Aku sedang berjalan menyusuri koridor sekolah. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, sontak aku berbalik melihat ke si pelaku. Ternyata ia Terrena dan Azzar.
"Buru-buru banget, sih, Rel. Jam masuk masih lama kali," ucap Terrena dengan tersenyum sambil menaruh tangan kirinya di pundakku. Azzar cuma mengangguk saja di samping kiriku.
"Rel, lo indigo, ya?" tanya Azzar setelah kami sampai di dalam kelas dan sudah duduk di kursi masing-masing.
"Maksud kamu?" tanyaku tidak mengerti.
"Gini lo, Rel, kita berdua tuh pernah lihat lo ngomong sendirian. Anak-anak yang lain juga pernah lihat, dan mereka sering ngomongin lo di belakang," ucap Terrena menjelaskan maksud pertanyaan Azzar.
Jadi, mereka tidak melihat cewek cantik tapi aneh yang selama ini kulihat? Apa aku tanyakan saja ya sama mereka. Tapi, ah, lain kali saja, deh. Lagipula ini saja sudah cukup membuktikan kalau cewek itu bukan manusia.
"Woy! Rel! Ditanyain malah bengong dia," ucap Azzar mengagetkanku.
Teeeetttt!
Tiba-tiba bel masuk berbunyi, mereka berdua langsung balik depan karena guru-guru disini selalu siap sedia depan pintu ketika bel selesai dibunyikan. Disiplin sekali memang. Perasaan tadi ada yang bilang kalau bel masuk masih lama.
__________________
"Hai, Kak Za!" sapa seorang anak perempuan kecil --tomboy-- sambil berjalan mengampiriku. Seperti biasa dengan kupluk putih dan bola sepak yang berada ditangannya yang lagi diputar-putar sama jari telunjuknya. Aku hanya tersenyum tipis --nyaris tak terlihat-- padanya. Aku sengaja tidak memakai masker di sini, karena udara di sini begitu sejuk oleh pepohonan rindang yang berjejer. Meskipun, hanya berada sedikit jauh dari jalan raya.
"Kakak, suka banget ke sini, Kakak, ngapain, sih?" tanyanya dengan mimik muka yang begitu menggemaskan. Wajahnya menggemaskan seperti wajah anak-anak yang gambarnya sering dibagikan oleh OA di Line.
"Memangnya kalau mau ke sini harus punya alasan dulu, gitu?" tanyaku dengan menaikan alis kananku.
"Tentu saja tidak. Tapi, biasanya orang-orang selalu punya alasan ketika berada di sini, Kak. Entah itu lagi galau, bosan, atau lari dari masalah. Apakah, Kakak, ada mengalami hal yang aku tadi sebutkan?" Astaga, anak ini masih kecil, tapi gaya bicaranya seperti orang dewasa saja. Aku jadi teringat kalau dia mirip sekali dengan si Alifa juara Little Miss Indonesia tahun 2013 silam, waktu itu umurnya juga baru 6 tahun, tapi gaya bicaranya sudah seperti orang dewasa. Aku tahu itu karena dulu sempat ikut papa pergi liburan ke Indonesia selama hampir tiga minggu lebih dan saat itu aku sering menonton tv yang kebetulan sedang menayangkan acara tersebut. Makaya aku sedikit tahu.
"Sayang sekali aku tidak punya alasan seperti apapun itu," jawabku disertai dengan senyuman tipis nyaris tal terlihat.
"Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" tanyaku sebelum ia membahas alasan yang tidak penting itu.
"Apa, Kak?"
"Sebenarnya kamu tinggal di mana? Kenapa kamu sering bermain sendirian di sini? Siapa yang menjagamu?" tanyaku yang membuat dahinya berkerut bingung.
"Jawab saja satu per satu. Aku ingin tahu." Aku mengambil bola yang masih berputar ditangannya. Aku gemas ia selalu memainkannya dari tadi.
Kulihat dia tampak sedang berpikir dengan jawaban yang akan ia katakan. Apa dia takut? Wajahnya jadi berubah khawatir(?)
"Ada apa denganmu?" tanyaku yang dibalas dengan gelengan kepala olehnya.
"Sebenarnya, Riyal tinggal di rumah yang baru saja bisa di beli sama kakak Riyal. Tapi, belum sempat menempati rumah itu kakak Riyal mengalami kecelakaan. Waktu itu, Riyal baru saja ulang tahun yang ke lima, kan, terus Riyal masih belum mengerti apa-apa sepenuhnya dengan musibah yang dialami kakak saat itu, yang Riyal rasain cuma takut saja. Sampai akhirnya enam bulan terakhir ini Riyal baru bisa memahami kondisi yang terjadi pada kami selama ini." katanya yang lagi-lagi membuatku takjub dengan gaya bicaranya.
