Pohon Akasia menua, daunnya ramai jatuh oleh hembusan angin sore. Sebuah sepatu pengantin menapaki reruntuhannya, pemilik kaki mulus itu baru saja turun dari sedan tua yang dihias bunga bunga. Langkah pengantin itu diikuti mempelai pria. Mereka menapaki halaman sebuah rumah tua yang artistik dilengkapi rerimbunan pohon dan warna warni bunga liar. Keduanya saling bergandeng pinggul, melangkah lambat menapaki tangga halaman bersemen yang sebagiannya penuh lumut.
kedua pengantin itu tampak bahagia. pengantin wanitanya seolah tak sabar membuka kenop pintu rumah tua itu.
Kreeoot...
Pintu rumah tua bergerak perlahan dengan suara deritan yang khas. Gaung deritannya seolah terlontar ke dalam celah ruangan yang belum sepenuhnya terbuka.
Namun tiba tiba higheels-nya terpeleset lumut tangga sehingga dia terhuyung jatuh.
"Aaa... "
"Dewwiii..." teriakan nyaring pengantin pria begitu khas. Si pria reflek menopang tubuh gadis itu. Namun ketika wajah gadis itu menoleh menghadapnya. Wajah gadis itu tiba tiba berubah mengerikan. Reflek si pengantin pria melepaskan pelukanya sambil terpekik ketakutan.
"Aaa... "
***
Dewi yang baru saja terbangun pun sama sama terpekik ngeri, tapi dia sudah tak berbaju pengantin lagi. Mukanya kini kuyu oleh keringat yang membasahi piyamanya. Ia masih begitu gugup menyadari mimpi mengerikan tadi.
"Ja... jadi tadi itu cuma mimpi? Ta.. tapi kok mimpinya serem gitu, ya? Iiy..."
Dewi meraih gelas air mineral di bufet sisi ranjang tidurnya. Dia tenggak pelan dan ketika hendak meletakannya lagi. Tiba-tiba sebuah tangan mendekatinya dari belakang. Tangan itu bergerak Perlahan seolah akan mencengkeramnya. dan...
Pluk... !
"Aaa... "
Dewi histeri seraya menoleh ke belakang, ternyata David yang menepuk bahunya. Melihat istrinya ketakutan, David malah terkekeh puas meeldeknya.
"Iih, istri kesayanganku ternyata kagetaaann... hahaha..."
"Papaaa... lagian sih, orang baru bangun tidur dikagetin." balas Dewi dengan manja.
"Makanya jangan tidur lewat magrib, kata ibu aku. Pamali tau! Kan udah pernah diingetin berapa kali. Kamu juga jadi ngelewatin solat magrib lagi kan jadinya?"
Dewi tersipu
"Iya. Pa... maaf deh, Abis Papa pulangnya telat lagi sih."
"Maaf ya. Tadi Papa ada masalah di kantor." Ucap David luruh sambil membuang muka.
"Masalah?"
Seketika wajah Dewi berubah, mengikuti ekspresi perubahan wajah David yang tiba-tiba murung.
"Iya, aku dikeluarin dari kantor, sayang."
"Apaaa...?"
Dewi tampak syok. Langsung lemas dia terduduk di pinggiran kasurnya. Sekuat tenaga melanjutkan pertanyaannya.
"Jadi papa...?"
"Papa dipecat, karena mulai besok Papa naik jabatan jadi manager area di cirebon.
"Haa.. Manager area??!!" Dewi menjerit dan langsung mencubit heboh sekujur tubuh suaminya dengan gemas dan geram.
"Iihhh..seneng banget ya ngeprangk-in aku. nakal.. nakal.. nakal... " David tertawa puas.
Tapi tiba tiba dewi menghamburnya sambil menangis haru, David berusaha tenangkan, dia usap pelan air mata dewi yang kini malah mendadak diam. Dewi seolah tak mampu
berkata-kata lagi atas kabar gembira itu. lagi lagi perempuan berwajah sayu dengan hati yang begitu teduh hanya bisa meneteskan air mata bahagia. Dengan terbatanya berkata.
"Alhamdulillah, Pa... memang sudah seharusnya kamu naik kelas setelah sekian perjuangan itu."
David tersenyum puas tapi ia kemudian meralat kalimat itu. "Enggak sayang... bukan cuman aku yang harus naik kelas tapi keluarga kita juga. Jadi mau ya kalau kita semua pindah ke rumah ini?" tanya David sambil menunjukkan sebuah iklan rumah tua dijual di ponselnya.
