Marah....
Sangat marah...
Pastinya aku sangat marah....
Rasa perih di dada...,marah.....
kecewa....rasa tidak percaya.....
dan rasa-rasa yang lain memenuhi rongga dadaku.
Membuatku merasa sesak dan sulit bernafas.
Aku sangat terkejut dan hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
Darahku bergejolak...
Dadaku terasa sesak....
Kepalaku berdenyut keras.
Pandangan mataku menjadi buram Khayalan yang selama satu Minggu ini menghiasi mimpiku kini menguap entah kemana.
Keinginanku untuk meresmikan hubungan antara aku dan Pipit kepernikahan yang resmi agar sah secara hukum dan agama, kini pupus sudah.
Tertatih aku kembali ke dalam mobil.Kuatur jok mobil agar bisa sedikit rebahan di sana.Sejenak Aku rebahkan tubuhku untuk menetralisir perasaanku.
Aku tertawa miris mengingat nasibku.
Aku tarik nafas panjang dan melepaskannya secara perlahan.
Menikah diusia yang sangat muda, dengan gadis yang juga belum cukup usia. Cukup membuat aku merasa sebagai laki-laki yang bodoh.
Ketidak mampuan ku menolak keinginan ayah menjadikan diriku seorang pecundang.
Dan kini sebutan apa yang pantas aku sandang.....
Disaat aku mulai menyadari bahwa aku mulai jatuh cinta pada istri kecilku.
Disaat aku mulai berkhayal membangun rumah tangga yang normal dengannya.
Aku terbuai oleh angan-angan semu.
Aku dihadapkan pada pemandangan yang tidak aku duga sebelumnya.
Aku harus menyaksikan Pipit bersama laki-laki lain.
Menyaksikan wanita yang sudah aku nikahi selama lebih dari tujuh tahun dan kini mulai aku cintai, berjalan beriringan dengan pria lain.
Benih cinta yang mulai tumbuh meninggalkan sesak di dada dan rasa sakit yang luar biasa.
Aku meremas rambutku dengan kasar.Aku tatap langit-langit mobil sambil tersenyum sendiri.Aku hanya bisa mentertawakan nasib yang kini aku jalani.
PECUNDANG....BODOH....."
Gumamku sambil memukul-mukul setir mobil.
Entah berapa lama aku sibuk merutuki nasibku. Setelah merasa cukup tenang dan sedikit kelaparan, aku kembali menjalankan mobil.
Aku bermaksud pulang ke rumah.
Yah aku harus pulang...
Aku harus hadapi semua....
Bukan waktuku untuk lagi menghindar apa lagi lari dari masalah.
Jika memang ini waktunya aku melepaskan Pipit, seperti janjiku yang pernah aku ucapkan pada diriku sendiri,aku pasti akan lepaskan dia.
Tapi.....
Benarkah aku bisa melepaskannya....
Kenapa ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul ketika aku berfikir untuk melepaskannya..
"Ya Tuhan kenapa hidupku menjadi begitu rumit.' batinku.
Mungkin aku harus menghibur diriku sendiri.
Mungkin sebaiknya aku tidak usah langsung pulang.
Aku harus mencari hiburan yang bisa membuat aku merasa lebih rileks.
Mungkin jika aku menelepon teman-teman semasa kuliah dulu itu bisa sedikit membantu aku melupakan Pipit.
Yah aku harus segera menelpon Reno dan Edo.
Mudah-mudahan mereka tidak sibuk dan belum mengganti nomor teleponnya.Pikirku bersemangat.
Aku pelankan laju mobilku dan segera menepi ditempat yang aman.
Kubuka hpku dan mencari nomor kontak Roni dan Edo.
Untunglah mereka belum mengganti nomor kontak mereka.
Akhirnya setelah berbasa-basi sebentar akhirnya kami pun setuju untuk bertemu sore selepas mereka bekerja.
Setelah menelpon teman-temanku aku batalkan niatku untuk pulang ke rumah.
Aku arahkan mobil ke salah satu apartemen milikku.
Aku memiliki dua apartemen.Satu apartemen aku dapat dari ibu saat aku ulang tahun ke 20tahun sedang satunya lagi aku beli dengan uang tabungan ku selama aku bekerja di Amerika.
Masalah apartemen selama ini ibuku yang mengurus.Ketika aku membeli apartemenku ibu juga yang memilih dan mengurus semua,aku hanya transfer uang saja.
Ibuku masih memiliki beberapa apartemen yang disewakan.
Ibuku memang bukan tipe wanita sosialita yang suka membeli barang-barang branded atau perabot-perabot yang berharga mahal.
Dia lebih suka menyimpan uangnya dengan membeli apartemen sebagai investasinya.
Apartemen-apartemen itu ada yang dijual kembali ada juga yang disewakan.