"Lalu dimana orang tua kalian? Bagaimana caranya kamu mengerti diusia sekecil ini?"
"Kakak Riyal pernah bilang jangan pernah tanyakan keberadaan orang tua, atau jika ada seseorang yang menanyakannya katakan saja mereka sudah mati. Perihal Riyal bisa mengerti ini, karena ada seorang suster di rumah sakit yang selama ini mengurus kakak Riyal, ia sangat baik pada kami. Riyal selalu menanyakan hal-hal apapun sama dia, dan dia menjawabnya secara jelas dengan bahasa yang Riyal pahami," Riyal menghirup napas lalu menghembuskannya secara perlahan, aku masih setia mendengarkan ceritanya.
"Jadi, selama ini Riyal dan kakak Riyal tinggal di rumah sakit. Selama Riyal bermain di sini tidak ada seorang pun yang menjaga. Lagipula, Riyal juga bisa jaga diri kok, Kak Za," ucapnya tersenyum bangga.
"Ngomong-ngomong siapa nama kakakmu? Dia cowok apa cewek?" tanyaku penasaran.
"Namanya Verlyn Arindaz, Kak. Dia cewek seumuran Kak Za kayaknya,"
"Ummh, sudah berapa lama dia di rumah sakit?"
"Hampir setahun, Kak. Kak Verlyn koma."
Aku hanya mengangguk mengerti dengan kisah tragis yang dialami oleh kedua kakak beradik ini. Meskipun, aku hanya mengenal adiknya saja, juga tidak tahu apa penyebab kakaknya koma, entah kenapa rasanya aku jadi merasa peduli pada mereka. Aku juga rasanya ingin bertanya lagi, tapi kuurungkan karena daritadi aku tanya terus.
Kutoleh ke samping, Riyal sedang memandangi tukang jual balon yang sekaligus menjual kembang gula warna hijau rasa pandan. Aku beranjak pergi ke arah tukang jualan itu untuk membeli beberapa balon tak lupa dengan sebuah kembang gulanya.
"Ini untuk kamu!" ucapku sembari mengulurkan tali yang mengikat balon gas berbentuk bebek dan kembang gula padanya. Mata Riyal berbinar antusias menerima pemberianku.
Aku tersenyum melihat tingkahnya, tak lupa aku membukakan bungkus kembang gula itu untuk ia makan. Selanjutnya, ia memakannya dengan ekspresi anak kecil yang... lucu sekali menurutku.
"Kakak, mau?" tawarnya menyodorkan kembang gula itu.
"Nggak, kamu aja yang makan." tolakku masih dengan tersenyum. Aku tidak sadar sudah berapa kali aku bisa tersenyum manis seperti ini dengan orang lain.
Setelah menghabiskan kembang gulanya Riyal pamit padaku. Tak lupa dengan membawa balon bebeknya.
"Kamu baik banget!"
"Kamu jahat banget!"
"Lah, orang baru datang kok sudah langsung dituduh jahat, sih."
"Habisnya kamu setelah kejadian kemarin ke mana aja? Sekarang baru nongol batang hidungnya," ucapku kesal dengan menatap ke arah lain --abang tukang balon tadi.
"Jadi, sebenarnya kamu kangen, apa masih penasaran sama aku, nih?" tanyanya.
"Menurut lo?" ucapku masih tidak mengalihkan pandangan.
"Oke. Aku itu sebenarnya roh."
Aku sontak berdiri dan mundur beberapa langkah. Ini refleks lho, padahal aku sudah tahu dia itu sebenarnya mahkluk apa.
"Santai saja kali, ah. Suatu saat aku pasti kembali, kok, ke wujud aku yang manusia," ujarnya yakin.
"Jadi, selama ini kamu hanya roh yang lagi keluar dari tubuh? Tapi, bagaimana kamu bisa seyakin itu untuk kembali?"
"Karena ada jiwa yang harus aku jaga di dunia nyata. Makanya, aku harus bisa kembali."
"Siapa?"
"Adikku."
"Siapa nama adikmu?"
"Riyal Finandyla."
Riyal? Apakah Riyal anak kecil yang selama ini aku temui?
"Anak kecil yang sering sama kamu itu adikku. Terima kasih karena sudah sering menemaninya di taman ini," ucapnya menjawab pertanyaan di kepalaku.
"Jadi? Jadi kamu adalah orang yang selama ini Riyal ceritain?" tanyaku kini dengan memandang mata dark brown-nya. Aku baru sadar matanya begitu indah.
Ia hanya mengangguk diiringinya dengan senyuman manis.
"Lalu apa yang sebenarnya sudah terjadi padamu?"
"Aku...."
...