Chereads / My Boss My Enemy / Chapter 8 - Bab 8

Chapter 8 - Bab 8

Di sebuah rumah makan di bilangan jakarta pusat, Zeva dan Ryan duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Rumah makan tersebut terlihat cukup ramai, tidak heran karena rumah makan tersebut terletak di area perkantoran dimana kawasan gedung kantor Nexpharma berada. Kawasan yang memang merupakan komplek perkantoran dengan gedung-gedung pencakar langit berjejeran sepanjang jalan.

Banyak orang-orang berpakaian rapi sedang menyantap hidangan di depan mereka. Mereka tampak seperti Ryan dan Zeva yang baru pulang sehabis bekerja.

Zeva menyantap makanannya dalam diam ketika pesanan sudah tiba. Ada perasaan canggung yang kentara, karena baru kali ini dia makan dengan atasannya hanya berdua saja.

"Kamu tinggal di daerah mana?," Tanya Ryan memecah keheningan.

"Daerah Jagakarsa Pak," Jawab Zeva singkat.

"Kalau dari sini enaknya lewat mana ke rumah kamu, yang minim resiko kejebak macet?" Tanya Ryan lagi.

Zeva hanya menjawab dengan mendelik. Bingung maksut dari pertanyaan atasannya itu.

Ngapain nanya rumah gw lewat mana? Emang mau nganterin gw? - Batin Zeva.

"Hey, saya nanya kok malah bengong?" Ryan mengibaskan tangannya di hadapan Zeva.

"Emang kenapa Pak?" Zeva menjawab masih dengan wajah yang terkejut.

"Ditanya malah balik nanya. Kebiasaan jelek kamu itu beneran bikin sebel tau ga, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi," Ungkap Ryan

"Maaf Pak, soalnya aneh aja Bapak nanya jalan ke rumah saya," Cengir Zeva.

"Dimana letak anehnya? Yah wajar dong saya nanya alamat kamu. Kamu pikir saya cenayang, bisa anter kamu tanpa nanya alamat rumah kamu?" Cerocos Ryan yang mulai terlihat kesal.

"Ga perlu repot-repot anter saya Pak. Nanti saya bisa minta jemput adik saya saja,"

"Kamu itu emang selau ngeyel yah. Tinggal jawab aja susah banget sih. Lagi pula, memang saya ga boleh anter kamu pulang?" Tanya Ryan lagi.

"Bukan begitu Pak. Saya hanya tidak mau merepotkan Bapak saja," Jawab Zeva ragu.

"Saya tidak merasa kerepotan kalau cuma mengantarkan kamu pulang. Saya justru merasa tidak bertanggung jawab kalau meninggalkan kamu disini," Ucap Ryan tegas.

"Saya bener-bener ga enak Pak. Dari tadi sudah merepotkan Bapak. Biar saya minta jemput adik saya saja," Zeva tampak canggung.

"Suka sekali berdebat sih kamu ini," Ryan menarik nafas, menahan perasaan jengkel karena sikap bawahannya. "Lagipula kamu itu lucu ya. Kalau kamu minta jemput kekasih kamu, saya masih memaklumi. Ini minta dijemput kok ya sama adiknya. Tidak sekalian minta jemput Bapaknya?"

Zeva spontan menjawab dengan seringai yang lebar, menampakkan deretan gigi yang putih dan rapi. "Maunya juga dijemputnya sama Ayah saya Pak, tapi saya khawatir Bapak ketakutan nanti kalau Ayah saya yang jemput," Jawabnya kemudian.

"Memangnya Ayah kamu segalak apa sih? sampai saya harus ketakutan begitu,"

"Sebetulnya Ayah saya itu ga galak Pak, baik banget malah,"

"Lha, terus kenapa saya harus takut?"

"Memang Bapak ga takut hantu?"

"Tuh kan, jawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi," Ucap Ryan sebal. "Saya itu ga percaya hantu. Eh tunggu, apa hubungannya minta jemput Ayah kamu sama hantu?" Ryan mengernyit bingung.

"Yah tar kalo orang yang udah beda alam jemput ke sini apa Bapak ga takut?" Tanya Zeva santai.

"Maksut kamu?" Ryan terlihat semakin bibgung. "Ayah kamu sudah beda alam gitu?" Tanya Ryan ragu.

Zeva hanya menjawab dengan senyuman. Wanita yang terlihat semakin cantik dengan senyum manisnya itu kemudian mengangguk ketika melihat pemudia di depannya semakin terlihat bingung.

