Chereads / My Boss My Enemy / Chapter 9 - Bab 9

Chapter 9 - Bab 9

Malam semakin larut. Begitu gelap meski penerangan berpendar di kiri kanan jalan. Zeva hanya sesekali melirik jalanan dari balik kaca jendela mobil. Sementara Ryan tampak fokus pada jalanan yang cukup padat, beruntung mereka terbebas dari kemacetan yang seolah sudah melekat dengan wajah Jakarta.

Keduanya asik dengan pikiran masing-masing ditemani alunan musik dari radio. Tidak ada yang memulai percakapan selama perjalanan. Hanya sesekali suara Zeva terdengar saat mengarahkan jalan yang harus mereka lewati.

Tidak berapa lama kemudian sampailah mereka di depan sebuah rumah yang tampak kecil nan minimalis. Rumah tersebut terlihat asri meski di kegelapan malam. Pohon rindang dan pot-pot tanaman hias mempercantik halaman rumah yang sempit itu.

"Bapak mau mampir dulu?" Tawar Zeva saat mobil berhenti sempurna.

Dari kejauhan tampak seorang wanita paruh baya tengah duduk gelisah menatap jalan. Matanya menangkap mobil yang berhenti tepat depan rumahnya. Menatap penasaran penumpang di dalamnya.

"Itu Ibu kamu?" Tanya Ryan sambil memperhatikan wanita paruh baya itu dari kejauhan.

"Iya, itu Ibu saya Pak," Jawab Zeva

"Ya sudah kalau begitu saya mampir sebentar untuk menyapa Ibu kamu. Akan tidak sopan kalau saya langsung pulang begitu saja tanpa berpamitan terlebih dahulu,"

Zeva hanya menjawab dengan anggukan kepala. Tawaran untuk mampir sesungguhnya hanya sekadar berbasa-basi, tapi dia tidak menyangka kalau pria di balik kemudi mobil itu bersedia mampir.

Zeva berjalan pelan menghampiri Ibunya yang menyambut kedatangannya dengan senyuman.

"Mbak kok baru pulang? Dari mana saja? kenapa Mbak ga kabari Ibu?" Berondongan pertanyaan dari Arin menyambut kedatangan Zeva.

"Iya bu, tadi Mbak ada pekerjaan mendadak di kantor. Maaf, Mbak sampai lupa mengabari Ibu," Suara lembut Zeva menjawab begitu sabar berondongan pertanyaan Arin, sambil meraih tangan Ibunya itu dan menciumnya.

Ryan melihat sekilas kearah Zeva saat mendengar perubahan nada suara wanita itu yang terdengar berbeda dan begitu dewasa.

"Oia Bu, ini atasan Mbak di kantor, Pak Ryan," Arin langsung menyambut uluran tangan Ryan, saat Zeva mengenalkan keduanya. "Pak Ryan mengantar Mbak pulang, karena tadi Mbak sempat tidak enak badan," Lanjut Zeva.

"Terimakasih Nak Ryan, sudah mau mengantar Zeva. Silahkan masuk Nak, Ibu buatkan minum dulu,"

"Tidak usah repot-repot Bu. Saya langsung pamit saja," Tolak Ryan halus.

"Tidak minum dulu Nak?"

"Lain kali saja ya Bu saya mampir, sudah terlalu malam. Lagipula Orlyn perlu istirahat, saya tidak mau mengganggu,"

"Baiklah kalau begitu. Lain kali Nak Ryan harus mampir lho. Sekali lagi terimakasih banyak yah Nak Ryan," Ucap Arin dengan senyum tulus tersungging di bibirnya.

"Tentu Bu. Saya permisi dulu Bu," Ryan menundukkan kepala tanda menghormati wanita paruh baya di hadapannya. " Saya pamit dulu," Lanjut Ryan menatap Zeva yang dijawab dengan senyuman.

"Sekali lagi terimakasih Pak," Ucap Zeva

"Sama-sama. Oh ya, besok kamu bisa masuk agak siangan. Istirahat dan makan secukupnya, jangan sampai kejadian tadi terulang,"

"Baik Pak," Jawaban singkat Zeva membuat Ryan heran.

Tidak biasanya Zeva langsung menjawab iya perkataan Ryan. Biasanya harus melalui perdebatan, walau untuk hal yang sepele sekalipun. Wanita itu begitu terlihat berbeda ketika bersama Ibunya. Wanita yang menarik, pikir Ryan.

Pria itu kemudian berlalu dan langsung meninggalkan kediaman Zeva. Setelah berada di balik kemudi mobilnya, Ryan memacu Honda Civic-nya dengan cepat menuju kawasan kemang.

