Derap langkah kaki Lisa dan Dewi bergaung memantulkan suara yang khas walau terdengar mengilukan bulu kuduk mereka. Demi menghibur perasaan yang carut marut di benaknya saat melalui lorong rumah bagian belakang yang pengap oleh bau lumut dan debu, juga dengan juntaian sarang laba-laba raksasa disana sini, ditambah temaramnya ruangan belakang yang mirip gudang barang bekas. Dewi berusaha menghibur diri dengan menghitung suara langkah kakinya, namun tepat di hitungan yang ketiga, ia merasa ada yang janggal pada derap langkah yang ke berikutnya. Terutama pada langkah Nilam di belakangnya.
Drap... drap... drap...
Perlahan ia menghentikan langkahnya, ia memberanikan diri menoleh ke belakang. Deb! Dewi pun mendapati sosok Nilam yang ikut terhenti yang lalu menatapnya dengan biasa saja.
"Ada apa, ma? Kok berhenti?" Tanya Lisa yang ikut keheranan di sebelahnya.
Sedikit gugup Dewi menjawab pertanyaan putrinya yang terlihat tegang. Tapi dia justeru merasa tegang dengan sikap Nilam yang tak menunjukan reaksi ngeri atau takut sama sekali memasuki ruangan demi ruangan yang pastinya tak pernah terinjak kaki manusia setelah sekian lama itu. "Mmm... nggak papa kok." Ucap Dewi kali ini sambil menyelidik ke bagian kaki Nilam.
"Mama takut ya?"
"Sedikit, soalnya ini ruangan kayak udah lama banget kosongnya. Mmm... Mbak Nilam gimana? Berani?"
Nilam tersungging, "Saya kan orang sini!"
Deg!
Jawaban itu terasa begitu dalam bagi Dewi. Tapi Lisa mencairkan situasi dengan penekanan keyakinannya.
"Tante Nilam pasti udah sering main kesini kan. Makanya nggak takut. Ya kan, tante...?"
Nilam tersungging kembali, namun sebenarnya sunggingannya penuh arti.
"Ya udah yuk, kita masuk lagi... Mbak Nilam hapal ga seluk beluk rumah ini. Rumah ini terlalu besar dan ruangannya belok belok begini. pasti keren banget yang bikin rumah ini... " ucapnya lagi memecah ketegangan.
Nilam tertawa di belakang, dia mengangguk sekalian tertawa lirih. "Ya! Nanti belok kiri saja."
Lalu mereka melanjutkan kembali langkah langkah mereka menuju ke ruangan berikutnya. Meski begitu, diam-diam Dewi seolah berkonsentrasi mendengarkan derap kaki Nilam yang sejak tadi nyaris tak terdengar. Ya... hanya dua derap kaki dirinya dengan Lisa saja yang sejak tadi bergaung di tengah kesunyian ruangan. Inilah yang sebenarnya membuat dia merasa ada yang aneh dengan Nilam.
Sementara itu Nilam menatap kedua manusia di hadapannya dengan pandangan yang mulai berubah sengit,dengan pelan tangannya menggerakan ke arah kayu kusen yang melintang di ambang pintu keluar itu. kayu kusen itu akan berposisi tepat di atas kepala Dewi dan Lisa jika beberapa langkah lagi mereka tetap berjalan statis ke depan.
Seeettt...!
Tampak kayu kusen bergerak – gerak menepiskan sisa debu tahunan di tubuhnya, runtuh tertembak sorotan sinar mentari yang menerobos lewat lubang angin di jendela kusam bagian kiri tembok. Sayang, Dewi dan Lisa tidak menyadarinya. Pun ketika decitan kecil dari gesekan kayu itu mulai terdengar halus, mereka tetap melangkahkan kaki dengan mantap. Hingga kemudian Kayu itu bergerak dan dengan sangat cepat akan meluncur ambruk di atas kepala Dewi dan Lisa. Tiba-tiba Dewi terhenti dan malah menarik Lisa ke belakang, berdiri sejajar dengan Nilam demi memastikan kejanggalan langkah kaki Nilam yang sunyi. Sekonyong-konyong tubuh Lisa pu ikut terbawa ke belakang.
Braakkk!
"Aaaaww!" Lisa dan Dewi berteriak ngeri.
Jeritan keduanya sontak mengejutkan situasi. Bahkan sanggup membangunkan tubub letih David yang sebelumnya masih terbaring pulas di kamar Lisa. Serentak ia berlari menubruk pintu kamar sambil berteriak panik ke seantero ruangan.
"Lisaaa?!! Dewiii?! Kalian dimana... Lisaaa?! Dewiii?!..."
Belum ada sahutan yang meredamkan kekhawatiran David saat itu. Sehingga membuatnya semakin panik, dia berteriak teriak heboh sambil membuka pin tu demi pintu di setiap ruangan di rumah itu. berlari menuju lorong dan koridor gelap di kedalaman rumahnya yang terlalu besar.
Sebenarnya teriakan David sudah sampai ke telinga Dewi maupun Lisa, namun keduanya masih syok atas apa yang baru saja menimpa mereka. Untunglah pelukan Nilam yang spontan meredamkan kegugupan itu.
"Kalian tidak apa-apa. Tenanglah...," Ucap Nilam, ucapan itu berhasil meredam Dewi sampai ia lupa akan tujuan utamanya memastikan kejanggalan yang ia pahami tadi. Lisa mengeratkan pelukannya kian dalam. Meski Nilam juga merengkuhnya dengan jemari halusnya di pinggang anak itu.
