Chapter 10 - Pelajaran?

Kakek berpakai Butler tidak mengerti mengapa anak muda didepannya ini masih bersikukuh ingin bertarung, padahal ia sudah mengatakannya dengan jelas bahwa ia tidak keberatan membuat kontrak dan menjadi bawahannya, selama pihak lain bersedia membalaskan dendam untuknya.

'Terserahlah, akan kuturuti pemintaanya dan kuakhiri dengan cepat'. Pikir kakek.

"Anak muda memang benar-benar sangat bersemangat. Akan kupatuhi perintahmu Masterku"

Setelah mengeluarkan sedikit kata-kata sarkasme, Kakek kembali berdiri, berjalan sedikit ke tengah ruangan dan menyiapkan kuda-kuda bersiap untuk bertarung.

Lagi pula ini adalah pertandingan tantangan, sebuah pertandingan resmi, tidak masalah bahkan jika seseorang membiarkan musuh bersiap.

Tapi di sisi lain kakek juga tidak pernah mengalihkan pandangannya dari musuh.

"Aku akan mempersiapkan senjataku kakek, apakah kau juga membutuhkannya? akan ku persiapkan"

"Tidak perlu, dengan kedua tangan ku sudah lebih dari cukup"

Kakek butler memamerkan ke dua kepalan tangannya yang dibungkus sarung tangan putih, setiap pasang mata di ruangan ini bisa melihat ada beberapa noda biru di sana.

"Baguslah kalau begitu, sebenarnya aku tidak memiliki senjata lain untuk kau gunakan, aku sendiri hanya bisa menggunakan ini..."

Setelah kata-kata itu jatuh, Kakek melihat Alan merapalkan sebuah mantra dalam bahasa yang sangat ia kenal.

Kakek terkejut 'Bagaimana mungkin dia bisa menggunakan mantra dalam bahasa iblis?', pikiran kalau anak muda ini adalah salah satu 'peliharaan' iblis bangsawan sempat terlintas di pikiran kakek.

Tentu, ia juga tahu itu tidak mungkin, fakta bahwa ada Dungeon di sini, mungkin terkait dengan rumor 'kerjasama' yang ia dengar beberapa waktu yang lalu.

Karena itu, kehendak dunia atau Gaia dunia ini pasti akan mementingkan Dungeon master miliknya. Mungkin memang tidak semuanya, meski begitu setidaknya Gaia pasti masih tidak akan mengijinkan Dungeon master miliknya menjadi 'boneka dan peliharaan' penduduk dunia lain.

Kepala Kakek terus bekerja secara maksimal, mencoba memikirkan berbagai kemungkinan.

Sementara itu mantra Alan masih berlanjut, dari ruang Dungeon core, Avatar yang sedang berdiam diri kemudian berubah menjadi aliran cahaya yang melayang di udara, sedikit demi sedikit mengalir keluar ruangan.

Berkumpul dan menyatu di tangan Alan, membentuk sebuah pedang.

Setelah melihat jenis mantra yang di ucapkan Alan, kakek menjadi semakin terkejut. Mantra perubahan bentuk avatar core ini bukanlah mantra tingkat tinggi ataupun mantra terlarang, meski begitu mantra ini memiliki struktur yang sangat kompleks yang tidak kalah atau bahkan melebihi kerumitan beberapa mantra tingkat tinggi. Fokus, konsentrasi, pola sihir yang harus dibayangkan dalam kepala, dan inti sihir yang harus dipelajari bukan hanya omong kosong dalam definisi sulit.

Jika orang yang merapal mantra ini tidak terbiasa atau tidak pernah menggunakan mantra tingkat tinggi, hampir mustahil baginya untuk bisa menggunakan mantra serumit ini dengan lancar.

Dilihat dari lobbi dan ruangan lantai Nol dalam dungeon, sekiranya anak muda ini baru memulai menjadi master Dungeon belum lama ini, kakek kesulitan untuk membayangkan bagaimana bisa anak muda ini punya banyak pengalaman dalam mantra tingkat tinggi.

Di tambah dengan bahasa iblis sebelumnya, kakek mulai berpikir kepercayaan diri anak muda di depannya ini memang bukan tanpa alasan, ia benar-benar memiliki bakat yang bagus.

Tapi itu hanya sebatas 'bakat yang bagus' bukan berarti hanya dengan itu, dia bisa memperbaiki kesenjangan kekuatan di antara mereka.

Memikirkan hal ini, kakek tanpa sadar membentuk senyum mengejek di bibirnya.

