Nilam segera beringsut meninggalkan tempat pengintaiannya, ular Piton masih mengganduli bahunya yang lancip dengan kepala menjalar jalar ke pipinya, tapi Nilam seakan tak perdulikan hingga akhirnya mereka melewati pintu kamar Lisa yang tiba-tiba terbuka.
Greekkk... Jrengg...!
"Tante Nilam?!"
Nilam terbelalak kikuk mengecek dirinya sendiri, untunglah piton tadi sudah tak menampakan dirinya lagi.
"Kenapa, Tante?" Tanya Lisa lagi sambil memperhatikan sikap Nilam yang panik dan gusar.
"Mmm.. Nggak apa-apa...! Tante ke dapur dulu ya... ." Ujarnya kemudian, lantas bergegas pergi.
Lisa masih terpaku melihat kepergian Nilam sambil memeluk boneka beruangnya, dia tak sadar jika seekor Piton masih bergelantungan ke plafon lorong tepat di atas kepalanya. Ular itu seakan menjulurkan kepalanya dan seolah hampir menjatuhkan diri ke tubuh Lisa, tapi Lisa keburu pergi ke ruang tamu. Bergabung dengan Papa dan Mamanya membereskan ruanganya. Tapi keduanya saling bisu.
"Kok pada diem? Lisa bantuin apa dong?"
David terusik, "Lisa bantuin ngelapin perobatan aja ya, biar Mama yang urus lainnya. Papa mau beli kabel dulu sekalian mau nemuin Pak Manan."
"Mau apa nemuin dia?"
"Papa mau minta bantuan dia buat beresin kabel - kabel. Beberapa tempat kan lampunya gak nyala. Dan siapa tau juga dia mau bantuin bebenah juga. Permisi!"
David mau keluar. Tapi Dewi keburu mencegatnya. "Tunggu! Aku.... Aku ikut aja!"
Ujarnya sambil melirik seantero ruangan.
"Mama takut bedua sama Lisa?"
Dewi Diam.
"Kan ada Mbak Nilam." David nyeletuk.
"Justeru aku takut sama dia!"
David ketawa, "Kamu ini ada – ada aja. Mbak Nilam secantik itu kamu takutin, jangan jangan kamu takut dia ngerebut aku kan? Iya, kan?"
Dewi menepis cubitan tangan David ke dagunya.
"Aku tuh serius, mas? Aku ikut!"
Dewi tetap memaksa juga, dia sambar jaket jeans yang semual tergeletak di sofa lalu buru buru menarik Lisa mengikuti David. David menghela napas pasrah menuju halaman rumahnya.
Sambil men-starter mobil classic-nya, David mulai mengomel lagi.
"Trus kamu nggak bilang dulu ke Mbak Nilam? Ntar dia nyariin kita gimana? Lagian juga kan dia orang baru. Yakin bisa jagain barang kita?"
"Tapi kayaknya tante Nilam orang baik kok."
"Tetep aja Papa Nggak percaya gitu. udah deh, mah... mendingan kalian di rumah. Papa Cuma pergi sebentar doang."
Dewi gelisah dan tampak mulai beralasan.
Rupanya Nilam mendengarkan semua percakapan mereka dari jendela dapur yang baru dibukanya. Dengan geram Nilam menjatuhkan nampan yang sudah diisi dengan teh hangat untuk mencuri perhatian.
Glombraannggg!
Seketika David, Lisa dan Dewi menoleh ke arah Dapur.
"Apa itu?! jangan-jangan ada sesuatu sama Nilam."
"Tanteee..." Tiba-tiba Lisa berlarian masuk ke dalam rumah menuju dapur. Mau tak mau Dewo dan David pun mengikuti kepergiannya.
Tampak Nilam pura pura kesakitan dengan badannya yang basah oleh guyuran teh hangat. Tubuhnya jatuh di antara tumpukan gelas pecah. David reflek membangunkannya tak perdulikan perasaan istrinya yang masih cemburu.