Dewi mengambil ponsel itu dari tangan David dan mengamati gambar rumah itu. keningnya yang dihias oleh sebutir jerawat tampak mengerut seolah berpikir sesutu. Apalagi saat ia memperbesar gambar itu. Dewi seakan gugup mengingat model pintu ruma itu.
"Nggak mungkin... nggak mungkin... Kenop pintu rumah itu... seperti pintu dalam mimpiku tadi." Gumamnya dalam hati.
Ekspresi wajah Dewi membuat David berdebar menunggu jawaban istrinya.
"Gimana Sayang... memang cuma rumah tua, tapi harganya murah sesuai dengan kemampuan kita. Kita bisa renovasi lagi kok bagian bagian yang rusaknya. Rumah itu bisa jadi secantik kamu. Daripada kita jadi kontraktor terus tiap tahun. Tukang ngontrak rumah. hehehe... "
Dewi tak menjawab ia seperti tengah berpikir sesuatu. David pun mulai cemas menunggu tanggapan istrinya, ekspresi wajah lucunya pun berubah tegang. sehingga kemudian ia segera merawat kalimatnya lagi.
"Tapi kalau kamu tidak suka tinggal di rumah tua, kita bisa kredit rumah rumah baru kok."
Seketika Dewi menoleh ke wajah David. Ia lalu tersenyum menggoda.
"Siapa juga yang mau utang-utang. Kalau kemampuan kita cuman segitu ya udah... Aku sama Lisa dengan senang hati ikut kemanapun kamu tinggal." Ucapnya lagi sambil mencubit ujung hidung David. David terkekeh senang sambil memeluk istrinya dengan begitu mesra.
"Makasih ya, sayang. Kamu itu perempuan yang selalu ngertiin aku banget. Aku tuh beruntung banget dapetin kamu."
"Iya, sayang. Aku ngerti kok kamu ini masih baru baru aja bangkit. Kebangkrutan usaha kita mengajarkan aku untuk selalu menerima dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Semoga Lisa juga ikut senang tinggal di sana."
David semakin lega. Tiba - tiba ia teringat sesuatu.
"Oh iya... aku belum ketemu Lisa."
"Dia udah tidur pulas kok di kamarnya. Kayaknya dia kecapean seharian nungguin kamu pulang. Cuma mau nunjukin nilai ulangannya doang sih"
"Wah, pasti ada perkembangan ya sama hasil belajarnya Lisa di sekolah. Ya udah aku aku tengokin Lisa dulu ya di kamarnya."
Dewi mengangguk. David melepaskan pelukannya dari hangatnya tubuh Dewi. Ia lalu bergegas menuju kamar Lisa diikuti langkah Dewi dari belakang. Namun baru saja ia melangkah tiba-tiba terdengar derit suara jendela yang terbuka pelan
kreeoott...
Deg! Entah mengapa suara jendela yang terbuka itu mirip sekali dengan irama derit pintu rumah tua dalam mimpinya. Seketika bulu kuduk Dewi menengang, gemuruh di dadanya terlonjak naik, dia paksakan tubuhnya memutar menghadapi jendela kamarnya yang terbuka. Gelap. Karena memang hari sudah malam. Entah bagaimana, Dewi merasa ketakutan dalam mimpinya tadi kembali hadir. Terlebih saat melihat foto rumah tua yang diperlihatkan suaminya tadi. Jangan-jangan mimpi itu sebuah firasat yang nggak baik. Tapi firasat macam apa?
Blaaak!
Dewi kembali terlonjak oleh suara hantaman daun jendela yang tiba tiba terhantam angin itu. Buru buru ia tepis carut marut di pikirannya. Lalu dengan setengah berlari ia menuju jendela untuk segera menutup dan menguncinya.
Sedikit lega, tapi sisa kepanikan masih tak terkontrol di setiap deru nafasnya. "Ah, aku ini mikir apa sih. Belum tentu juga rumah tua itu sama beneran ama rumah aneh yang ada di mimpiku itu. Lagian itu kan cuma mimpi. mimpi yang ngaco. Mana mungkin pula wajah aku berubah jadi seserem itu tanpa ada apa apa. Dan mana mungkin juga aku ngadain pesta nikah yang kedua kalinya sama Mas David. Gumamnya dalam hati sambil meneguhkan perasaannya. Seakan semuanya yang dia ungkapkan benar benar dapat meluruhkan rasa takutnya.
Dewi segera menutup jendela dan melempar tatapannya ke luar jendela. Breet...!
namun tiba tiba semua gelap. Seketika Dewi berteriak ditimpali teriakan Lisa dari kamarnya.
"Aaa...!"
***
continued....