"Aku hampir dibunuh oleh tiga orang psikopat. Kepalaku ditusuk menggunakan linggis hingga tembus dan hampir kehabisan darah. Kejadian itu terjadi di lorong rumah sakit bagian belakang, saat itu aku baru saja sampai untuk bekerja paruh waktu sehabis pulang sekolah sebagai cleaning service. Tiba-tiba, sekelompok cewek bertopeng datang mengampiriku, mereka menyeretku ke dalam gudang kemudian mengikat tangan dan kakiku lalu kemudian menyerangku secara brutal. Sampai akhirnya seseorang menancapkan linggis ke kepalaku. Tengkorak kepalaku berlubang. Samar-samar kudengar Riyal meneriakan namaku, ia memanggil mencariku untuk memberikan bekal makan malam padaku seperti biasa. Mereka yang mendengar suara itu segera berlarian keluar tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Sampai akhirnya Riyal menemukanku dalam keadaan mengerikan yang membuatnya mengigil ketakutan. Tidak lama kemudian datang suster Ella yang kebetulan mau pergi ke pondoknya melewati depan gudang. Sontak Riyal berlari padanya dan menangis sesenggukan membuat ia penasaran lalu berjalan mengikuti petunjuk Riyal demi melihatku. Ia lantas dengan cepat menghubungi polisi. Sesaat polisi datang ternyata mereka dibuat begitu susah untuk mengidentifikasi pelaku. Kemungkinan itu adalah pembunuhan yang sudah direncanakan dengan apik. Aku pun segera dilarikan ke UGD, para dokter begitu kesusahan melepaskan linggis yang menancap di tengkorak kepalaku. Sampai akhirnya ketika berhasil, rupanya aku tak dapat bangun kembali. Beruntung masih ada harapan untuk hidup. Meskipun kemungkinannya sangat kecil," jelas Verlyn panjang lebar membuatku yang mendengarnya dibuat terdiam membisu sambil mencoba membayangkan kejadian itu tengah berada di hadapanku saat ini. Menyeramkan.
"Kamu tahu siapa mereka? Dan apa motif dibalik itu semua?" tanyaku sambil mengusap tangan karena tiba-tiba merinding.
"Aku kurang tahu pasti. Tapi, sepertinya mereka adalah fans gila Carlos Andafa. Mereka nggak terima saat Carlos akrab sama aku. Hingga akhirnya mereka melihatku diantar oleh Carlos ke rumah sakit itu dan mereka membututi mobil Carlos. Aku sempat merasa tidak nyaman saat itu. Namun, aku sebisa mungkin untuk tetap terlihat biasa saja. Dan terjadilah drama selanjutnya seperti yang aku katakan tadi," ucap Verlyn diikuti dengan senyuman miris.
Aku memandang wajah pucatnya yang seperti ingin menangis. Andai saja aku dapat menyentuh tubuhnya, ingin rasanya aku memeluk dirinya, menenangkan perasaan sesak campur aduk yang pasti ia rasakan saat ini. Sejenak aku lupa kalau dia adalah roh yang tidak lagi bisa merasakan apa-apa.
"Aku boleh meminta sesuatu sama kamu?" tanyanya padaku yang kubalas dengan anggukan dan alis yang terangkat sebelah.
"Tolong temani Riyal selama aku masih belum bisa kembali ke tubuhku. Ia sangat kesepian," pintanya padaku dengan memberi tatapan memohon.
"Insya Allah, akan aku temani dia, tapi aku nggak bisa nemenin dia terus-terusan," ucapku sambil merapikan ikatan rambutku.
"Hey! Aku tidak menyuruhmu untuk menemaninya seharian. Lakukan seperti ini saja, setidaknya kamu mau bertemu dengannya setiap hari, walaupun hanya beberapa menit saja. Kamu paham maksudku bukan?"
Aku hanya mengangguk lalu tersenyum manis padanya. Ingin rasanya aku menanyakan siapa Carlos Andafa itu, kenapa ia tidak ada saat Riyal membutuhkan seseorang untuk menemani dan menjaganya? Mungkin lain kali saja kutanyakan, lagipula sekarang sudah senja, sebentar lagi magrib.
____________
Hari ini Minggu, aku tidak ada planning apapun. Eh, ada sih, sebenarnya, tadi Terrena dan Azzar ingin mengajakku ke mall, tapi kutolak karena aku lagi nggak mood cuci mata. Kuputuskan untuk pergi mengunjungi Riyal saja. Dari pada nggak ada kerjaan di rumah.
"Aku ikut!"
"Dih, ngagetin aja!"
"Kamu mau kemana?"
"Tadi kamu bilang mau ikut, berarti kamu sudah tahu dong tujuanku mau kemana."
"Mau menengok putri tidur, kan," ucapnya lebih kepernyataan sambil mengibas rambut yang membuatku merinding karena anginnya.
Sesampainya di dalam rumah sakit, Verlyn langsung menunjukan ruangannya sendiri. Padahal aku sebenarnya sudah tahu letaknya ketika pada hari dimana aku mengantar map punya mama aku sempat mengantar Riyal sampai depan pintu ruangan.