"Mbak Nilam? Kenapa bisa jatoh gini mbak? Ayo bangun... bangun..."
"I... iya pak..."
"Mah, bantuin dong"
Mau tak mau Dewi memapah Nilam lalu mebereskan pecahan gelas yang berantakan.
"Jangan,bu! Biar saya aja yang beresin."
"Gapapa. Mbak Nilam kan bukan pembantu kami. Nggak enak ah kalo direpotin sendirian. Lagian tujuan Mbak Nilam kami undang kemari kan buat bebenah barang aja. Iya kan mah?"
Dewi tersentak lalu menjawab gugup masih dengan tatapan tidak suka kepada Nilam.
"I... iya...,"
Diam diam Nilam merasakan ketidaksukaan Dewi kepadanya, tapi dia harus menahan emosinya sampai tujuan utamanya selesai. Dia hanya menjawab dengan lugas namun penuh teka teki dan ancaman yang mendalam. "Ah, bagi saya... siapapun tamu yang datang ke kampung ini, wajib untuk disambut dan DILAYANI!"
Dewi tersentak. Dirinya semkain tergelitik melihat ekspresi Nilam yang menatap wajah suaminya dengan sorot penuh teka teki. Ia bahkan tak menganggap luka pecahan gelas yang menggores kaki Nilam sebagai sebuah luka. Karena luka hatinya serasa lebih menyakitinya setiap melihat suaminya merengkuh perempuan itu.
"Biar aku yang obatin kaki Mbak Nilam. Lisa, ambilin obat luka di koper mama!"
"Iya, ma..."
Lisa pergi dan kembali dengan sekotak box P3k dan mengeluarkan sebuah obat luka lengkap dengan plesternya. Meski masih kesal, Dewi tetap mengobati gadis itu dengan cekatan. Cekatan dalam arti khusus, cekatan sebagai ekpresi kekesalannya yang masih tersisa.
Luka Nilam sudah rapih tertutup Plester. Tapi luka hatinya masih lebar menganga, sekarang dia diliputi penyesalan panjang lebar karena telah membawa gadis itu masuk ke rumahnya. Bahkan mungkin sudah masuk dalam kehidupan pribadinya. Ah, entah apakah dia yang sudah berlebihan. Tapi itu semua karena rasa cintanya kepada David yang sungguh semakin berlebihan sepanjang menapaki biduk bernikahan dengan lelaki itu. Dewi tak pernah bosan berada disisi David meski setiap hari bertemu. Hadupnya selalu saja sibuk dengan pikiran pikiran soal David dari waktu ke waktu. Pun saat David berangkat ngantor, kadang ia selalu geli untuk mengantarkan bekal makan siang kesana. Tapi karena waktu itu kantor David terlalu jauh dari rumah kontrakan. Dewi terpaksa memakan jatah makan siang David hanya bersama dengan putrinya saja. Sebagai gantinya, setiap hari dia selalu disibukkan mengantar jemput Lisa ke sekolahnya.
"Mbak Nilam istirahat dulu aja ya, pasti kakinya masih sakit banget kan? Nanti biar istri saya aja yang beres-beres"
"Loh, kan aku mau ikut papa!"
"Kamu tega biarin NIlam sendirian dalam keadaan begini?"
"Iya, mah... Kasihan tante Nilam."
Lisa menatap iba pada Nilam membuat Dewi makin kesal.
"Tapi kalo mama mau pergi, ya udah gapapa. Biar Lisa aja yang nungguin tante Nilam."
"Hah? ngaco kamu! nggak bisa... nggak bisa..."
"Tuh kan, kamunya yang ribet. Ngertiin dong mah,. Kita harus segera selesein beresin rumah ini. Besok kan papa udah mulai ngantor. Harusnya siang ini papa survey kantor dulu. Malah jadi repot ngurusin banyak hal."
Melihat suaminya tak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya akhirnya Dewi tertunduk pasrah.
"Ya udah! Papa jalan aja!" Ucapnya seraya meninggalakan dapur dan berusaha sibuk membenahi apa saja.
