Chereads / IMAGINAREAL - ZARREL / Chapter 34 - NEW CHAPTER 34 - part 1

Chapter 34 - NEW CHAPTER 34 - part 1

Jangan tanyakan bagaimana perasaanku sekarang. Menyakitkan memang ketika takdir mengharuskan kami untuk berpisah. Sebisa mungkin kubalut sendiri luka itu. Sejak kejadian malam itu, mama kembali membawaku ke Manila. Ia juga langsung menjual seluruh lahan yang sempat ia beli beserta danau biru yang telah sempat menjadi objek wisata itu. Mama benar-benar tidak ingin membiarkan aku memiliki tempat untuk menemuinya lagi.

Aku masih ingat, kali terakhir aku melihat Verlyn pergi begitu saja. Tanpa berpaling padaku. Tanpa melihatku sekali lagi. Ia berjalan menjauh begitu saja ketika mama memintanya untuk pergi dan jangan pernah kembali. Verlyn pun menurut begitu saja. Sejak itu, Verlyn benar-benar tidak pernah kembali lagi. Aku tidak pernah tahu dan masih belum mengerti apa yang membuatnya bisa sepatuh saat itu. Aku juga tidak menanyakannya pada mama apa yang mereka bicarakan pada malam itu.

Beberapa bulan berlalu semenjak kejadian itu dan aku masih sedikit mengingatnya. Tapi, aku juga memikirkan bagaimana perasaan mama. Mama pernah sempat mengaku padaku, bahwa ia merasa bersalah atas keputusannya kala itu dan sempat ingin membiarkan aku untuk kembali bersama Verlyn lagi. Tetapi aku menolaknya. Sebab, aku pikir itu juga sebuah kesalahan.

Perasaan itu tak seharusnya ada. Katakanlah saat itu aku terlalu polos untuk mengerti perasaanku sendiri.

Dan mulai sekarang, aku harus bisa memulai kisah yang baru. Kisah yang benar-benar tanpa kata 'terlarang'.

Untuk Verlyn, maaf, bukan maksudku melupakanmu. Hanya saja... kurasa memang ini jalan yang benar. Terima kasih karena pernah mencintaiku. Aku harap, kamu disana menemukan orang baik yang nggak akan meninggalkanmu walau sesulit apapun keadaannya.

"Zarrel!" terdengar suara mama yang memanggilku dari dalam rumah.

Aku yang tadinya melamun--- sambil menatap langit malam tanpa bintang--- di atap, segera merangkak ke sisi balkon.

Sesampainya di luar pintu kamar, aku terpaku melihat adanya seorang anak laki-laki yang berdiri tepat di depan pintu kamarku. Ia tersenyum manis dengan kedua lesung pipi yang jelas terlihat. Ia juga memakai kacamata bulat yang kurasa itu bukan hiasan, melainkan kacamata mines.

"Ini anak teman mama yang mama ceritakan waktu itu. Namanya Jena." ujar mama sambil menaiki anak tangga terakhir.

Aku akan ceritakan sebentar bagaimana ini bermula.

Kita mundur ke-ratusan hari yang lalu.

"Ini sudah sekolah ke 6 dalam 3 bulan terakhir kamu pindah-pindah, Zarrel. Mau sampai kapan kamu seperti ini terus?" Aku yang duduk santai di pinggir kolam renang sambil mendengarkan musik instrumen violin dari ponselku pun terjeda seketika saat mama datang lalu mematikan musiknya.

Aku menghela napas berat.

"Maaf, Mama. Tapi aku tidak suka dengan lingkungannya." sahutku memelas.

"Lingkungan seperti apa lagi yang kamu mau, Zarrel? Bukankah keadaannya sama saja dengan sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Lagipula, kamu dulunya juga sekolah disini sebelum ikut mama pergi waktu itu." Kulihat mama terhenyak sesaat ketika menyebutkan kata Indonesia. Aku pikir mama teringat sesuatu yang berhubungan dengan masa laluku.

"Apa kamu masih merindukan dia?" tanya mama dengan hati-hati padaku.

Aku menggeleng meski dalam hati mengatakan, ya walau hanya sedikit.

"Maafkan mama jika ini semua karena mama. Mama bersalah karena sudah memisahkan kalian begitu saja. Membawa kamu pergi tanpa pamit darinya."

"Zarrel. Jika kamu ingin kembali... dengan... Verlyn--"

"Tidak, Mama. Aku tidak akan lagi memiliki perasaan itu dengannya. Mama tidak salah. Mama benar. Hanya aku disini yang terlalu larut dalam kesedihan yang tidak seharusnya aku sesali. Maafkan Zarrel, Ma." aku beringsut memeluk mama yang sudah duduk di sampingku.

Kurasakan tangan hangat mama mengusap pelan punggungku.

"Terima kasih, Sayang." lirih mama yang masih bisa kudengar.

"Untuk apa, Ma?" tanyaku dengan masih membenamkan kepalaku dalam dekapannya.

"Karena sudah memilih, Mama. Mulai sekarang mama akan usahakan untuk lebih sering bersama kamu."

"Sungguh, Ma?" tanyaku meyakinkan. Karena biasanya mama hanya mengatakannya lalu besoknya kembali sibuk seperti biasanya.

"Iya."

"Ma, Zarrel boleh minta sesuatu, tidak?" tanyaku hati-hati sembari mendongak sedikit melihat wajah mama yang selalu cantik dimataku.

"Apa, Sayang?" tanya mama dengan lembut.

