Chereads / IMAGINAREAL - ZARREL / Chapter 38 - NEW CHAPTER 38 - part 5

Chapter 38 - NEW CHAPTER 38 - part 5

Tok! Tok!

Seseorang mengetuk kaca mobil.

Aku terpaku saat melihatnya.

Wajahnya yang putih pucat dan tatapan matanya yang kosong.

Aku menurunkan sedikit kaca lalu bertanya padanya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Ikut masuk."

"Hah?" aku bertanya untuk memastikan pendengaranku.

"Ikut masuk." katanya lagi.

Aku mengerutkan dahi lalu tetap saja membukakan pintu belakang untuknya.

Setelah ia masuk aku lalu menyerongkan duduk demi melihat dirinya.

Ia seorang murid.

Pakaiannya sangat rapi dengan tas dan sepatu dengan merk yang branded. Tapi kenapa ia ingin numpang di mobil kami?

"Tolong aku." ujarnya sesaat aku membuka mulut untuk bicara.

"Kenapa?" kutanya memastikan apa yang baru saja ia katakan.

"Tolong adikku, Zarrel."

"Orang-orang itu mengincarnya."

Aku masih terbengong dengan rahang yang masih terbuka. Mengedip dua kali untuk mengertikan apa yang baru saja kudengar.

"Kamu siapa?" kutanya. Kok, dia tahu namaku?

"Aku---"

Click!

Pintu mobil di sebelahku dibuka. Jena masuk sambil menyedot jus kotaknya.

"Jen, ada yang..." ucapanku menggantung ketika tidak kulihat lagi cewek yang tadi duduk dibangku belakang. Aku lalu mengedarkan pandangku keluar mengira barangkali dia sudah keluar dengan cepat.

"Kenapa, Rel?" tanya Jena sembari menghidupkan mobil.

Aku tidak menyahut. Aku segera memakai safety belt lalu menghirup napas lebih dalam dan tak lupa mengembuskannya kembali secara perlahan.

"Ate, 'didatangi', ya, barusan?" tanyanya ketika kami sudah keluar dari gerbang sekolah.

"Maksud kamu?"

"Tadi, sebelum buka pintu mobil, aku berkaca sebentar. Terus, aku lihat Ate berbicara dengan dia di dalam. Lalu pas aku masuk, dia hilang." ujarnya dengan santai.

"Dia yang tadi aku lihat di ruang seni." lanjutnya lagi.

Aku memberikan tatapan seperti menanyakan kalau apa yang tadi bersamaku adalah bukan manusia.

"Ya, Ate. Dia bukan manusia. Dia adalah korban yang mirip seperti Greya."

"Tahu darimana?"

Jena tidak langsung menjawab. Ia menengok ke arahku lalu hanya tersenyum.

Apa Jena indigo?

"Bisa dikatakan, ya, bisa juga dikatakan, tidak."

Kenapa Jena seperti bisa mendengar suara pikiranku?

"Ate, bicara dengan suara bukan sedang di dalam hati. Hehehe."

"Hah?" Astaga. Kenapa bisa terjadi seperti itu.

"Santai saja, Ate. Orang kalau lagi shock dengan sesuatu, kadang dia sering tidak sadar dalam bersikap. Ya, seperti yang, Ate, lakukan barusan."

Aku mengembuskan napas berat.

"Tadi dia minta tolong." ujarku memberitahu.

"Ada banyak yang ingin minta tolong sama kita."

"Memangnya boleh kita tolongin 'mereka'?"

"Memangnya ada batasan dalam menolong?"

Ya tidak, sih.

"Kita sudah sampai." ujar Jena sembari turun dari mobil. Aku masih betah tinggal.

Tanpa sengaja mataku menatap ke arah balkon yang ada di lantai atas di sebelah kamarku.

Damn!

Aku bertatapan dengan cewek yang tempo hari kutemui.

Apa dia juga bukan manusia?

"Ate!"

Fokusku buyar. Kulihat lagi cewek tadi sudah tak lagi berdiri di sana.

Aku lalu turun dan menyusul Jena yang sudah berjalan lebih dulu ke dalam.

_____________________

"Ate, boleh aku masuk ke kamarmu?" teriak Jena dari luar.

Aku yang sedang (memikirkan hal-hal aneh yang kualami sejak tiba di Indonesia) tengkurap di kasur pun beranjak untuk membuka pintu.

Jena berdiri dengan membawa dua kaleng soda.

"Boleh masuk?"

Aku hanya membukakan pintu sedikit lebih lebar.

"Ada apa kamu kemari?" tanyaku dengan duduk di kursi belajar dan Jena duduk di kasur.