Tak ingin membuang waktu, David segera pergi menjalankan mobilnya. Lisa mendudukkan Nilam di sofa ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Sofa ayuanan itu terduduk manis di sudut ruang tamu deketa sebuah jendela besar yang mempertontonkan pemandangan halaman rumah dengan semak rimbun dan bunga liar yang masih berantakan.
"Makasih ya, Lisa... maaf jadi ngerepotin Lisa."
"Gapapa kok tante! Lisa tinggal beresin kamar dulu ya, Tante. Lisa kan udah bisa beresin kamar."
Nilam mengangguk dengan senyuman tipis. Membiarkan anak itu pergi menuju kamarnya, tiba-tiba Dewi mendekatinya.
"Kalo mbak mau istirahatnya lebih nyaman lagi, saya anter pulang aja ya? rumahnya dimana?"
Jrenggg!
Seketika Nilam tergagap. Belum sempat menjawab Dewi sudah mengulurkan tangan untuk memapahnya. Meski Dewi menyambutnya dengan senyuman, Nilam cukup tahu kalau perempuan itu sudah tak menyukainya, tapi bagaimana pun juga dia tak ingin menyia-nyiakan tawaran Dewi. Baginya, ini adalah sebuah kesempatan besar untuk menjalankan misinya. Tanpa banyak bicara Nilam menyambut uluran tangan Dewi. Tapi Dewi heran saat Nilam mengajaknya berbelok melewati pintu belakang.
"Kok lewat sini? Lebih deket?"
"Ya!"
"Tapi ruang belakang kan masih rapuh, kalo kejadian lagi gimana?"
"Tadi kan Cuma kebetulan! Ayo!" Ujar Nilam dengan tatapan serius namun diam diam sinis.
Jejak jejak kaki memecah kesunyian di lorong. Satu satunya penerangan aadalah lampu di plafon lorong menuju dapur, itupun sudah meredup seakan menandakan usia bohlamnya yang telah menua. Tiba-tiba lampu itu pun mati mendadak saat Nilam dan Dewi melewatinya, mereka pun terjebak kegelapan yang awalnya terlalu pekat, sampai Dewi tak sadar kalau dirinya tak dibawa menuju pintu halaman belakang, melainkan ke sudut ruangan dekat lemari kayu besar dengan tumpukan banyak barang bekas di atasnya.
Sesekali dewi bersin sampai akhirnya tersandung sesuatu di hadapannya. "Aww... apa ini?"
Perlahan ia picingkan mata, menyambut pantulan cahaya yang lumayan memudarkan kegelapan tadi. Dia melihat bayangan nilam menggeser benda itu dengan hati-hati.
"Apa itu?"
"Rumahku..." desisnya dengan sinis, Dewi sempat terbelalak, beberapa detik ia sempat melihat senyuman sinis penuh kebencian di wajah Nilam sampai akhirnya ia tersadar kalau gadis itu sudah mendorongnya dengan sangat cepat ke belakang..
Bruaakk... duk... dukk.. duaaakk!
Tapi tubuh Nilam tidak jatuh menubruk barang apapun di dekatnya, melainkan seolah terperosok ke dalam sebuah lubang dalam di bawah lantai. Hanya benturan tubuhnya yang merasakan ngilunya tangga tangga kayu yang menuju lubang bawah tanah rahasia itu. Dewi menjerit. Sayang jeritannya tak didengarkan oleh Lisa yang asyik memasang boneka di kamarnya sambil memakai headset.
Braakk!
Akhirnya tubuh Dewi beradu dengan lantai dengan kedua kakinya yang menekuk ke bagian kepala. Saat itu dia hampir tak merasakan apapun kecuali tetesan darah dari batok kepalanya. Sisanya, hanya pening yang merajam. Sayup-sayup ia mnedengar suara langkah kaki menapaki tangga tuun mendekatinya dengan tawa puas.
"Hihihi..."
Lalu diikuti suara desisan ular piton. "Ssshhhh..."
To be Continued...