Ular itu terus menjulurkan kepalanya yang sebenarnya lebih kecil dari tubuhnya yang sebagian masih melingkar di kayu kusen ruang belakang itu, sesekali ia menjulurkan lidahnya yang bercabang seakan sedang merasa merasa bagian tubuh David mana yang akan dia lahap nanti setelah berhasil membekuk tubuh lelaki atletis itu dengan gulungan tubuhnya yang penuh sisik. Dan ketukan sedikit saja ia hampir berhasil menyambar David, David sekonyong-konyong menundukkan tubuhnya untuk kembali mengangkat sisa kusen yang jatuh berserakan di lantai. Tapi gelagat Piton itu seakan tak mau menyerah dan melepaskan David begitu saja. kali ini dia meliukan tubuhnya dan bersiap menerkamnya dengan posisi yang sepertinya sudah ia perkirakan, Piton itu masih menatap liar dan waspada pada gerakan demi gerakan David.
Jrenggg!
****
Sementara itu Dewi sudah merebahkan punggungnya ke sofa kulit tua yang semalam sempat ia bersihkan dengan lap basahdan air sabun. Paling tidak debu debu tahunan itu tak tercium lagi saat ia mencoba menyedot oksigen baru setelah ia syok atas insiden tadi, tiba-tiba Nilam sudah menyodorkan segelas air mineral dengan botol yang masih disegel.
"Ini, minuman ibu, kan?"
Dewi tertegun lalu menyambut uluran gadis itu dengan sedikit senyuman kaku.
"Boleh saya merebus air? Sepertinya kalian butuh minuman hangat." Tawarnya lagi dengan santun. Keramahan gadis itu perlahan membuat Dewi luluh akan prasangka – prasangka aneh kepada gadis itu.
"Wah, aku bisa minum susu dan makan sereal dong."
"Lisa! Ngerepotin Tante Nilam aja..."
"Nggak papa!" Nilam segera beranjak ke dapur. Tampak Lisa menyibukkan diri membuka kardus mainannya, sebagian isinya dia bawa ke kamar.
Masih dengan kepalanya yang pening, Dewi mencoba bangkit sambil memijit kepalanya dengan sebelah tangan. Dia tatapi seantero ruangannya yang kini hening dan senyap. Bau lembab yang terpantul dari dinding – dinding ruangan masih menusuk hidungnya. Sarang laba-laba yang tertutup debu tahunan masih menghias dimana – mana. Batinnya, PR-nya membereskan rumah itu semakin berat saja.
***
Langkah Nilam menuju dapur terhenti menatap tubuh kekar David dari ujung lorong itu, dia tatapi tubuh kekar itu dengan tatapan penuh arti, wajahnya yang semula lugu kini berubah menjadi liar melihat otot – otot David yang terus mengangkut kayu.
"Akhirnya yang kutunggu-tunggu telah datang...," desisnya setengah berbisik kepada dirinya sendiri. lalu dia tertawa puas dan kembali merubah rona wajahnya saat David tiba-tiba menyadari kehadirannya.
"Mbak Nilam?"
Nilam pura-pura tertunduk gugup, gadis itu sungguh pandai memainkan segala peran dalam situasi yang sama, tapi sepandai apapun gadis itu bersikap David seakan merasakan kejanggalan pada gadis itu. Apalagi saat gadis itu tiba-tiba melotot menatapnya dengan syok.
"Ada apa?"
Nilam tak menjawab, dia malah semakin melotot menatapnya sampai kemudian David mendengar desisan Piton yang kian mendekati kepalanya, sedetik kemudian ular itu menjatuhkan tubuhnya ke tubuh David lalu berusaha menggulung tubuh David dengan kekuatan penuh.
"Aaakhh... toloonggg!"
Nilam reflek berteriak sembari berlari ke arah David lalu berusaha melepaskan belitan ular itu.
"Jangaannn! Lepaskaaan diaaa,..."
Entah keberanian dari mana, Nilam seolah tak gentar bergulat dengan ular itu, David belum mau berpikir bagaimana Nilam berhasil meloloskan tubunnya Dari Piton besar itu, sebab rasanya seluruh sendinya terasa remuk. Toh kalaupun ia kasihan dan ingin menolong Nilam, tubunya tak mampu bergerak banyak. beruntungnya Piton itu tak sempat menggigit atau berhasil membebat tulang lehernya.
Braakk!
Tubuh Nilam terbanting, namun berikutnya ia berhasil melemparkan balok kayu besar ke tubuh Piton itu. Piton itu kalang kabut lari melalu kusen kayu, bergerak ke atas plafon dan pergi entah kemana tepat saat Dewi dan Lisa muncul setelah mendengar teriakan tadi. Namun yang mereka lihat adalah David yang sedang merengkuh tubuh Nilam yang pura pura lemas.
Jreng!
"Papa?!"
David terkejut, segera ia lepaskan pelukan Nilam lalu dengan gugup menjawabnya.
