"Lisa... ini Papa, Lisa... Tenang sayang... tenang..." Ucap David sambil memeluk anaknya yang terbangun karena ia tiba-tiba datang dalam kegelapan di kamar itu tepat saat sedang mati lampu.
"Papaaa...!" Lisa segera membalas pelukan David dengan lega.
Dewi yang baru tiba di ambang pintu melihat lega di antara keremangan kamar itu. Untunglah lampu segera menyala kembali, menunjukkan kelegaan besar di hati mereka meski Dewi tampak begitu sedih saat menyadari akan meninggalkan rumah kontrakan itu.
***
Akasia tua masih kokoh berdiri di depan rumah tua yang masih sedikit rimbun oleh semak belukar, seorang lelaki tua sudah menunggu di depan Suzuki Carry tua depan gerbang rumah itu. Lelaki itu menyambut kedatangan David dan keluarganya yang juga menaiki mobil tua jenis sedan yang dipenuhi oleh barang barangnya.
"Selamat datang, Pak David, akhirnya bapak datang juga." Ucap lelaki itu.
"Iya, Pak Manan. Maaf kami datang terlambat, pastinya bapak sudah menunggu kami cukup lama."
"Ya, saya memang datang sejak pukul 9 pagi. Oh ya... ini kunci rumahnya. Semoga kalian betah tinggal di tempat ini."
David langsung menerima kunci pintu rumah barunya sambil melirik ke pekarangan rumah itu yang masih tidak begitu rapih. Dalam hati ia bergumam.
"Kalau Pak Maman datang dari pagi, kenapa rumah itu masih kelihatan berantakan? Trus ngapain aja dia selama nungguin kami?"
"Maaf Pak David, sepertinya saya nggak bisa lama lama disini. Saya mohon pamit dulu. Permisi!"
David mau mencegah kepergian Pak Manan, namun lelaki tua itu seolah terburu-buru pergi Meninggalkan David dan keluarganya dengan langkah terburu-buru.
"Kok buru-buru gitu, sih? Mama kan belum sempet salaman apalagi kenalan sama dia. Nggak sopan banget." Ucap Dewi.
"Mungkin dia lagi ada keperluan mendadak kali, mah. Ya udah yuk. Kita masuk ke dalam." David membuka kunci gerbang sebelum membawa mobilnya masuk kembali ke dalam pekarangan rumahnya.
Sreekkk!
Lisa yang duduk di belakang merasakan ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari balik pohon Akasia besar tadi dari kaca belakang mobil ayahnya. Dia reflek menengok ke belakang, namun tidak ada apa-apa. Mendadak Lisa ragu membuka pintu mobil meski David sudah mengetuk kacanya dua kali.
"Eeeh... Lisaa?! Kok diem aja! Ayo dong sayang turun.... Kita udah nyampe di rumah baru kita." Ujar David sambil membukakan pintu mobil belakangnya.
Lisa celingukan, cemberut melihat kondisi rumah tua itu sambil mendekap boneka beruangnya. "Rumah barunya kok begitu, Pak.... kotor, jelek lagi..."
"Nanti juga kalau sudah kita bersihkan rumahnya jadi cantik lagi. Sekarang, ayo turun, Lisa! Bawa barang barang Lisa sendiri ya..."
"Tapi, Pa..., " Lisa masih ragu.
"Papa tungguin Lisa di dalam ya...,"
David segera berlalu sambil membawa beberapa koper besar dari belakang bagasi mobilnya. Dengan terpaksa Lisa turun dari mobil masih sambil membawa bonekanya.
Angin semilir menghempas daun daun pepohonan yang jatuh di halaman rumah itu, suaranya begitu merdu menembus keheningan rumah tua yang lumayan jauh dari tetangga. Sana sini tanah kosong dengan tanaman jalar yang merambat rambat ke pokok pohon lainnya. Bahkan sebagian tanaman jalar di sebelah samping sudah merambati dinding rumah hingga ke atapnya. Lisa merinding, kakinya terlalu kaku untuk sekedar mengenali undakan lantai yang serasa tak asing baginya.
Lagi tegang tegangnya, tiba-tiba David datang dengan membawa banyak barang dan sengaja iseng menabrakan diri padanya.
Brakk....!
"Aw!
"Eh, ketabrakkk! Maaf ya.... hehehe..."
"Papa! Bikin kaget aja!"
"Lagian bengong aja, bukannya bukain pintu."
"Lah kan kuncinya sama Papa."
"Ya udah deh bukain... Nih ada di kantong jaket, ambil sendiri."
Dengan tatapan licik Dewi mengangguk dan sengaja mengorek kantong Jaket David sambil menggelitikinya, membuat barang-barang yang dibawa David berjatuhan di undakan tangga bagian teras rumah mereka. Mereka Tertawa-tawa bahagia.