"Maaf, saya ga tahu," Tampak guratan rasa bersalah di wajah tampan Ryan.

"Ga papa kok Pak," Senyuman kembali mengembang di wajah Zeva.

"Tapi kok kamu kelihatannya sama sekali ga sedih?"

"Masa itu sudah lewat Pak, sekarang saya hanya ingin mengingat Ayah saya dengan cara yang berbeda. Saya ingin terlihat selalu bahagia saat mengenang Ayah saya," Tidak sedikitpun rasa sesal dan sedih di wajah Zeva saat membicarakan kehilangan Ayahnya.

"Mohon maaf sebelumnya, kalau saya boleh tau kapan kejadiannya?" Ryan begitu berhati-hati memilih kata saat bertanya. Dia menyesali kenapa dia begitu ingin tau urusan orang lain. Namun, perkataan Zeva yang begitu mendalam saat membicarakan Ayahnya, membuat rasa penasaran Ryan menyeruak.

"Waktu saya kelas tiga SMP. Waktu itu saya begitu terpukul hingga hampir mengecewakan Ibu. Saya hampir tidak lulus ujian SMP karena terpuruk dan tidak mau datang ke sekolah lagi," Zeva bercerita dengan pandangan mata menerawang. Dia mengingat kejadian yang sudah begitu lama berlalu dan tersimpan di sudut memorinya terdalam. "Namun, saat melihat wajah Ibu dan kedua adik saya, saya sadar bukan hanya saya yang kehilangan. Dan tidak seharusnya, saya bersikap begitu egois dengan menambah kesedihan di mata Ibu. Saat itu Ibu sama sekali tidak marah ataupun kecewa dengan sikap saya, tapi matanya berbicara begitu banyak," Zeva mengakhiri ceritanya dengan menghembuskan nafas panjang.

Selama ini dia selalu memendam perasaan tentang kepergian Ayahnya seorang diri. Entah kenapa hari ini wanita yang berusaha tampak tegar itu, begitu lancar mengungkapkan isi hatinya.

Setelah mendengar cerita Zeva, Ryan menyadari kenapa wanita di depannya mempunyai karakter keras. Dia dipaksa dewasa sebelum waktunya. Dia bisa bangkit dari keterpurukan dan bisa menyikapi kejadian suram dalam hidup, dengan kebijaksanaan di usia yang masih belia.

"Maaf Pak, saya kok malah curhat jadinya," Ungakap Zeva salah tingkah.

"Ga apa-apa. Saya malah suka kamu cerita begini. Saya jadi bisa belajar banyak dari cerita hidup kamu," Ucap Ryan tulus. Di usia semuda itu Ryan bahkan belum memahami apa arti tanggung jawab. Dia hanya tau menikmati kemewahan yang diberikan oleh orang tuanya. Bahakan kalau dipikir-pikir sampai sekarangpun, rasa tanggung jawab itu seakan masih jauh dari dirinya.

Mendengar ketulusan dari atasannya yang selalu di cap galak oleh Zeva, membuat wanta itu jadi salah tingkah. Dia tidak menyangka bahwa bos reseknya itu punya rasa empati yang tinggi.

"Kamu sudah selesai belum makannya?" Tanya Ryan memecah kecanggungan yang kembali terjadi setelah Zeva bercerita.

"Iya, sudah Pak," Jawab Zeva.

"Yasudah, saya antar kamu pulang. Kali ini jangan ngebantah. Saya tidak seperhitungan itu, sampai tidak bersedia mengantar kamu yang sedang sakit pulang ke rumah," Ucap Ryan tegas.

Zeva hanya menjawab dengan anggukan kepalanya. Lagipula dia sudah malas mendebat atasannya yang tidak pernah mau mengalah. Yang ada dipikirannya saat ini adalah bisa cepat sampai rumah dan merebahkan diri mengusir penat.

Sebelum pulang, Ryan membayar tagihan makanan yang mereka santap. Tentu saja dengan melalui sedikit perdebatan, karena penolakan dari Zeva yang berniat membayar tagihannya.

"Saya tidak pernah membiarkan seorang wanita mentraktir saya. Dan kamu tidak akan jadi yang pertama. Saya ini pria terhormat, asal kamu tahu," Jawab Ryan ketus.

Zeva hanya menuruti dengan pasrah. Wanita itu begitu lelah dan ingin segera berisitirahat. Setelah itu, mereka langsung pulang memecah keramaian jalanan Ibu Kota.