"Lisaaa! Dewiii...! jawab aku! Kalian dimana..." gelegar suara David seolah terdengar semakin mendekat, menyadarkan ibu dan anak itu untuk segera kembali tenang sebab dewa penolong mereka hampir tiba.
"Papa! Papaaaa...kami disiniii!"
"Papaaa..."
Teriakan Dewi dan Lisa membuat David sedikit lega di tengah kepanikannya yang belum selesai. Dia pun segera menyungsung ke arah sahutan Dewi dan Lisa. "Kalian dimanaaa...?"
"Di Ruang belakang yah... cepet kesini. Lisa takut!" balas Lisa.
Tapi ucapan Lisa membuat wajah Nilam kian sengit, dengan geram ia kemudian mengetatkan cengkeram jemarinya tadi menjadi cakar cakarnya ke pinggan Lisa dan Dewi. Namun saat ia hampir melakukannya, David keburu datang menubruk tubuh anak istrinya yang masih ketakutan di dekat tumpukan kayu kusen yang sudah terberai akibat terbentur lantai ubin.
"Dewiii... Lisaaa?! Kalian nggak papa, kan?"
"Iya pa... kami nggak papa..."
"Hhh... syukurlah. Papa syok denger jeritan kalian dengan suara berdebum tadi. Papa Kirain kalian kenapa? Lagian kalian ngapain ke belakang berduaan sih? kalo mau beres-beres mestinya nungguin papa bangun dulu. ini kan rumah lama...wajar kalo beberapa bagiannya udah rapuh gini."
"Iya... pa... maaf! Ucap Dewi.
David melepaskan pelukannya, namun kemudian sebentar ia terperangah melihat sosok gadis desa yang ada di dahapannya. Nilam pun langsung mengangguk sopan dengan gesture wajah ala gadis desa lugu yang memberi salam hormat. David tercekat. "Ini... Siapa, ma?"
"Oh, Ini Mbak Nilam, dari pada dia udah ngajak main Lisa di belakang. Ternyata dia tetangga kita, Pa. Mbak Nilam ini mau bantuin kita beres beres rumah. Oh ya Mbak Nilam, ini David, suami saya."
Sekali lagi Nilam menganggguk.
"Nilam"
Deb!
Entah kenapa, suara Nilam seakan menusuk telinga David, seakan suara itu pernah begitu akrab. David mencoba menepis pikirannya dengan mencoba sedikit tersenyum, tapi entah kenapa dirinya seolah tetap merasa yakin terhadap pendiriannya bahwa ia pernah dekat dengan gadis itu. Dekat dalam arti khusus sehingga ia enggan mengulurkan tangan seperti yang biasa dia lakukan setiap setiap bertemu dengan klien klien di kantornya.
"Papa nggak keberatan kan kalo kita dibantuin Mbak Nilam?"
"Oh, nggak... nggak...malah papa bersyukur, jadinya Mama ada yang bantuin. Ya udah.Kalian masuk ke dalem, biar Papa yang beresin kayu kayu ini."
Awalnya Dewi ragu meninggalkan David di ruangan itu. Namun kehangatan sikap Nilam meruntuhkan ketegangan dan keyakinan Dewi.
"Benar kata Pak David. Sebaiknya kita ke dalam. Disini udaranya kurang bagus. Mari mbak..."
Gadis itu membangunkan Dewi dan Lisa dengan rengkuhan dan gesture tubuh yang lembut. David sempat memperhatikannya, entah mengapa di matanya gadis itu seolah punya magnet yang kuat dengan dirinya. David buru-buru menepis pikirannya. Namun saat mereka berlalu pergi dan melewati ambang pintu ruangan itu, David dibuat syok dengan sikap Nilam yang tiba-tiba menoleh padanya dengan senyuman dan tatapan mata penuh arti tanpa sepengetahuan Dewi dan Lisa.
Deb...!
David tertohok, bukan karena sikap Nilam saja ia terkejut, namun ia benar benar merasa bahwa senyuman itu akrab di hatinya. David benar benar mengenali sunggingan khas itu, tapi dimana?! Kapan? Bukankah ia juga baru pertama kali mengenal gadis itu? kalaupun ini De Javu, tapi De Javu macam apa?
Jrenggg!
Seketika sendi – sendi tubuh David kian lemas, ia merasa kehadiran Nilam saat itu seperti menghantarkan suatu makna. Tapi Makna apa...?
David terhempas di dalam pikirannya sendiri. Dia habiskan tatapannya pada Gadis itu sampai gadis itu berbelok ke ruangan lainnya, namun sunggingan gadis itu tetap melekat dalam pikiran dan bayangannya.
"Astaga, ini ngeri!" batinnya gugup dan takut. Tanpa ia pahami mengapa dirinya jadi begitu ngeri dengan situasi di ruangan itu yang sebenarnya jauh lebih ngeri sebab David tidak sadar jika dirinya tengah diincar seekor Piton yang melilit kusen lain di plafon ruangan itu. Piton itu menatap liar dan menggeser tubuh panjangnya tanpa suara. Desisan bisu di tiap lidahnya menjulur julur pelan mendekati hingga tergantung ke udara dan kian mendekati tengkuk David yang masih berdiri kaku.
Jrengg!
To be Continued....