Aku melihat tubuh Verlyn yang penuh ditempeli dengan selang-selang yang aku tidak paham selang apa saja itu. Pastinya adalah pelanjut kehidupannya. Aku bergidik ketika kembali membayangkan bagaimana bisa sebuah linggis menancap tembus di kepala, hih, aku dibuat merinding lagi.
"Kak Za!" tiba-tiba seorang anak kecil yang habis dari toilet berlari mengampiriku sembari memeluk erat pinggangku.
"Kakak, akhirnya datang juga," katanya setelah kami duduk di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Kali ini beneran senyum yang lekukannya jelas terlihat.
Kulihat Riyal bergerak ke ranjang Verlyn, seakan sedang mengajak Verlyn mengobrol. Ngomong-ngomong roh Verlyn kemana, ya? Kebiasaan banget, tuh, anak.
"Kakak, Riyal sekarang sudah nggak kesepian lagi. Ada kak Za sekarang yang lebih sering nemenin Riyal, Kak," ia berpaling wajah ke arahku, "Kak Za, mau, kan, nemenin Riyal terus?" pintanya dengan wajah yang sangat menggemaskan. Aku hanya memberi respon mengangguk dan tersenyum manis padanya.
________________
Sehabis dari rumah sakit, aku pergi ke minimarket yang berada tidak jauh dari rumah. Karena besok sudah mulai Ramadhan, jadi aku harus membeli segala keperluan, pastinya bahan makanan.
Seperti biasa, minimarket ini ramai oleh para ibu-ibu yang berbelanja.
"Woah! Camilan kamu banyak banget, Rel! Yakin tuh perutnya muat?" tanya Verlyn tiba-tiba. Aku tidak menjawab melainkan memutar bola mata malas saja. Lagipula bisa dikira orang gila nanti karena akunya bakal kelihatan seperti ngomong sendirian.
Setelah belanja aku segera pulang ke rumah. Masuk pintu langsung menuju atap.
"Heh! Pemalas banget, sih. Mandi dulu, kek, malah langsung nongkrong di sini. Senja, para hantu pada keluar, lho,"
"Bentar lagi. Ngomong-ngomong hantu, kamu besok dipasung nggak?" tanyaku polos.
"Lo kira gue setan?"
"Habisnya kamu transparan gitu, mana yang lihat cuma aku doang lagi."
"Ya, namanya juga roh, tapi bukan berarti aku ini setan atau hantu juga. Dah, ah, mandi sana kamu! Bau!" Cih, kaya hidungnya berfungsi aja.
"Nggak mau!" tolakku sembari memejamkan mata.
"Pantas saja jomblo, mandi aja malas."
"Bodo, Ver, bodo!"
_____________
Author POV
Verlyn sedang memperhatikan wajah cantik yang kini sedang tidur di hadapannya. Entah kenapa ia suka sekali menampakan dirinya di hadapan Zarrel. Juga, entah sejak kapan ia mulai mengagumi wajah itu.
Merasa seperti ada hawa dingin bikin merinding, Zarrel terbangun dari tidurnya. Sontak kedua wajah yang hanya berjarak sejengkal itu saling menatap. Masha Allah, matanya indah banget, batin Zarrel.
"Bangun! Sahur!" ucap Verlyn sambil mencoba menyentuh wajah Zarrel, tapi nihil.
"Kamu yang masakin, ya?" ucap Zarrel dengan suara bantalnya. Antara sadar dan tiada.
"Ngaco. Buruan bangun!"
____________
"Zarrel? Kamu mau ngasih makanan ke siapa? Kita, kan, cuma berdua." tanya Ranty --mamanya Zarrel-- bingung dengan apa yang tengah dilakukan Zarrel.
Zarrel yang saat itu dalam keadaan setengah sadar, sontak melotot seketika ketika menyadari perbuatan anehnya ketahuan oleh mamanya. Bagaimana tidak, Zarrel berencana membuatkan seporsi makanan untuk Verlyn. Astaga....
"Zarrel, cuci muka dulu, ya, Ma." ucap Zarrel seraya beranjak ke kamar mandi.
"Hahaha, ya kali kamu mau ngasih aku makanan."
"Eh, Riyal selama ini jagain tubuh kamu, kan? Sekarang dia sama siapa?" tanya Zarrel sedikit berbisik mengacuhkan olokan Verlyn.
"Sama suster Ella. Suster yang selama ini jagain aku sama Riyal. Rumahnya di pondok belakang gudang rumah sakit."
"Kalau misalnya Riyal aku ajak tinggal di sini, kamu kasih izin nggak?"
"Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Tergantung Riyalnya mau apa nggak."
"Ya, pas--"
"Zarrel, buruan, Nak! Nanti keburu imsak!" teriak Ranty memotong ucapan Zarrel.
"Iya, Ma!" teriak Zarrel, lalu kembali berbisik, "besok Riyal aku jemput."
Verlyn hanya tersenyum sembari mengikuti Zarrel ke meja makan. Untung saja Ranty tidak memperhatikan Zarrel yang makan saat ini sambil melet-melet atau seolah-olah makanan yang ia makan begitu lezat. Sialan! Awas aja kalau suatu saat gue udah bisa bangun lagi. Gue bales lu, batin Verlyn.