"Papa baru aja diserang sama Piton besar, untungnya Mbak Nilam menyelamatkan Papa. Hh... hh... hh..."
Agak sulit bagi Dewi menerima penjelasan jujur dari David, sebab pemandangan yang ada di depan matanya terasa lebih jujur dari sekedar alasan. Dewi tak bisa menekan rasa cemburunya. Namun luka –luka lebam David sedikit membuyarkan egonya tadi. Dewi segera menghambur membangunkan suaminya.
"Dimana ular itu?"
"Udah pergi, Mbak Nilam yang usir"
"Mbak Nilam bisa ngusir Piton besar?" ulangnya sekana tak percaya. David mengangguk. Tapi entah mengapa ia merasa perlu was was terhadap perempuan itu.
"Disini memang banyak ular, tapi aku tidak menyangka akan ada piton sebesar itu di rumah ini!" jawab Nilam.
"Ih... tante kok berani? Gimana ngusirnya..."
"Tante nggak berani, Cuma tante nggak bisa biarin Pak david kenapa-napa kan?"
Deg!
Bukan David yang tertohok akan kalimat itu, tetapi Dewi lah. Mendadak ia merasa menyesal telah membawa gadis itu masuk ke rumahnya.
"Ya Sudah...yang penting semuanya selamat. Nanti gimana caranya aku nyari tukang bangunan lewat aplikasi buat benerin rumah ini. Sekali ngecek siapa tau ada sarang Piton di sekitar rumah ini"
"Aku setuju! sekalian cariin orang buat bantu bantu beberes rumah ini juga ya?" Ucapnya melengos dari pandangan Nilam. Ekspresi Nilam tegang.
"Loh kan udah ada Mbak Nilam, ma?"
"Iya nih mama... belum juga kerja, mama udah mau cari yang lain aja."
"Mbak Nilam kan Cuma mau bantuin, kalian jangan malah bikin dia seolah jadi pembantu dong di rumah ini. Udah deh... ga usah ributin soal ini. Ayok ke depan aja...!"
Jreng!
Sekejap raut wajah Nilam berubah marah melihat kepergian Deiw yang meninggalkan kalimat pedas baginya. Tangannya terkepal geram, giginya gemeletuk menahan marah, sesaat kemudian dia menoleh ke arah plafon tempat dimana Piton tadi menghilang.
"Keluarlah! Kelak, kau harus mangsa perempuan itu! aku tidak suka perempuan itu ada di rumah kita"
Dan tak lama, terdengar suara desisan piton yang kemudian menjulurkan wajahnya. Nilam tersenyum puas melihat Piton itu. Piton itu perlahan mendekat Nilam yang kemudian menyambutnya.
***
Lisa sudah membawa kardus mainannya yang terakhir ke dalam kamarnya, sepertinya ia langsung membereskan boneka boneka kesayangannya tadi di lemarinya.
Dewi masih kusut. Melihatnya, david jadi emosi.
"Mama kenapa sih ngomong gitu di depan Mbak Nilam? Nggak enak dong sama dia... dia udah baik sama Kita, mau nolongin beberes dan juga..."
"Nyelametin papa?"
David terdiam.
"Aneh, perempuan kok bisa begitu beraninya sama ular. Piton lagi... kok jadi dia yang lebih perkasa daripada papa."
"Ya kan bisa aja. ungkin dia udah biasa ketemu ular. Namanya juga tinggal di kampung."
"Tapi nggak biasa sama sikapnya dia, pa?"
"Suami lepas dari kecelakaan kok bukannya seneng? Lagain kan Mama sendiri yang ngajakin Mbak Nilam kesini kan?"
"Ya, tapi itu saat Mama pikir dia perempuan normal!"
"Astagaa... Mamaaa... stooopp!"
Dewi terkejut David membentaknya, air matanya hampir berlinang, buru buru David memeluknya dari belakang.
"Udah, ma... udah. Papa nggak mau kita berantem, ada banyak hal yang harus kita bereskan di rumah ini, kan?. Lagian Papa ngerti kok. Mama pasti cemburu wakti liat Mbak Nilam nolongin Papa, kan?"
Dewi tertohok .
"Tapi Nggak papa, itu tandanya Mama masih sayang banget sama Papa. Iya, kan?"
Perlahan David raih dagu isterinya, dia kecup kening istrinya dengan penuh kasih sayang. Hingga semua ego dan marah luruh dari hati perempuan itu menjadi air mata bahagia dalam dekapan penuh cinta.
Namun dari sudut ruangan yang lain. Sesorot mata gadis desa itu kian membara penuh kebencian. Tangannya mengepal geram melihat kemesraan sepasang suami istri itu, seekor Piton melilit leher dan lengannya, gerak liarnya seakan memberikan kekuatan dendam yang membara. Nilam mengelus kepala ular itu lalu pergi diam diam ke dapur tanpa sepengetahuan dua sejoli tadi.
Seakan merasakan kecamuk dalam hati tuannya, ular itu ikut mendesis marah
"Sssshhh...!"
To be Continued.