Aku menutup pintu kamar tanpa suara. Dengan perlahan aku mendekat ke arahnya.
Belum sampai aku ke bingkai jendela, terdengar suara Jena dari luar memanggilku yang mana aku refleks berbalik memandang ke arah pintu kamar. Lalu sesaat aku berpaling lagi, sosok yang duduk itu sudah tak lagi ada.
Aku mulai merinding.
"Ate! Ate! Bangun!" Aku merasakan dingin dari kedua pipiku. Lalu aku terbangun dengan pemandangan Jena yang menepuk-nepuk wajahku dengan tangannya yang dingin.
Aku melihat ke kiri kananku. Aku melihat bangunan vapiliun yang tak jauh dari tempatku berbaring.
"Ate, mengapa tidak tidur di kamar saja? Sejak kapan, Ate, ada di sini?" tanya Jena sembari memberikanku minumam cup di tangannya.
Aku tak langsung menjawab melainkan meminum minuman itu sembari berpikir bagaimana bisa aku ada di sini?
"Ate!" Jena memanggilku dengan nada sedikit tinggi. Anehnya aku tidak terkejut, melainkan menyahut seperti orang bingung.
"Ck, ayo, kita masuk ke rumah. Sebentar lagi gelap di luar." ujar Jena sembari membantuku untuk berdiri.
Aku mulai diserang oleh rasa penasaran. Sebenarnya, rumah ini yang aneh, atau aku yang terlalu berhalusinasi akibat kelelahan?
___________
Seminggu sudah hampir terlewati. Aku mendapatkan kabar bahwa penugasan mama diperpanjang dalam waktu yang belum ditetapkan hingga kapan. Itu artinya, aku dan Jena akan tinggal bersama lebih lama lagi. Tentunya berempat dengan Bibi Dahan dan kakek Mahad, mungkin ada lebih? entahlah. Seminggu itu aku juga jarang bertemu dengan mereka berdua, pun dengan yang lainnya. Entah apa yang mereka lakukan, kupikir itu bukan urusanku. Aku dan Jena sibuk mengurus sekolah yang akan kami masuki. Kami diterima di setiap sekolah yang kami coba daftar. Tapi, tentunya hanya satu sekolah yang kami pilih. Yaitu Grande Scholl. Sekolah itu terlihat sangat sederhana, tapi sebenarnya mewah. Banyak anak beasiswa dan murid berprestasi sekolah di sana.
Ah, ya. Tentang seorang anak perempuan yang kulihat waktu itu masih jadi pertanyaan dalam benakku. Pasalnya, aku tidak pernah melihatnya lagi sejak hari itu. Aku juga belum menanyakannya pada bibi Dahan atau pun kakek Mahad, karena kami juga jarang bertemu meski serumah. Ketahuilah, rumah yang aku tinggali ini sangat besar. Lantainya pun ada 7. Rumah ini satu-satunya yang paling besar dan tinggi di kawasan ini. Aku mulai bespekulasi kalau itu sebenarnya bukan rumah, melainkan sebuah penginapan mungkin? Tapi kenapa tidak ada papan namanya di depan, ya? Atau ini tadinya bekas penginapan? Entahlah.
Ah, ya, ditambah lagi, paling angker menurutku saat malam hari.
Karena semua lampu di luar dimatikan kecuali teras.
Saat ini aku sedang duduk di meja belajar yang menghadap balkon. Aku juga menggeser kaca jendelanya agar angin bisa masuk.
Jena sedang di luar. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Tapi, jika ingin pergi ia pasti mengajakku.
Prang!
Suara benda jatuh terdengar cukup jelas ditelingaku. Aku tidak bergerak. Aku terdiam dan sedang berpikir kalau di rumah ini kan tidak ada kucing atau peliharaan lainnya. Tikus, kah? Bahkan cicak saja aku tidak melihatnya.
Apa bibi Dahan tidak sengaja menjatuhkan sesuatu?
Aku pun memilih opsi untuk tidak peduli.
Untuk apa?
Aku menarik napas lebih dalam dan mengembuskanya dengan perasaan sedikit waswas.
__________
Ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Aku dan Jena satu kelas.
Aku turun dari mobil Jena setelah memastikan penampilanku sudah rapi sepenuhnya.
Jena menungguku ternyata.
Suasana sekolah sangat sunyi. Sesaat aku teringat akan diriku di masa lalu.
Tapi bedanya sekarang aku bersama dengan Jena. Pula, kami juga tahu dimana letak kelas yang akan kita tempati dimana.
"Ate!" panggil Jena selagi kami berjalan berdua di koridor yang sepi.
