"Cut...pukul sebelas nanti kawan ayah datang. Pakai baju yang pantas. Kalo bisa pakai gamis. Kalo Cut nggak punya pinjam sama Rahma..." pesan sang Ayah.
Tetapi Anya menggeleng tidak setuju sambil meninggalkan ayahnya, menuju kamarnya.
Anya sudah bertekad tetap akan mengenakan apa yang ia mau dan ia suka. Lagi pula untuk apa mengenakan gamis? Mau pergi pengajian? Untuk apa pinjam ke Rahma? Lebih baik Anya tidak mengenakan apa-apa ketimbang mengenakan baju Rahma, istri ayahnya.
Anya membuka kopernya. Ia memilih mengenakan t'shirt hitam yang akan ia lapisi dengan kemeja flanel kotak-kotak biru yang lengannya ia gulung hingga siku. Tidak lupa celana jeans hitam. Rambutnya pun ia kuncir asal-asalan. Anya sengaja berpenampilan setomboy mungkin agar tampak buruk di mata kawan ayahnya. Bahkan ia sampai rela tampil nyaris tanpa make-up. Anya berharap penampilannya nanti menjadi salah satu alasan gagalnya perjodohan itu.
"Lo jadi lebih mirip petani Amerika ketimbang perempuan Aceh," Artha mencibir saat pertama kali melihat Anya keluar dari kamar dengan penampilan seperti itu.
"Gue sengaja!" timpal Anya. "Kalo gue dandan cantik pake gamis segala, yang ada itu laki langsung nyeret gue ke penghulu, gimana?"
Artha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sambil berusaha membayangkan Anya yang bergamis dan tampak soleha dengan hijab. Andai Anya memakainya, jangankan lelaki itu, Artha pun bisa saja langsung berubah pikiran lalu menyeretnya ke KUA.
"Karena bokap gue tetep ngotot mau ngenalin gue ke kawannya, jadi rencananya begini...Nanti di depan mereka kita pura-pura mesra, ok?"
"Mesra kayak apa contohnya?" tanya Artha memancing,
"Gandengan misalnya. Dan gue mungkin akan ngerangkul pundak lo jika diperlukan." Anya menjelaskan salah satu skenarionya.
"Hmmm...gue suka ide lo..." Artha sumringah sambil menggerak-gerakan kedua alis tebalnya ke atas membayangkan adegan demi adegan mesra yang bakal ia lakoni nanti.
"Tapi ingat! Lo jangan ambil kesempatan dalam kesempitan ya?!" Anya melayangkan tatapan mengancam.
"Ok. Ada scene ciuman juga nggak?" Artha iseng-iseng bertanya. Siapa tahu benar-benar ada.
"Ngarep!" Anya kembali melayangkan tatapan sengit.
"Mana bisa nggak ada? Bukannya agar lebih meyakinkan," protes Artha sambil kedua tangannya meraih segumpal rambut kribonya lalu mengikatnya ke atas hingga persis kemoceng namun efeknya langsung membuat wajah Artha tampak cerah seolah tanpa semak-semak.
Mata besar Anya melotot lebar.
"Gue tampol bolak-balik ya pake sepatu kalo lo sampe berani improvisasi!" Anya mengacungkan ankle boots-nya ke dekat wajah Artha.
Lelaki rambut kemoceng itu hanya tertawa menanggapinya.
"Gue serius," ujar Anya sambil mengenakan sepatu ankle boots-nya yang berbahan kulit lembu, bahkan tangannya sempat mampir bertumpu di bahu Artha.
Tiga puluh menit kemudian. Sebuah mobil Ford Ranger berwarna hitam masuk ke halaman villa. Anya yang mengintip dari balik tirai jendela langsung melirik Artha memberi isyarat bahwa opera sabunnya akan segera dimulai. Anya menghampiri Artha sambil mengulurkan tangannya, "gandeng."
Dengan senang hati Artha menyambut tangan itu dan meremasnya dalam gandengannya.
"Biasa aja kali, Tha." Anya memberi peringatan.
"Katanya minta digandeng?"
"Tanpa mengurangi rasa hormat, please gandengan kasual aja. Jangan kek gandengan mesum mau ngajak ngamar," tukas Anya judes.
"Astaga, Anyak! Suudzon aja deh lo. Gue cuma sedang menghayati peran gue jadi pacar lo," Artha berdalih.
"Setelah ini lo bakal berhutang budi sama gue," ujar Artha lagi mengingatkan sambil mencubit hidung mancung Anya yang langsung ditepis dengan cepat.
"Iya gue nggak akan lupa. Arini kan?"
Artha hanya mengerlingkan sebelah matanya sambil tersenyum kecil. Tapi tangannya makin mengeratkan genggaman tangannya pada jemari tangan Anya. Sekali lagi ditatapnya wajah Anya hingga perempuan itu merasa ada yang aneh pada Artha.
"Lo liat apa?"