Sementara itu Lisa yang sudah turun merasakan ada situasi yang janggal disitu, dia merasa seolah sedang diawasi.
Seett!
Jrengg....
Lisa bergegas menengok ke belakang, Tapi tak ada apa-apa. Situasi itulah yang membuat Dewi tak ikut terbawa suasana bahagia orangtuanya. Sampai kemudian David memanggilnya.
"Lisaa...! Lisa bantuin papa dong.... aduh, kopernya berantakan nih!"
"I... Iya pak...."
Saat Lisa sedang membangunkan ayahnya, Dewi terbangun lebih dulu, dia dekati pintu hendak membukakan kuncinya. Dia terkejut melihat kenop pintu di bagian Handle itu.
Jrengg!
Bayangan mimpi buruk malam itu membuatnya gemetar hebat, Dewi sama sekali tak ingin menyentuh kenop itu. Kunci di tangannya terjatuh ke tanah. Dengan reflek ia berteriak sambil memegangi kepalanya.
"Nggak... Nggakk... !"
Dewi mundur menghindari pintu rumah itu, tapi tubuhnya sempoyongan hingga hampir terjatuh, untunglah David dan Lisa yang mendengar teriakan Dewi segera berlari menyongsong dan memeluknya dengan panik.
"Sayang, ada apa, sayang...?Ada apa?"
"Aku nggak mau masuk ke rumah ini, Pa... Aku nggak mau!"
"Kenapa, Dewi?! Bukannya kamu seneng kita pindah kesini? Kenapa tiba-tiba begini?
Dewi diam saja, matanya masih tertuju pada kenop pintu rumah tua yang khas itu.
Tiba-tiba Lisa menyahut.
"Lisa juga takut tinggal disini, Pa..."
David tertohok bersamaan dengan bunyi petir yang menggelegar. Langit di sekitar situ mulai menghitam, Awan sendu merubung menjadi satu. Hawa dingin mulai menelusup ke pori-pori kulit hingga menembus tulang sumsum.
"Sebentar lagu hujan. Kita semua harus masuk."
"Tapi, Pa... "
"Udah dong... emangnya kalian mau ujan-ujanan di luar? Udah sini, Papa aja yang bukain pintunya." Ucapnya sambil mengambil kunci rumah itu dari tangan istrinya.
Dengan tanpa ragu David membuka pintu rumah itu seakan berlomba dengan kecepatan rintik hujan yang mulai turus semakin deras.
Dewi masih begitu tegang saat David mulai membuka pintu rumah itu, Derit pekik engsel pintu yang sudah berkarat kedengaran ngilu di telinga, David tak perdulikan lagi dengan ketakutan anak istrinya, ia langsung menarik mereka masuk menemui kegelapan dan pengapnya ruangan karena sudah beberapa lama tak berpenghuni.
Jrengggg!
Tentu saja jantung Dewi dan Lisa seakan mau meledak begitu saja. Untungnya, listrik di rumah itu masih menyala normal walau lampunya tampak remang. Maklumlah cuma rumah tua dan kosong, pastinya si pemilik malas menambahkan watt listrik di rumah itu. Sehingga rumah itu hanya dipasang bola lampu bohlam murahan.
"Tapi Paa...."
"Sssttt... plis nggak ada alasan apa-apa lagi. Toh aku sepakat beli rumah itu karena persetujuanmu juga. Dan kalau kamu begini, sama aja kamu ngajarin ketakutan sama anak kamu!"
Dewi terpaku diam melihat kekesalan David kepadanya. Lisa yang memiliki perasaan yang sama dengan Dewi segera menghambur ke pelukan Dewi.
"Mama....!'
"Tuh kan? Kamu liat, kan? Anakmu jadi ikut-ikutan takut!" Ucapnya lagi dengan emosi.
Melihat suaminya kesal, Dewi pun ikut terpancing, mereka heboh berdebat di tengah turunnya ghujan yang mulai deras berderai di halaman rumah. Perdebatan itu seakan mengikis kepekaan Dewi tentang rumah itu.
Lisa mulai merasa terasing dari perang argument itu, dia berbalik hendak menutup pintu sebab cipratan air hujan di teras sudah mulai memaksa masuk ke ruangan itu.
Kreeooot...!
Pintu ditutup, namun begitu celahnya tinggal sejengkal lagi. Lisa seakan melihat suatu sosok di bawah pohon Akasia besar, berdiri terpaku memandangi ruamhnya di antara derasnya air hujan yang menyamarkan tubuhnya. Lisa picingkan mata sekali lagi untuk memastikan sosok itu, tapi entah mengapa sosok itu seakan membias terbawa tirai hujan yang menderas.
Jrenggg!
****