"Tapi gue masih nunggu hasil sidang gue keluar dulu,"
"Udah, ga usah ditungguin. Lagian nilai lu ga bakal berubah, ga ada pengaruhnya lu tungguin apa ga. Gue tunggu sekarang di kantor," Sambar Rania, kemudian langsung mematikan sambungan telpon.
"Tapi ada ap... ," kalimat Zeva menggantung saat mendengar nada telpon terputus.
Ck.. apaan sih Rania.. lagian tumben amat tuh anak ga sabaran gini. -Zeva bergumam dalam hati.
"Napa lu?," Lisa mengernyitkan keningnya melihat raut wajah Zeva.
"Tau nih, gue disuruh ke kantor sekarang. Gue cabut dulu yah. Titip liatin nilai gue. By semua," Zeva meraih tasnya diatas meja dan hendak beranjak.
"Bukannya lu ambil cuti sampe besok yah? Terus, rencana hangout kita habis ini gimana dong?" Tanya Lisa dengan wajah cemberut, mencium aroma kegagalan hangout bareng malam ini.
Zeva hanya menjawab dengan mengedikkan bahunya.
"Zeva tunggu. Gue anterin lu yah,"
"Ga usah gi. Gue naek ojek aja biar cepet sampe kantor," Lambaian tangan Zeva langsung menghentikan kaki Yugi yang sudah bersiap untuk berlari menyusul Zeva.
Dengan bergegas Zeva memanggil ojek yang biasa mangkal didepan kampus. Ojek memang pilihan transportasi paling tepat bagi Zeva, setiap kali dia sedang mengejar waktu. Mengingat jalanan Jakarta yang tidak bisa diprediksi dan sering macet hampir disetiap waktu. Apalagi biasanya, abang ojek selalu mengetahui jalan tikus alias jalan alternatif supaya bisa lebih cepat sampai tujuan.
Selama diperjalanan, Zeva tidak hentinya menggerutu. Sudah beberapa bulan belakangan Zeva betul-betul menguras pikiran dan tenaganya. Hampir setiap malam dia lembur. Bahkan weekend pun dipakai untuk menyelesaikan project yang sedang ia tangani dikantor, sambil terus mengerjakan tesis yang juga butuh perhatian penuh darinya.
Zeva berencana hangout bersama teman-temannya sampai pagi setelah sidang selesai. Setelah itu, besok dia berniat tidur dan bermalas-malasan di rumah seharian, menikmati waktu senggang yang sudah jarang dia nikmati. Pikirnya dia memang patut merayakan semua ini, karena berhasil menyelesaikan semuanya tepat waktu. Project-nya di kantor juga sudah dia selesaikan seminggu sebelum sidang.
Pikiran Zeva berlarian kesana kemari hingga tidak menyadari dia sudah sampai di depan kantor. Dengan tergesa-gesa, Zeva turun dari motor dan langsung menyerahkan lembaran rupiah sesuai tagihan abang ojek. "Makasih yah bang," Ucap Zeva kepada abang ojek sebelum masuk ke gedung kantor.
"Akhirnya lu dateng juga Va. Ayok buruan ke ruang rapat," Rania bernafas lega begitu melihat Zeva di lobi kantor.
Ngapain nih anak pake nungguin di lobi kantor segala? Ada apaan sih nih sebenernya? - Zeva terlihat semakin bingung. Ditambah beberapa rekan kantor melihat Zeva dengan pandangan menuduh dan menghakimi.
Zeva mengernyit melihat tatapan orang-orang terhadapnya. Tanpa disadari, ternyata Rania sudah berjalan jauh meninggalkannya dibelakang. Zeva langsung melebarkan langkahnya menyusul Rania.
"Eh Ran, tungguin dulu dong. Jelasin dulu, ada apa sih ini sebenernya? Gue cuti tiga hari yah. Ini baru aja kepake setengah nya. Bener-bener setengah lho ini. Satu hari setengah," omel Zeva yang sudah jengah karena bingung dan tidak bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi.
"JS pharma launching produck baru hari ini," Jawab Rania cepat.
"Lha, terus hubungannya ama gue apa? Yang mesti kebakaran jenggot, divisi marketing kali. Apa hubungannya sama nyuruh gue ke kantor, di waktu cuti gue?" Zeva makin bingung dan mulai menunjukkan kekesalannya.
"Cuti mulu yang lu pikirin. Ne masalah lebih genting tau ga. JS Pharma, nge-launching product yang jadi project lu. Ga cuma product-nya, tapi ingredients-nya sama persis tau ga," Sambar Rania ga kalah kesal, karena Zeva terus membahas cutinya yang terganggu. "Lu masih belom baca chat gue?" Tambah Rania semakin semangat memarahi Zeva
Seketika Zeva berdiri terdiam ditempat. Zeva seperti tersengat listrik, begitu mendengar penuturan Rania. Bagaimana mungkin JS Pharma yang merupakan kompetitor Nexpharma perusahaan tempanya bekerja, bisa meluncurkan produk yang sama persis dengan produk yang berencana mereka luncurkan juga.
