Chereads / CINTAKU PADA SIBURUNG PIPIT / Chapter 24 - BAB 25. BABAK BARU (3)

Chapter 24 - BAB 25. BABAK BARU (3)

Pagi ini seperti biasa kami berkumpul di meja makan.

Suasana hening hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

Pemandangan yang biasa terjadi di sini. Aku berusaha menikmati sarapan pagi ku walau sebenarnya hati ku sedang galau.

"Sempatkan waktumu besok Bay...."

terdengar suara ayah memecah keheningan.

Sejenak aku melihat kearah ayah dengan tatapan penuh pertanyaan.

Tapi aku masih menutup mulutku rapat-rapat. Kutunggu ayah untuk menjelaskan maksudnya.

"Ayah sudah mengurus dokumen pernikahanmu dengan Pipit di kantor catatan sipil..."

"Besok kau dan Pipit datanglah untuk menanda tangani akta pernikahan kalian."ucap ayahku kemudian.

"Waaah kalau gitu ibu akan menyiapkan pesta pernikahan kalian secepatnya." sambut ibu dengan wajah sumringah.

Kulirik Pipit yang masih sibuk mengaduk makanannya sendiri.

"Pit..... nanti sore kau ikut ibu ke butik ya..... kita cari baju pengantin yang bagus untukmu...."sambung ibu dengan suara senang.

Pipit mengangguk dengan wajah masih tertunduk.

"Aku tidak akan menikahi Pipit"ucapku datar.

Hening.....

Semua mata menatapku bingung.

Ayah menatapku tajam.

Senyum di bibir ibu pun sudah tidak tampak lagi.

Sekilas aku menatap ke wajah cantik Pipit. Aku penasaran dengan reaksi gadis itu.

Dia menatapku tajam, matanya berkaca-kaca. Perlahan air matanya jatuh kepipinya yang mulus.

Tubuh mungil itu sedikit gemetar.

Aku tertegun..... reaksi Pipit sungguh di luar dugaan.

Aku pikir Pipit akan senang dengan kata-kataku. Tapi aku tidak melihat sinar kebahagiaan itu dimatanya.

"Apa maksudmu ????"

Ayah membentakku dengan suara keras.

"Ayah..... sudah cukup ayah mengatur hidupku..."

"Aku sudah menuruti keinginan ayah untuk menikah di saat aku belum siap,"

"Pernikahan itu menyiksaku, membuat hidupku tertekan."

"Maaf ayah .....kali ini aku tidak bisa"

"Aku tidak bisa lagi menuruti keinginan ayah."

"Aku berhak atas hidupku sendiri...."

Ucapku panjang lebar.

Ini kali pertama aku bisa bicara panjang lebar tentang perasaanku.

Mungkin juga kali pertama aku menentang keinginan orang tuaku.

Ada rasa lega dan rasa sakit yang datang bersamaan menusuk ke dalam hatiku.

'ANAK KURANG AJ*RR!!!!!!!""

teriak ayahku lantang dengan wajah memerah, matanya menatap tajam penuh dengan sinar kemarahan.

Dia berdiri hendak menghampiriku dengan tangan kanan yang diangkat ke atas.

Tergesa-gesa ibu mencegah ayah dan membujuk ayah untuk duduk kembali. Aku masih diam ditempat dudukku.

Ibu berusaha menenangkan ayah.

Aku melihat Pipit yang berlari menuju kamar dengan air mata yang bercucuran.

Reaksi Pipit semakin membuatku bingung.

Aku membebaskannya dari ikatan yang menjeratnya selama ini.

Aku memberanikan diri melawan kehendak orang tuaku dan itu bukanlah hal yang mudah untukku.

Aku telah menyakiti hati orang tuaku demi kebahagiaan Pipit.

Aku tidak ingin terus dihantui rasa bersalah.

Dan untuk ini aku juga mengorbankan perasaanku yang baru saja aku sadari.

Disini akulah orang yang paling tersakiti.

Bertahun-tahun aku ditekan rasa bersalah karena mengikat gadis yang belum cukup usia dengan ikatan pernikahan.

Tanpa aku duga Tuhan menghadirkan rasa cinta di hatiku untuk gadis kecil itu. Dan ketika aku mengorbankan perasaanku yang baru saja tumbuh demi kebahagiaan gadis kecil itu, dia malah menangis seperti aku melukai perasaan Nya.

Aku berdiri meninggalkan meja makan.

Pikiran ku kosong,aku berniat pergi dari rumah untuk sekedar menenangkan diri.

"BAAYYUU... MAU KEMANA KAMU???????""teriak ibuku keras.

Aku terus berjalan tanpa mempedulikan panggilan ibuku.

Aku terus melangkah menuju mobil dan membawanya keluar dari rumah.

Apartemenku menjadi tujuan utamaku untuk menenangkan diri.

Sesampainya di apartemen, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang.

Ku kerutkan keningku yang tiba-tiba terasa sakit.

Kepalaku berdenyut-denyut.

Aku pejamkan mata sambil memijat keningku perlahan.

Aku masih bingung dengan reaksi Pipit

Apa yang dirasakan gadis itu saat ini.

Bukankah yang aku lakukan adalah juga yang diinginkannya.

Mengapa harus memasang wajah sedih'. Seharusnya dia bahagia.

Dia bisa memulai hidup baru dengan laki-laki yang ia cintai.

Berbagai macam pertanyaan bergelayut di pikiranku.

Sesaat aku bimbang dan merasa ragu dengan apa yang sudah aku lakukan.