Sudah dua bulan aku menyibukkan diriku dengan pekerjaan di kantor ayah
Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Pipit.
Untuk sesaat aku bisa melupakan wajah cantik Pipit. Berusaha ikhlas pada jalan yang kami sudah pilih.
Mungkin Pipit sudah melupakan aku.
Mungkin dia sudah bahagia dengan laki-laki pilihannya.
Membayangkan Pipit bersama laki-laki lain membuat hatiku terasa sakit. Ada rasa tidak rela namun tidak berdaya.
Aku bisa saja menahan Pipit untuk tetap bersamaku. Aku yakin Pipit pasti tidak akan berani menolak ku.
Mengingat selama ini keluargaku lah yang sudah menolong dia.
Aku tahu Pipit bukan tipe orang yang tidak tahu cara membalas budi.
Bisa jadi selama ini dia bertahan dengan diriku juga merupakan upaya membalas budi.
Aku tidak ingin itu terjadi.
Aku tidak mau pernikahan yang kujalani hanya semata sebagai alat balas budi.
Aku ingin menjalani hubungan pernikahan dengan wanita yang mencintaiku dan menyayangiku dengan tulus.
Bukan karena hutang Budi.
Biarlah aku merasa sakit karena patah hati dari pada terus dibayangi rasa bersalah.
drrrrrt... drrrrrt.... drrrrrt.....
Suara getaran Hpku menginterupsi lamunanku.
kulirik Hpku yang sengaja kuletakan di atas meja kerja. Nampak nama penelpon berkedip-kedip .
Segera aku mengangkat Hpku setelah aku menyadari bahwa ayah yang menghubungi ku.
"assalamualaikum.....ada apa Yah..?""
"waalaikum salam.....Bay hari ini ada klien kita dari Kalimantan yang janji bertemu dengan ayah"
"Hanya sepertinya ayah tidak bisa datang..... Ayah harap kamu bisa mewakili ayah untuk bertemu dengan orang itu sore ini."Terdengar suara ayah dengan suara serak.
"Apa ayah sakit." selidik ku sedikit khawatir.
"tidak.... tidak..... tidak....."
"Aku baik-baik saja.... hanya mungkin sedikit kurang tidur saja."jelas ayahku menenangkan kekhawatiran aku.
"Baiklah kalau begitu....."
"Ayah istirahat saja..... masalah pertemuan itu biar aku yang tangani."
ujar ku menyetujui keinginan ayah.
"Baik.... kalo begitu ayah tutup telponnya.... Assalamualaikum"ucap ayah menyudahi panggilan.
"Waalaikum salam..."jawabku sambil kembali mengecek berkas yang masih menumpuk di atas meja kerjaku.
TOK....
TOK.....
TOK....
Aku melirik pintu ruanganku yang diketuk dari luar.
"Masuk...." ucapku tanpa mengalihkan perhatianku pada dokumen yang sedang aku pelajari.
Cklek..."
Suara pintu dibuka kemudian nampak wajah Amira sekretarisku berjalan menghampiriku dengan tersenyum sopan.
Dia memegang beberapa dokumen didalam pelukannya.
"Selamat si....."
Aku mengangkat tanganku sambil berlari menuju toilet.
Ku tinggalkan Amira yang menatapku bingung.
"Hoek..."
"Hoek...."
Rasa mual yang tiba-tiba muncul membuatku memuntahkan semua makanan yang baru saja masuk kedalam perutku.
"Ada apa pak... apa bapak sakit?"
"Apa perlu saya panggil dokter pak??"
ucap Amira panik dan hendak menghampiriku.
"Stop Amira !!!""
"Diam disitu...!!"" teriakku sambil menutup hidungku.
Amira berjalan mundur menjauh dari tempatku berdiri dengan wajah memerah dan nampak bingung.
Aku pejamkan mataku sesaat untuk menetralisir rasa mual di perutku.
Setelah membersihkan bekas muntahku aku keluar dari toilet dan kembali ke meja kerjaku.
Amira sudah tidak nampak di ruangan ku. Dia meninggalkan ruangan ku setelah meletakkan dokumen yang dibawanya di atas meja kerjaku.
Aku langsung menelpon Amira agar dia tidak salah paham.
"Halo pak....."suara Amira terdengar canggung menjawab telepon ku.
"Maaf Amira akhir-akhir ini hidungku jadi sensitif."
"Aku tiba-tiba merasa mual jika mencium aroma parfum" jelasku berharap Amira mengerti.
"Nggak apa-apa pak.... saya mengerti"jawab Amira dengan suara yang terdengar riang.
"Bapak seperti orang yang lagi ngidam"guraunya lagi sambil terkekeh.
Aku tersenyum mendengar gurauan Amira lalu menutup sambungan telepon.
Beberapa hari ini aku memang merasa aneh dengan diriku sendiri.
Aku mual dengan aroma tubuhku sendiri yang membuat aku mandi berkali-kali.
Belum lagi rasa pusing yang kurasakan setiap bangun tidur.
Juga hidungku yang jadi sensitif dengan aroma yang menyengat.
Hal itu cukup mengganggu aktivitasku yang harus bertemu dengan orang banyak.
Yang membuat aku tambah bingung adalah saat dokter mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada penyakit yang harus aku khawatirkan
begitu kata dokter mendiagnosisku saat aku cek-up kesehatanku beberapa hari yang lalu.