Product yang gue tanganin aja belom selesai proses analisa. Kok mereka bisa meluncurkan product yang sama persis? ga mungkin banget deh - Zeva terus membatin.
Produk yang sedang dikembangkan ini merupakan proyek pertama yang dikepalai oleh Zeva secara langsung. Dan timnya sudah bekerja keras beberapa bulan terakhir.
Zeva menyadari, produk yang sedang mereka kembangkan ini, bukanlah produk dengan ide orisinil. Produk sejenis ini sudah banyak beredar di pasaran. Tapi timnya berupaya mengembangkan inovasi terbaru terhadap produk ini, jadi tidak mungkin perusahaan lain bisa meluncurkan produk dengan komposisi yang sama persis. Itu benar-benar tidak mungkin.
"Zeva ayo buruan. Jangan malah bengong disini," Rania langsung menarik tangan Zeva dan menyeretnya masuk ke dalam lift.
Rania kemudian menekan tombol lift menuju lantai tujuh, tempat rapat sedang dilangsungkan sekarang. Sementera Zeva masih terlihat syok dengan informasi yang baru saja didapat dari Rania. Pikirannya kosong, tidak tahu harus menyikapi situasi ini seperti apa. Dia hanya menurut, ketika Rania menyeretnya kesana kemari setelah pintu lift terbuka. Bahkan dia sama sekali tidak memperhatikan dimana mereka sekarang.
Otaknya masih belum bisa mencerna situasi yang terjadi saat ini. Apa dan bagaimana ini semua bisa terjadi, sampai Rania menghentikan langkah mereka di depan sebuah pintu besar.
"Apa lu sudah siap masuk ke dalam?" Rania bertanya dengan gugup.
Zeva hanya bisa menggelengkan kepala, belum bisa mendapatkan kesadarannya secara menyeluruh.
"Ayolah Zeva, lu bisa ngelewatin ini. Tarik nafas... tahan... hembuskan pelan-pelan," Secara spontan, Zeva mengikuti instruksi Rania, agar dia bisa sedikit lebih rileks. "Ulang sekali lagi," Tambah Rania.
Zeva mengumpulkan semua keberaniannya, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan semua jawaban itu sekarang, pasti ada didalam ruangan di depannya.
You can do it Zeva. Jangan hancurkan kerja keras lu sendiri, yang udah lu perjuangin satu tahun ini. Konsentrasi, karena selalu ada solusi dari setiap masalah. Lu hanya perlu berpikir tenang, dan hadapi semuanya dengan berani dan tanggung jawab. - Zeva berucap pada dirinya sendiri.
Zeva mengetuk pintu di depannya, sebelum membuka pintu tersebut dan bersiap masuk ke dalam. Sekali lagi, Zeva menarik nafas panjang sebelum melangkahkan kakiknya dengan yakin dan penuh percaya diri, kedalam ruangan yang berkali lipat lebih menegangkan dari ruangan yang tadi pagi dia masuki.
"Selamat siang. Maaf saya terlambat," Zeva mengawalinya dengan sapaan dan permintaan maaf, ketika sudah berada di ruangan dan dihadapkan dengan begitu banyak orang. Sebagian besar tidak Zeva kenali secara langsung, tetapi ia sering berpapasan dengan mereka di kantor.
Zeva mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Dia melihat rekan kerjanya Azka, senior supervisor dari divisi analisis product serta Rahmat, senior supervisor dari divisi finalisasi product jadi.
Dia juga sekilas melihat Pak Zaniarto, kepala divisi marketing. Namun, Zeva sama sekali tak menemukan Pak Hendri, atasannya yang merupakan kepala divisi product yang membawahi tiga divisi yakni divisi Pengembangan product, divisi analisis product serta divisi finalisasi product. Zeva sendiri merupakan senior supervisor, di bagian divisi pengembangan product.
"Miss Orlyn Zevanya akhirnya anda datang juga. Apakah anda putri tidur, yang baru terbangun dari tidur panjang anda?" Zeva tau betul, sindiran itu berasal dari siapa. Dia adalah atasan Zeva yang super menjengkelkan dan selalu mencari-cari kesalahannya. Bapak Ryan Chandra Wiratmaja, manager marketing and product.
"Maaf Pak, saya tidak bermaksut mengabaikan atau menyepelekan rapat hari ini. Tapi, saya betul-betul tidak tahu ada masalah penting terjadi di kantor, karena saya sedang cuti dari kemarin. Dan seharusnya, saya masih cuti hingga besok," Zeva membalas sindiran bosnya itu dengan tegas.
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Anda cuti, tepat bersamaan dengan masalah yang anda buat," Perkataan Ryan seolah menyudutkan Zeva. Wajah Zeva tiba-tiba memerah menahan marah. Dia betul-betul kaget dengan apa yang bos reseknya itu katakan.