"Zarrel ingin sekolah di Indonesia." ungkapku sembari melipat bibir ke dalam dan arah mata melirik ke kanan khawatir mama akan marah padaku.

Mama tidak langsung menjawab. Dan aku dengan cemas menunggunya.

"Zarrel tidak bermaksud menemui dia kok, Ma. Hanya saja..."

"Anak teman mama ada yang mau sekolah ke Indonesia. Bagaimana kalau kamu ikut dia saja?"

"Maksud, Mama?"

"Jadi, sebenarnya mama dengan teman mama itu lagi membangun rumah sakit baru di sebuah kota yang ada di Indonesia. Tapi kotanya bukan tempat yang sama dengan yang kemarin. Terus anaknya yang bernama Jena juga ingin sekolah di sana. Anaknya pintar padahal, bisa masuk sekolah di Amerika kalau dia mau. Tapi anehnya malah memilih Indonesia.

"Bulan depan teman mama itu kena tugas di Cebu selama tiga bulan. Tapi, Jena sebentar lagi sudah harus masuk sekolah."

"Jena kelas berapa? Dia cowok apa cewek?" tanyaku mulai penasaran.

"Karena dia terlalu pintar, dia sering loncat kelas. Harusnya sekarang dia seumuran anak kelas 2 SMP. Tapi, karena dia jenius dia jadi setara dengan anak kelas 3  SMA sepertimu. Jena itu cewek. Mama pernah lihat fotonya di ponselnya teman mama itu. Menurut mama dia manis. Kamu pasti suka temenan sama dia." sahut mama seperti terkesan bangga akan anak orang.

Aku mendengus sebal. Masa aku disuruh temanan sama anak kecil. Ya, meskipun katanya dia sangat pintar tapi kan tetap saja dia bocah. Ck.

"Jadi, nanti mungkin beberapa minggu lagi dia akan datang kesini. Kita akan berangkat bersama dia. Kamu setuju?"

Aku hanya mengangguk dalam diam. Walau kadang suka bingung sendiri, memangnya bisa ya anak kelas 3 pindah sekolah di Indonesia? Setahuku agak sedikit sulit sepertinya. Tapi, ya sudahlah. Itu bukan urusanku. Yang penting aku bisa sekolah di negara unik itu. Ya, unik, tapi aku suka. Sama negaranya.

Dan disinilah Jena sekarang. Tepat di hadapanku.

Kalau saja aku tidak ingat mama pernah mengatakan kalau Jena itu cewek, mungkin aku tidak akan percaya kalau yang berada di depanku ini adalah seorang anak perempuan.

Lihat saja penampilannya. Rambutnya dipotong pendek macam oppa-oppa Korea. Gayanya juga mengikuti style Korea. Aku 100% yakin kalau dia seorang K-popers.

"Hallo, Ate!" tegurnya dengan ceria sambil menjentikan jarinya dimukaku. Sial, dia ternyata lebih tinggi dariku.

"Oh. Hei!" aku tergugu sesaat menyadari keadaan.

"Mama tunggu dibawah sembari kalian kenalan dulu. Kita akan berangkat nanti sore. Jadi, pastikan sebelum pergi kalian makan dulu." putus mama sembari mulai berpaling menuruni tangga.

"Urusan sekolah kamu di sini sudah mama bereskan, Zarrel, kalau kamu mau tahu." kata mama lagi seakan tahu pertanyaan apa yang ada dalam kepalaku.

"Ate, kamu sudah menyiapkan semuanya? Perlu aku bantu, tidak?" tanya Jena ramah tanpa ketinggalan dengan senyuman manisnya.

"Belum. Ayo, masuk ke kamarku. Maaf kamarnya berantakan."

Jena mengikutiku dari belakang. Ia lalu memandang ke sekeliling kamar.

Dengan tingginya yang seperti ini, aku yakin siapapun tidak akan percaya kalau dia seharusnya masih bocah SMP.  Menurutku dia lebih terlihat seperti seorang model daripada pelajar.

"Ate, hobimu melamun, ya?" tiba-tiba saja Jena menyejajarkan kepalanya di depan wajahku. Kulihat alisnya sangat tebal. Matanya berwarna biru malam.

"Ck, jangan melihatku seperti itu, Ate. Awas, nanti jatuh cinta." ujarnya sembari berlalu ke depan lemariku lalu membukanya begitu saja.

"Jangan bicara seenaknya. Aku itu normal." sahutku sebal.

"Oke. Terserah. Ayo, masukan pakaian yang ingin, Ate, bawa. Aku tidak ingin ada saat dimana, Ate, meminjam pakaianku."

Kurasa Jena adalah tipe orang yang menyebalkan sepertinya. Tapi tidak apa-apa, selagi aku tidak merasa terganggu aku tidak peduli.

"Baiklah. Tapi, berdasarkan dari apa yang kamu katakan barusan. Memangnya kita akan tinggal bersama?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja." sahutnya cepat tanpa berpikir.

"Kita akan tinggal di satu rumah yang sama. Tapi hanya tiga bulan. Karena setelah orangtuaku kembali dari tugasnya, aku akan tinggal dengan mereka," sahutnya santai.

"Kembali ke Filipina?"

Jena menggeleng, "Mereka akan datang kesini."

"Tinggalnya dimana?"

Jena mengangkat bahunya, "Aku hanya mengikuti saja."

Aku pun hanya ber-Oh ria sembari melipat baju ke dalam koper.

Setelah beres semuanya. Aku dan Jena turun ke bawah.

"Ate!" Belum sempat kakiku turun di anak tangga pertama, Jena memanggilku.

"Apa, Ate, percaya hantu?"