: Nggak mau. Cut...cut...cut....
Anya: Kalo bandel gue batal comblangin lo ama Arini nih.
Artha: Ok. Gimana jadinya neng Anya? Katanya mau nge-chat nanti malem? Kangen gue ya?
Anya: Are you choking on a banana skin?
Artha tertawa hingga memukul meja. Anya dan selera humornya yang menggemaskan
Anya: Najiss kalo sampe kangen ama lo. Ketemuan yok!
Artha: Ngapain ngajak ketemuan kalo lo nggak kangen? Kepala lo abis kejedot pintu mobilnya Pasha?
Anya: Nggak usah GR deh. Ini soal Arini. Lebih cepat lebih baik. Gue nggak suka punya hutang lama-lama. Gue tunggu di cafe deket kantor gue.
Artha: Kapan?
Anya: Gimana kalo sekarang aja lo kemari. Gue udah di café sama Arini.
Artha melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Waktu baru menunjukan pukul tujuh malam.
Artha mengetik balasan.
Artha: Tunggu gue sekitar satu jam lagi.
Anya: Lama amat?
Artha: Lo kira gue Superman yang bisa terbang? Gue naik mobil, Anyak. Jam segini jalanan udah pasti macet.
Anya: Ya udah, gue tunggu. Cepetan!
Artha mengantongi ponselnya, merapikan pekerjaan di mejanya lalu bergegas keluar dari ruangan dan berpapasan dengan Jovan yang hendak ke ruangannya.
"Mau kemana lo? Gue baru mau ngajak lo ngopi sebelum pulang." Jovan mengangkat kemasan kopi yang Artha berikan kemarin sebagai oleh-oleh.
"Lain kali aja, bos. Gue harus pergi sekarang. Urgent," Artha menepuk bahu Jovan sebelum pergi.