Lila melongokkan kepalanya sedikit untuk memeriksa keadaan. Goblin tua berkepala plontos itu masih ada di sana. Makhluk itu masih marah-marah sambil meracau tidak jelas. Namun, hal itu malah memberikan keuntungan bagi para penyihir itu.
Lila dan Nona Peony saling berpegangan tangan, berlari menuju ujung lapangan yang satunya, lalu berhenti untuk mengambil napas. Mereka kini sudah berada di belakang si tetua goblin dan peluang mereka untuk langsung menghabisi makhluk itu besar sekali.
"Nona, bisakah kau menidurkannya?" bisik Lila. Nona Peony menggeleng.
"Tidak bisaaa, hueee. Peony tidak bisa membuat dia mabuk. Energi Peony tidak cukup."
Lila berdecih. Ia tidak bisa menggunakan rencana pertamanya, yaitu membuat goblin itu tertidur dengan sihir milik Nona Peony.
Mau tidak mau, ia harus beralih ke rencana yang kedua. Membebaskan kedua rekannya, lalu menyerang goblin itu.
Gadis itu mendongak. Matahari sudah berada tepat di atas kepalanya. Waktu mereka tidak banyak lagi dan jika mereka belum bisa pergi dari perkampungan terkutuk ini sebelum gelap, maka kesempatan mereka untuk menang akan semakin kecil.
Ia mengalihkan pandangannya ke jaring raksasa dengan Cia dan Aliga yang berada di dalamnya. Wajah kedua penyihir itu benar-benar ketakutan seakan kematian sudah berada di depan mata mereka.
Secara harfiah, mereka memang sedang bertatap muka dengan kematian. Tidak akan ada seorang penyihir pun yang kebal terhadap api. Jika mereka terjatuh ke dalam cairan panas itu, dalam hitungan detik saja mereka akan langsung menjadi abu.
Otak Lila yang lamban harus bekerja lebih keras kali ini. Bagaimanakah gerangan cara untuk menyelamatkan kedua rekannya dari kematian itu? Ah, rasanya otak Lila seperti ingin meledak saja.
"Alihkan perhatiannyaaa yeeyy."
"Huh?" Lila berbalik dan melihat Nona Peony terduduk lemas sambil memegangi perutnya.
Wanita yang sadar bahwa dirinya sedang ditatap oleh Lila ikut membalas tatapan penyihir junior yang ia dampingi itu.
Ia tersenyum sambil memamerkan deretan giginya lalu berkata, "Logika makhluk itu memang jalan, otaknya memang pintar, namun bagaimana pun juga, ia tetap goblin. Seorang makhluk yang bodoh dan barbar. Kau alihkan saja perhatiannya sedikit lalu selamatkanlah Aliga yeeyy."
Lila mengangguk dan menyetujui perkataan Nona Peony itu. Ada benarnya juga, pikir gadis itu.
Kini, ia sudah yakin apa yang akan ia perbuat. Ya, ia akan menuruti perkataan pendampingnya itu. Ia akan mengalihkan perhatian goblin itu.
Ia merogoh saku jubahnya dan mengambil tongkat sihir yang belum ia gunakan sejak awal.
Gadis bermata biru itu melihat sekeliling dan akhirnya menemukan benda paling tepat untuk ia ledakkan menggunakan sihirnya.
Ia memutar-mutar tongkatnya, membaca mantra peledak, lalu membidik sebuah kendi tanah liat yang berada di dekat salah satu gubuk goblin.
Berhasil! Tembakannya tepat mengenai sasaran dan kendi itu pecah begitu sihirnya menyentuh kendi itu. Suara tanah liat kering yang pecah nyaring terdengar hingga menggema di seluruh perkampungan.
Tetua goblin itu langsung menatap ke arah sumber suara dengan cepat. Sorot matanya tajam menatap pecahan tanah liat itu lalu berlari ke arahnya.
Benar kata Nona Peony. Goblin memang sudah ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang bodoh.
Kala goblin itu tengah sibuk dengan urusan kendi itu, Lila memanfaatkan keadaan ini dengan berlari menuju jaring Cia dan Aliga.
"Flappius Exarus!" ucapnya pelan. Ia melayang dan langsung memindahkan jaring itu ke tempat yang lebih aman.
"Lila, akhirnya kau datang!" Cia berseru kegirangan. Namun, setelah sadar bahwa hal itu malah akan menarik perhatian si tetua goblin, ia kembali menutup mulutnya.
"Mana Nona Peony?"
"Dia ada di--"