"Ini adalah pedang yang dirubah dari avatar Dungeon core, karena terbuat dari mana murni Dungeon, karena kakek telah membuat kontrak, pedang ini tidak akan menyebabkan luka untukmu, sebagai gantinya setiap serangan pedang dapat menganggu aliran sihir dalam tubuh, dan karena kakek hanya tangan kosong, untuk membuat pertarungan ini lebih adil aku tidak akan menggunakan sihir lainnya, kau keberatan kakek?"

Setelah mendengar kondisi pertarungan yang cukup panjang, tanpa banyak berpikir kakek menjawab.

"Tidak masalah"

Dengan atau tanpa menggunakan Pedang tidak ada beda baginya. Bahkan dengan pedang sungguhan pun kakek tidak keberatan.

Ia kemudian memandang anak kecil dengan pakaian lusuh di dekatnya dan memberikan intruksi.

"Anak kecil, buatlah hitungan mundur."

Meski sedikit terkejut, anak bertaring yang terlihat berusia 12 tahun ini menjawab tanpa tergagap.

"Ya kakek "

Ia kemudian menjaga beberapa jarak, memandang kedua sisi dan berbicara.

"Aku akan segera menghitung, hitungan mundur di mulai dari 5..4.. 3..2..1 start "

Begitu pertarungan dimulai, dengan tenangnya Kakek merapalkan mantra sihir dalam diam, dalam sekejap 10 panah energi terbentuk di sekelilingnya, siap menusuk musuh didepan. Baginya yang sudah mencapainya Mage tingkat 3, membuat 10 panah energi secara instan adalah hal yang mudah untuknya.

Sama-sama terbentuk dari energi, tapi berbeda dengan Pedang Alan, Kakek membuat panah ini dari kumpulan energi yang kacau, yang dapat dengan mudah melubangi tubuh orang lain.

Tak perlu di pertanyakan lagi Alan akan kalah dengan sangat mengenaskan. Bukannya menunjukkan otoritasnya, ia malah dipermalukan di depan bawahannya.

Kakek berpikir ini sedikit miris... dan menyenangkan.

Tapi di saat kakek hendak melemparkan panah ke depan kakek malah mendengar suara meremehkan.

"Kau lambat kakek"

Bersama dengan datangnya suara ini, Kakek melihat sebuah pedang melayang menuju ke arahnya dengan kecepatan yang ekstrem.

Kakek sama sekali tidak panik, ia sekali lagi merapalkan mantra sihir yang lainnya secara instan, medan energi terbentuk di depan tubuhnya melindungi kepala hingga ke dada. Panah-panah sihir di udara segera ia lepaskan dan meluncur ke arah lawan.

Pedang dan medan energi akan saling menetralkan, yang berarti ia akan musuh, sedangkan Alan karena ia sudah berjanji untuk tidak menggunakan sihir lain, dia tidak akan bisa menggunakan sihir yang sama, dengan jumlah 10 energi yang datang bersamaan, tidak akan ada tempat menghindar untuknya.

Kakek merasa anak ini terlalu sombong, apakah di berpikir dengan serangan tiba-tiba seperti itu dia bisa mengalahkan dirinya? benar-benar pemikiran yang naif.

Namun apa yang tidak Kakek duga, ditengah perjalanan pedang yang seharusnya mengarah kepadanya tiba-tiba meledak menjadi kabut putih, sepenuhnya menghalangi pandangannya. Panah-panah sihir yang seharusnya mengenai musuh tiba-tiba terpecah ketika bersentuhan dengan kabut.

Tidak banyak waktu berlalu, tapi Kakek sudah merasakan sesuatu menyentuh dadanya membuat aliran sihir dalam tubuh menjadi tidak teratur, sebuah pedang yang sama namun dengan ukuran yang lebih kecil entah sejak kapan menancap di dada.

'Tidak, apa ini'

Aliran sihir dalam tubuh telah terganggu, sekarang Kakek sudah tidak bisa menggunakan sihir lagi untuk beberapa saat ke depan, dan untuk membuat situasi lebih parah pada saat yang hampir bersamaan dengan menancapnya pedang mini, kakek merasakan sentuhan hangat pada lehernya. Seolah mengatakan 'jika ia berani melakukan gerakan apapun' musuh akan mencekik atau bahkan mematahkan lehernya.

"Kau kalah Kakek"

"Huh?" Aku kalah?

Untuk sesaat, kakek sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Lututnya terjatuh ke tanah, ia menunduk ke bawah.