"Hallo bro?" Ryan menghubungi seseorang melalui bluetooth speaker HP yang terpasang di telinganya.

"Yoi man, dimana lu?" Jawab suara diseberang sana.

"Lagi di jalan. Di tempat biasa?" Tanya Ryan.

"Yoi. Gue sama Rizal udah di sini dari tadi,"

"Okay, gue on the way. Dikit lagi sampe," Ucap Ryan kemudian langsung memutuskan sambungan telpon.

Tidak berapa lama kemudian Ryan memarkirkan mobilnya di basement sebuah hotel di kawasan kemang. Setelah memarkirkan mobilnya, Ryan langsung menuju lantai tujuh tempat rooftop hotel tersebut berada.

Di sana ada sebuah lounge yang cukup nyaman dan menjadi tempat favorite Ryan dan teman-temannya menghabiskan waktu hampir setiap malam.

Ryan langsung menghampiri kedua temannya, Daniel dan Rizal, yang tengah asik berbincang sambil menikmati minumannya.

"Hi bro, udah lama?" Sapa Ryan saat sudah berada diantara kedua temannya.

"Lumayan," Jawab Daniel.

"Dimana Barly?" Tanya Ryan lagi.

"Tu..," Rizal menjawab dengan menggerakan dagunya, ke arah seorang pemuda yang tengah berjalan menghampiri mereka.

"Dari mana aja bro, kok baru dateng?" Tanya Barly sambil meraih sebuah kursi di sebelah Ryan.

"Biasalah, gue kan bukan jomblo akut kurang kerjaan kaya kalian," Jawab Ryan.

"Sejak kapan lu ganti status jomblo?" Tanya Daniel.

"Status jomblonya masih sama, tapi ga kurang kerjaan kaya kalian," Jawaban Ryan hanya dijawab tawa sinis dari ketiga temannya.

"Jomblo aja belagu lu," Ketus Barly. "Gue yang punya pasangan aja ga sesongong elu,"

"Jiah.. ga jomblo, tapi kok ya dianggurin mulu tiap malem. Ga guna, sama aja kaya jomblo," Kali ini Daniel yang membalas perkataan Barly. "Tapi gue bingung yah sama cewek-cewek. kok bisa yah cowok seganteng dan sekeren kita dianggurin gini," Ucap Daniel yang selalu narsis.

"Kita mah ga dianggurin, cewek-cewek ngantri minta dipacarin. Kitanya aja yang selektif ga kaya lu, siapa aja jadi asal ada yang mau," Ucapan Rizal di balas tawa oleh teman-temannya. Sementara yang diledekin hanya bisa memberengut.

"Ish... gue itu bukannya ga ada yang mau, tapi lagi pe-de-ka-te sama tuh anak buahnya dia," Daniel menunjuk Ryan. "Gila dingin banget tuh cewek,"

"PDKT kok ya tahunan ga kelar-kelar. Lagian kulkas lu deketin. Mending deketin temennya itu deh, imut manis gitu," Ucap Rizal menerawang.

"Dia mah keliatannya doang manis, tapi jinak-jinak merpati. Dari jauh minta dideketin, Pas disamperin mabur,"

Ryan yang namanya sempat disinggung jadi penasaran, siapa yang jadi pembahasan kedua temannya itu. Dari bicaranya sudah pasti mereka sedang membicarakan karyawati di kantornya.

"Lu berdua yah ngomongnya doang digedein, action-nya nol besar," Singgung Barly yang sudah jengah dengan pembicaraan kedua temannya. Sudah satu minggu ini Barly mendengar keduanya membicarakan wanita yang sama.

"Eh gue ngelewatin apaan nih? Lagi pada ngomongin siapa sih?" Tanya Ryan semakin penasaran.

"Lu ngilang kelamaan. Kuping gue doang yang kepapar polusi udara dari mereka berdua ni. Tiap hari ngomongin dua cewek itu mulu. Disuruh deketin ga ada yang berani," Penjelasan Barly bukannya menjawab pertanyaan Ryan justru semakin membuat pria itu bingung.

"Ih sorry ya, gue bukannya ga berani. Cuma lagi cari kesempatan yang pas buat deketin. Emang Rizal cupu,"

"Kata siapa gue ga berani. Kita buktiin aja, siapa yang cupu, elu apa gue,"

"Ada yang niat kasih tau ga nih?" Ryan mendelik kepada teman-temannya. Dia biasanya selalu cuek dengan urusan teman-temannya kalau sudah membicarakan wanita. Namun, dia penasaran sosok bawahannya yang sempat disinggung Daniel tadi.