"Kalo ternyata kawan bokap lo ganteng dan lo ingin berubah pikiran gimana? Nggak nyesel?"
Anya tertawa. "Gue tahu selera bokap gue. Nggak pernah beres. Percaya deh ama gue. Dan muka lo biasa aja kale jangan tegang gitu. Santai Tha..."
"Ok." Artha meringis. "Ayok! Kita mulai dramanya. Dosanya dibagi dua tapi banyakan di elo ya?"
"Iyaaaa…pak Raden! Gue yang tanggung semuanya juga boleh." Anya tertawa.
Dengan tangan bergandengan, Artha membawa Anya keluar menuju halaman villa. Menemui sang tamu istimewa yang ditunggu-tunggu.
Di halaman, di depan mobil Ford Ranger hitam, tampak pak Teuku Abdullah Saleh sedang mengobrol akrab dengan seorang pria bertubuh tinggi tegap. Pria itu masih berdiri membelakangi Anya yang baru datang bersama Artha. Lelaki itu mengenakan jas berwarna abu-abu dan bercelana jeans. Penampilan rapi namun tetap tampak kasualnya itu mengingatkan Anya pada penampilan pria-pria berjas dalam setiap drama Korea yang sering ia tonton. Membuat Anya sempat ragu jika usia pria itu setua Ayahnya.
Saat melihat Anya keluar, pak Abdullah Saleh pria 60 tahun itu tampak kurang senang dengan penampilan Anya yang tidak sesuai dengan harapannya. Terlebih lagi malah sengaja bergandengan tangan dengan Artha. Tampak jelas putrinya sedang berusaha membangkang padanya.
Meski raut wajah ayah Anya tampak malu melihat penampilan Anya yang menurutnya kurang pantas itu, tetap saja ia harus mengenalkan putrinya dengan pria kenalannya yang telah jauh-jauh datang dari Banda Aceh demi bertemu dengan putri satu-satunya itu.
"Cut, kemari." Sang Ayah melambaikan tangan kanannya. "Kenalkan ini kawan ayah," katanya dengan nada suara yang terdengar lunak meski mata tajamnya menatap tidak senang pada Artha yang terus menggandeng putrinya di depan matanya.
Masih bergandengan erat dengan Artha, Anya melangkah mendekat dengan was-was. Bersamaan dengan pria kawan Ayahnya yang berbalik dan menampakan wajahnya yang ternyata…
Tampan rupawan.
Bibir Anya sontak terperangah lebar. Begitu pula dengan Artha.
"Hai..." Pria itu pun tampak terkejut melihat Anya yang datang bergandengan tangan dengan pria lain. Pria yang rambutnya mirip kemoceng.
Anya yang tampak terkejut langsung tersadar dan melepaskan gandengan tangan Artha sambil melangkah maju. "Kamu kan..."
"Kita pernah ketemu sebelumnya bukan?" Pria itu berusaha memastikan hal yang sama seperti yang dirasakan Anya.
Ingatan Anya kembali ke masa sekitar satu setengah tahun yang lalu. Pada acara pernikahan sahabatnya, Amor dan Jovan. Saat ia berebut buket bunga pengantin yang dilemparkan kepada para wanita lajang yang berdiri penuh damba di belakangnya.
Saat buket bunga dilemparkan dan melambung cukup tinggi, reflek Anya bergerak mundur ke belakang hingga keseimbangannya terganggu dan ia pun sampai jatuh terjengkang. Beruntung ia jatuh tepat di dalam pelukan seorang pria yang membuat mereka berdua pada akhirnya sama-sama terjatuh. Bersamaan dengan itu buket bunganya jatuh tepat dalam pelukan Anya.
Pria malang yang waktu itu tertimpa tubuhnya adalah pria yang kini berdiri di depannya. Pria dengan wajah rupawan yang pesonanya langsung menyihir Anya. Hingga Anya nyaris kehilangan kata-kata setiap kali kedua mata mereka saling bertemu.
"Pasha Iskandar." Pria itu mengulurkan tangan kokohnya menjabat tangan Anya. Jabatan tangannya bahkan terasa hangat hingga membuat hati Anya berdesir aneh. "Waktu itu aku lupa mengenalkan diri."
"Anya." Wajah Anya sampai merona merasakan hangatnya jabat tangan Pasha yang hampir menyelimuti seluruh tangannya.
Anya seketika menyesal karena telah berburuk sangka dengan pilihan ayahnya. Setelah ini Anya akan melakukan sujud syukur ke segala penjuru.
Anya memang belum sempat mengenal Pasha setelah insiden itu. Karena Pasha pergi begitu saja setelah menolongnya. Tanpa pernah disangka-sangka mereka akhirnya bertemu lagi pada hari ini. Pada moment yang telah direncanakan oleh sang Ayah.
