"Maaf....."hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Ibu tersenyum sambil menggenggam tanganku.
"Kamu tidak salah...."
"Kamilah yang salah...."
"Maafkan ayah dan ibu karena sudah membuat hidupmu jadi tidak nyaman."
"Kami tidak akan memaksa kamu lagi"
ujar ibuku sambil tersenyum dan mengusap air matanya yang sudah membasahi pipinya.
"Pipit gadis yang baik..."
"Ibu sangat menyayanginya....."
"Tadinya ibu berharap kalian bisa bersama selamanya dan bisa memberi kami cucu yang cantik dan tampan."
"Ibu fikir rasa cinta kalian akan tumbuh seiring berjalannya waktu."
"Tapi kini ibu menyadari bahwa perasaan itu tidak bisa dipaksakan."
"Semua keputusan ada ditanganmu."
"Ayah juga sudah menyadari kekeliruannya, beliau sangat menyesal."
"Ayah tidak akan memaksa kamu lagi."
"Kali ini kaulah yang putuskan apa yang terbaik untuk mu."
"Tapi kalo boleh ibu memberi saran cobalah untuk berfikir ulang tentang keputusanmu agar tidak ada penyesalan di kemudian hari."ucap ibuku dengan suara yang lembut.
Aku hanya bisa diam. Kata-kata bijak dari ibu membuat ku menjadi bimbang. Ingin aku ungkapkan perasaan yang tidak bisa lagi untuk kutahan. Namun aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Sulit sekali rasanya untuk aku sekedar mengungkapkan perasaa yang saat ini berkecamuk di dalam dada.
Sesuatu yang selama ini kuyakini sebagai kebenaran kini mulai aku ragukan.
Aku hanya bisa tertunduk sambil kembali menyesap sisa kopi yang mulai dingin.
"Sudah benarkah keputusanku?"
"Apa ini yang aku mau?"
"Apa Pipit merasa bahagia dengan caraku?"
Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam Kepalaku.
Ku usap wajahku dengan kedua tanganku. Kucoba mengusir rasa sakit di kepalaku dengan memijit pelipisku .
Senyum serta tangisan Pipit seperti bayangan yang terus berkelebat di depan mataku.
"Ibu harus pulang sekarang....."
"Renungkan lagi kata-kata ibu ,Bay...."
"Masih ada waktu untukmu jika ingin berubah pikiran."ucap ibu lagi membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk sambil berdiri mengantar ibu yang sudah berjalan keluar.
"Oh iya..... Ayahmu berpesan agar kau segera masuk kantor."
"Sebaiknya malam ini kau pulang ke rumah karena ada beberapa hal yang ingin ayah bicarakan denganmu."
ujar ibuku sambil menepuk pundakku.
"Baik....."ucapku singkat dan padat.
Ibu kembali tersenyum dan melangkah pergi setelah memberi salam dan memberiku ciuman sayang di pipi.
Dia sudah terbiasa dengan sikapku dan ayah yang irit suara.
Ibu adalah penghangat suasana rumah kami di tengah sikap ku dan ayah yang cenderung dingin.
Aku dan ayah ibarat dua gunung es yang sama bekunya.
Kami hanya pandai berkata-kata dalam hati. Mengungkapkan rasa lewat sorot mata atau pun lewat gerak tubuh.
Menurut Ibu sifat misterius ayahlah yang membuat ibu jatuh hati padanya.
Namun sifat itu juga yang sering membuat ibu kelabakan.
Ibu tidak menyangka kalau sifat dingin ayah menurun kepadaku.
Akupun sebenarnya tidak bermaksud begitu. Semua alami, bagaimana aku pandai berkata-kata dalam hati namun selalu gagal mengungkapkannya lewat mulut.
Seperti kebimbangan ku hari ini sebenarnya aku ingin mengungkapkannya pada ibu.
Tapi aku bingung harus memulainya dari mana.
Haruskah aku mengatakan pada ibu kalau Pipit mempunyai Pria Idaman Lain. Bagaimana aku menjelaskan perasaanku juga tentang apa yang sudah kami lakukan.
"Aku harus bagaimana...."
Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini adalah sholat.
Segera aku mandi dan berwudhu dan mulai berniat untuk sholat.
Hanya Allah yang bisa membuat aku tenang.
Aku yakin Allah tempat terbaik untuk aku mengadu.
Aku pasrahkan semua masalah ku padaNya, berharap diberi jalan keluar yang terbaik.