"Ya?" sahutku sambil terus melihat ke setiap kelas yang kami lewati. Beberapa murid sudah ada yang datang ternyata.
"Ate, pernah lihat hantu?"
Aku tidak sedrama itu untuk langsung berhenti ketika ditanyakan oleh jenis pertanyaan yang tidak terduga. Aku terus jalan saja sambil menautkan alis.
"Ate?" panggilnya lagi.
"Kenapa memangnya?" aku balik bertanya. Aku teringat dengan pertanyaannya waktu itu juga tentang hal yang sama. Memangnya ada apa dengan hantu? Aku pikir itu hanya ramai dalam dunia di drama korea atau komik saja.
"Aku hanya ingin bertanya. Apakah itu salah?" tanyanya lagi.
"Pertanyaan kamu dari kemarin selalu tentang hantu. Memangnya ada apa dengan hantu?" sahutku dengan menaikan sedikit suara sehingga gaungannya terdengar samar.
"Aku pernah lihat anak perempuan seumuran, Ate, di rumah. Aku kira itu, Ate, tapi aku rasa bukan karena rambutnya yang hitam." Apa anak perempuan yang waktu itu, ya?
"Kamu lihat waj----"
Persis seperti di dalam komik yang biasa kubaca, bunyi bel selalu menjadi pemicu terputusnya dialog.
Aku dan Jena tidak lagi melanjutkan percakapan. Kami segera masuk ke kelas. Heran, perasaan tadi sepi sekali saat kami jalan di sepanjang koridor, kenapa mendadak jadi seramai ini? Mungkin karena aku terlalu fokus mengobrol dengan Jena sehingga aku tidak sadar kalau sudah banyak yang datang kali, ya? Mungkin.
_______________
Aku sekarang lagi duduk di kantin dengan Jena. Aku kagum dengan kemampuan Jena yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tanpa diajari oleh siapapun. Dia benar-benar bisa mengeja setiap suku kata yang bagi kebanyakan orang asing akan merasa sulit diucapkan. Tapi Jena berbeda. Dia seperti sudah pernah tinggal lama di Indonesia.
Tiba-tiba sebuah ponsel keluaran terbaru tergeletak di atas mejaku. Jena mendongak pada siapa yang meletakannya. Aku pun juga menoleh.
Dia anak laki-laki berkulit hitam dengan alis yang sangat tebal. Dia terlihat sangat manis dengan senyumannya yang lebar.
"Mau apa?" tanyaku.
"Minta nomor ponsel pasti, tuh." komentar Jena sembari menyedot minuman jus kotaknya dengan santai.
Aku mengedip beberapa kali mencerna apa maksudnya.
Belum siap aku meraih ponselnya, anak laki-laki itu mengetuk ponselnya yang lalu memunculkan halaman untuk berita hari ini.
Anak dari seorang dokter yang hampir menghilangkan nyawa seorang pelajar, kini telah kembali tiba di Indonesia
(Foto Zarrel dan Jena yang tertangkap kamera saat tiba di bandara.jpg.)
Masih menjadi pertanyaan, bagaimana bisa seorang dokter masih dipekerjakan walau sudah melukai....
"Maksud kamu apa menunjukan berita itu padanya?!" tanya Jena dengan nada tinggi yang mana mengakibatkan orang-orang semakin banyak berkumpul mengelilingi meja kami. Aku pikir Jena seperti sudah tahu ceritanya sehingga membuatnya gusar akan hal tersebut.
"Jen, mending kita pergi saja dari sini." ajakku karena tak ingin jadi tontonan warga sekolah di hari pertama kami masuk.
"Lo mau cari korban selanjutnya buat ibu lo kan di sini?! Ngaku lo!" ucap anak laki-laki itu dengan menggebu.
"Lo anak pembunuh! Harusnya sadar dan tahu diri! Ngapain lo balik lagi ke negara orang, hah?!" teriaknya yang kali ini sambil mendorong bahuku.
"Heh! Hati-hati kalau bicara!" Jena menariknya untuk mundur beberapa langkah dari hadapanku.
"Lo siapa?! Nggak usah ikut campur!" Jena didorong tapi dia tidak bergerak sedikit pun.
"Mau kamu apa, sih?" tanyaku berusaha untuk tidak tersulut emosi.
"Mau gue? Lo cari sekolahan lain! Jangan sekolah di sini! Sekolah ini terlalu suci untuk pendosa kayak lo!"
"Heh! Pendosa kamu bilang!?" Jena menatap miring pada anak laki-laki itu.
"Seorang laki-laki yang dengan lancang membentak dan mendorong perempuan seperti ini masih bisa menyebut orang lain pendosa??!"