"Aku sungguh nggak menyangka ternyata kamu adalah putri bapak Abdullah Saleh. Andai aku tidak pernah bertemu dan berbisnis kopi dengan ayah kamu mungkin kita berdua belum tentu akan bertemu lagi seperti sekarang ini," ujarnya panjang lebar saat keduanya semakin dekat berdiri berduaan. Mengabaikan Artha yang tampak kesal karena Anya banting setir mencampakannya.
Anya tersipu hingga pipinya merona. "Aku juga nggak menyangka ternyata kamu lah kawan Ayah. Maaf ya waktu itu aku sampe lupa berterima kasih kamu udah nyelamatin dari sakitnya jatuh ke tanah. Saat itu badan kamu pasti sakit banget ya?" Anya mengingatkan Pasha akan peristiwa setahun yang lalu.
"Nggak kok, badan kamu ringan. Aku nggak kesakitan. Justru bersyukur," ujar Pasha tanpa ragu mengeluarkan gombalannya.
Sementara di belakang mereka, Artha yang menguping pembicaraan keduanya rasanya ingin muntah. Artha juga ingat peristiwa itu. Andai Anya tahu, Artha pun layak mendapat ucapan terima kasih itu.
Pria itu Pasha Iskandar, teman sekaligus rekan bisnis, Jovan bosnya. Artha ingat benar karena pernah dua kali berjumpa dengannya. Pria yang sok keren berjas Prada itu memang menangkap tubuh Anya yang jatuh. Tapi tanpa pernah Anya tahu hingga kini, bahwa Artha lah yang paling menderita saat itu. Saat itu alih-alih Artha ingin menangkap tubuh Anya, malah ia yang tertimpa tubuh Pasha yang mendahuluinya menangkap tubuh Anya.
Merasa diabaikan, Artha mundur perlahan. Menahan wajahnya agar tetap tampak cool meski diam-diam kedua tangannya terkepal keras di balik kedua saku celananya.
Pak Asrul pegawai ayah Anya yang entah sejak kapan berdiri di sebelah Artha, pun ikut menepuk-nepuk bahu Artha dengan tatapan prihatin. Lelaki Gayo itu pasti menyangka Artha sedang bersedih. Karena sekuat-kuatnya pria di dunia, jika dicampakkan begitu saja seperti itu perasaannya pasti hancur.
"Nggak apa-apa, pak. Saya kuat kok." Artha membusungkan dadanya. Menahan sesuatu yang tiba-tiba masuk lalu menusuk-nusuk dadanya.
"Ngapain lo duduk di sini?" Anya mengusir Artha dengan setengah berbisik. Saat mereka berempat duduk di teras villa untuk menikmati racikan kopi hasil perkebunan.
"Geser sana jangan deket gue." Anya gelisah dengan ulah Artha yang sengaja duduk sangat dekat di sampingnya. Sementara Pasha duduk di seberangnya bersama sang Ayah. Sesekali menatap mereka berdua sambil berbincang-bincang dengan Ayah Anya.
"Nggak mau," Artha balas berbisik. "Jangan lupa, peran gue saat ini masih jadi pacar lo," timpal Artha sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Shit! Gue lupa." Anya akhirnya menyadari.
Tanpa aba-aba, Anya menarik Artha masuk ke dalam ruangan. Ia perlu bicara tegas dengan Artha. Mengakhiri sandiwara mereka berdua detik itu juga.
"Ok, peran lo udah selesai sekarang dan gue sungguh berterimakasih banget ama lo. Gue nyesel Tha. Ternyata doi ganteng abis. Sorry ya gue udah ngerepotin lo sejauh ini. Tapi gue nggak akan lupa kesepakatan kita. Gue langsung comblangin lo ama Arini setelah balik ke Jakarta. Ok?"
Artha diam tak bergeming sambil terus menatap bola mata Anya. Ia sungguh kecewa dengan sikap Anya yang sekarang padanya, namun tidak tega menghapus binar bahagia pada bola mata indah itu. Hingga Artha hanya bisa menjawab, "ok."
Anya tersenyum lebar, menyentuh bahu Artha dengan cukup lama dan berkata, "Sekali lagi maaf ya Tha udah bikin lo repot. Tau nggak, hari ini gue seneeeeng banget. Kalo hubungan gue dengan Pasha mulus hingga ke depannya, selamanya gue nggak akan pernah lupakan jasa lo ini."
Artha terpaku. Bahkan Anya begitu percaya diri akan berhubungan serius dengan orang itu. Beberapa detik kemudian Artha berkata, "Apa nggak terlalu cepat lo percaya begitu saja pada orang itu?"
Anya terdiam. Artha benar. Biasanya dia memang tidak mudah percaya dengan orang asing. Tapi Pasha bisa dibilang bukan orang asing lagi. Anya menghela nafas, memahami kekhawatiran Artha padanya.
"Gue memang biasanya nggak gampang percaya sama orang Tha. Tapi kali ini beda. Gue yakin banget Tha. He's the one…"
"…"
"Dia jodoh gue."