Tidak, bagaimana sihir pertahanan ku tidak bekerja? dan pedang ini sejak kapan menancap di Dadaku? bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?

Setelah beberapa brainstroming kakek mendapat beberapa kesimpulan.

Pertama adalah ia salah memperkirakan. Karena lawan menyebut aliran sihir ia pikir hanya terbatas pada sihir yang mengalir dalam tubuh.

Tapi ternyata Pedang tidak hanya mengganggu aliran sihir dalam tubuh, tapi juga sihir yang telah dilepaskan, karena itu ketika mantra sihir bersentuhan dengan kabut, konsentrasi sihir pada panah energi terganggu dan tidak bisa mempertahankan bentuk .

Jika lawan mengambil resiko untuk menghindari panah dan tidak merubah pedang menjadi aliran kabut, mungkin saja ia akan kalah dalam waktu yang lebih singkat, bisa dikatakan sejak ia memutuskan untuk menggunakan medan sihir untuk perlindungan ia sudah kalah, atau bahkan menurut hasil yang sekarang sejak ia menggunakan panah sihir, hasil pertandingan sudah jelas di mata lawan.

Lawan menciptakan rencana ini tepat ketika mantra pertama diucapkan.

Untuk pertama kalinya senyum muncul dibibir kakek, senyum yang sudah cukup lama menghilang dari kesehariannya.

Kakek perlahan mengangkat kepalanya dan memandang master yang akan ia layani dari sekarang dan untuk kedepannya.

*******

Setelah pertarungan selesai, aku kembali menyatukan kabut sihir menjadi pedang, dan merubahnya lagi menjadi sesosok gadis berusia belasan tahun.

Sambil menunjukkan kembali avatar dungeon pada kakek, aku memperkenalkan sesuai dengan nama yang kuberikan.

"Ingat ini kakek, avatar dungeon ini memiliki nama dan namanya adalah Luna"

Kakek "..."

Tiga orang penonton di samping "..."

Aku mencoba mengucapkan kata-kata keren seperti yang biasa diucapkan tokoh utama cerita, lagi pula jika aku tidak mengucapkan apa-apa suasana akan menjadi terasa sedikit canggung tapi jika dilihat dari reakai mereka, sepertinya ini malah membuat suasana semakin canggung.

Sedikit memalukan, mari kita pura-pura tidak pernah terjadi dan kembali fokus pada kakek.

"Kakek Tua"

Meskipun sudah kupanggil kakek berpakaian butler ini masih terlihat melamun,.

"Halo aman satu di sini, Kakek tua, apakah kau mendengarkan perkataanku? "

Baru setelah panggilan untuk kedua kalinya kakek kemudian menjawab.

"Yes, Tuanku"

"!!!"

Tuan??? Panggilan yang benar-benar berlebihan.

Perubahan sikapnya benar-benar membuatku takjub, aku tidak tahu harus merespon seperti apa untuk menangapi panggilan baru ini.

Mungkin lebih baik, aku bersikap tidak peduli dan mengabaikan apapun tindakan kakek . Dengan kata lain "Stay Cool"

"Oke sepertinya hanya sedikit gagar otak, untuk sekarang... kalian semua memdekatlah kemari"

Aku kemudian memanggil calon bawahanku yang lain, saat aku melihat mereka mendekat, samar-samar aku melihat kilauan kagum dimata mereka.

Ya, mungkin bagi mereka aku sebagai orang biasa yang bisa dan berhasil mengalahkan lawan yang mampu mengeluarkan mantra tingkat 2 adalah sesuatu yang hebat .

Aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan pandangan mereka, bagiku perbedaan yang paling vital di sini bukan tingkatan sihir yang digunakan, melainkan perbedaan pengalaman bertarung kami beedua yang terlalu jauh.

Aku bisa melihat Kakek tua ini tidak banyak memiliki pertarungan nyata, ia hanya memiliiki pengalaman teioritis dan beberapa seni bertarung, mudah memperkirakan selama ini kebanyakan lawannya hannyalah orang-orang yang lebih lemah darinya, karena itu dia sangat meremehkan lawan.

Melihat luka dan aura yang ia berikan, mungkin dia mengalami pertarungan dengan orang yang lebih kuat hanya baru-baru ini.

Itu sedikit pandanganku terhadap kakek, sekarang aku penasaran dengan bawahanku yang lain

"Kalian, perkenalkan nama kalian satu persatu"

""Ya, Master""

"Ya, Tuanku"