"Aku menemukan ini saat sedang lari-lari kecil di halaman belakang." ucap Jena sembari memperlihatkan sebuah kalung padaku. Aku lalu mendekatinya untuk melihat lebih jelas.

"Milik bibi Dahan mungkin?" komentarku.

Jena menggeleng. "Bukan masalah siapa pemiliknya, Ate."

"Lalu?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis.

"Perhatikan baik-baik bandulnya." Jena memberikan kalung itu ke tanganku.

Aku lalu memperhatikan apa yang ditujukan Jena. Tidak ada yang aneh. Bandulnya sama saja seperti bandul-bandul biasa pada umumnya.

"Ini seperti ukiran biasa yang sering terlihat di bandul-bandul kalung yang sering terpajang di etalase toko. Tidak ada yang spesial." komentarku dengan memberikan kembali kalungnya.

"Ck. Perhatikan ini!" ujar Jena sembari membuka ukiran persegi yang ternyata adalah liontin itu lalu mendekatkannya ke mataku.

Apa?

"Ate, tidak menyadarinya?" tanyanya lagi memastikan. Lalu aku pun menggeleng. Aku sama sekali tidak paham apa yang sebenarnya Jena ingin tunjukan padaku.

"Ate, ini ada darahnya. Darahnya memang sudah kering dan hitam. Tapi jika didekatkan ke hidung, anyirnya masih ada."

Aku membelalakan mata. Lalu dengan cepat merampas kalung itu dari tangan Jena.

Astaga, benar. Ada tetasan darah kental yang mengering di antara celah dalam ukiran liontin ini. Aku tidak tahu ini seperti disengaja atau seseorang dengan tangan terluka menggenggamnya hingga tidak sengaja menjatuhkannya. Tapi kenapa bisa ada di halaman belakang rumah? Dekat vapiliun pula?

"Ate, malam ini aku akan pergi ke vapiliun. Mau ikut?"

"Tapi, kan, kakek Mahad sudah melarang kita untuk tidak boleh pergi ke sana."

"Ya sudah jika Ate tidak bisa ikut. Aku akan pergi sendiri." ujar Jena sembari berlalu membuka pintu lalu menutupnya kembali. Sedang aku masih terpaku di tempat.

"Zarrel!" tiba-tiba suara perempuan seumuranku memanggilku dari balkon.

Perasaan dingin menyelimuti sekitarku.

"Zarrel, kemarilah. Aku butuh pertolonganmu." suara itu lagi. Terdengar lirih namun sangat jelas apa yang diucapkannya.

Dengan perlahan aku membuka pintu balkon. Aku mendapati anak perempuan yang tadi sempat kulihat di balkon tengah bersandar di dinding. Dia punya kaki. Dan menapak lantai. Jadi sebenarnya dia siapa?

"Aku tahu kamu pasti bingung sekarang. Namaku Greya. Aku yang meminta Jena untuk masuk ke vapiliun."

Tunggu sebentar. Apa maksudnya ini?

Apa Greya yang ini adalah Greya yang dimaksud Jena? Greya yang menjadi korban pembunuhan sadis untuk diambil organ tubuhnya lalu diperdagangkan dalam pasar gelap.

Tapi kenapa dia bisa ada di rumah ini? Dan, kenapa aku juga bisa dapat melihatnya?

"Aku tidak tinggal di sini. Aku ikut dengan Jena."

"Maksud kamu, kamu ikut kita dari Filipina ke Indonesia?"

Greya mengangguk. Heh, apa aku harus tertawa ketika membayangkan sesosok hantu ikut naik pesawat bersama kami? Aku tidak mau tertawa. Itu menyeramkan.

"Lalu apa hubungannya dengan kalung dan vapiliun itu? Jena tidak mengatakan apa-apa selain menunjukan ada darah dalam bandulnya."

"Aku juga tidak tahu siapa pemilik kalung itu. Tapi, yang jelas aku melihat ada yang aneh di dalam vapiliun itu." ujarnya sembari duduk di kursi. Hebat, dia tidak terjatuh ke lantai.

"Apa yang kamu lihat di sana?" tanyaku dengan pandangan menatap tampak samping bangunan vapiliun yang gelap.

"Aku tidak bisa melihat dengan jelas di dalam sana. Aku hanya sempat mengenali sesuatu hal yang buruk berada di dalam sana. Di beberapa titik seperti menolak keberadaanku."

"ATE!" Tiba-tiba Jena berteriak memanggilku. Tidak takutkah dia kalau saja bibi dan kakek mendengar teriakannya.

"Kakek dan bibi sedang keluar sejak tadi sore."

Pantas saja Jena berani pergi ke sana.

"Ayo kita susul Jena. Kasihan dia sendirian."