Aku dan Jena posisinya lagi di kantin dan duduknya tepat di bangku meja yang letak dan hadapnya itu ke halaman luas yang ada menara tandonnya disebelah kanan paling ujung. Sebagian halaman itu banyak ditumbuhi ilalang. Bangku dan meja yang kami tempati ini memang satu-satunya tempat yang diletakan sedikit lebih jauh dari sekumpulan bangku kantin yang lainnya, namun masih tetap di area yang sama.
Lalu di sana, di hadapan kami. Cewek yang kemarin kulihat dan ternyata juga dilihat oleh Jena itu sedang berdiri di sana. Ia menangis sambil meminta tolong. Tentu saja kepada kami karena yang bisa lihat hanya kami berdua.
"Urusan Greya saja masih belum apa-apa malah tambah lagi yang asing minta tolong." gerutu Jena dengan menyuapkan martabaknya dengan ukuran besar.
Aku hanya memperhatikannya dengan tatapan meminta maaf kalau kami tidak bisa menolongnya.
Lalu kemudian seorang laki-laki yang kutaksir adalah seorang mahasiswa, sedang setengah berlari mengampiri ke cewek hantu itu.
Aku menoleh pada Jena.
"Nambah lagi pemerannya." komentar Jena sembari meminum jusnya.
Aku tidak membalas lalu kembali memperhatikan laki-laki itu yang terlihat mengeluarkan ponselnya. Dia seperti membuat kesan seakan ia sedang berbicara pada seseorang melalui panggilan telpon yang padahal ia sedang berkomunikasi pada si cewek itu. Ia dan cewek itu lalu kemudian pergi. Entah kemana. Aku tidak tahu.
"Jen." panggilku pada Jena yang merasa tidak terganggu dengan hal yang terjadi dihadapan kami barusan.
"Kamu yakin tidak ingin menolongnya?"
"Ate, lihat sendiri, kan, cowok yang tadi ingin menolongnya."
"Tapi, kan---"
"Sudahlah, Ate, kita juga punya urusan sendiri. Perihal vapiliun saja kita belum beres. Greya terus cerewet setiap kali aku tidak menggubrisnya."
Aku terdiam. Aku bisa mengerti apa yang dirasakan Jena.
"Ayo, habiskan, Ate. Sebentar lagi bel akan berbunyi."
Aku lalu dengan tidak terburu-buru menghabiskan sisa martabak yang sudah sedikit itu sambil memikirkan kakak laki-laki tadi. Aku tidak sedang terpesona. Hanya saja aku merasa tertarik karena ia juga sama seperti aku. Maksudku bisa berurusan dengan hal seperti itu.
_______________
"Hai. Kamu Zarrel, ya?" aku terkejut ketika keluar dari toilet lalu kemudian disambut oleh seseorang yang langsung menyapaku. Dan dia adalah kakak laki-laki yang tadi kulihat di kantin.
"Kakak, siapa? Kenapa tahu nama saya?" sesaat aku teringat dengan dialog yang mirip dengan ini pada sebuah film remaja Indonesia.
"Saya Virgo. Alumni sekolah ini. Saya tahu nama kamu dari berita di instagram. Dan jangan khawatir, saya tidak akan menghakimi kamu." ujarnya menjelaskan.
"Ohh, gitu." kujawab singkat sambil mengusap belakang leherku pertanda aku sedang bingung.
"Langsung pulang?" tanyanya sesaat kemudian.
"Iya, sudah ditunggu teman saya di parkiran. Duluan, ya, Kak." ucapku sembari pamit meninggalkan Kak Virgo yang sudah bilang "iya" sambil tersenyum.
Sesampainya di dekat mobil Jena yang jaraknya sekitar 10 langkah lagi, aku lihat Greya berbicara dengan cewek yang aku tidak tahu namanya siapa. Maksudnya cewek yang tadi juga didatangi sama Kak Virgo.
"Zarrel!" panggil Greya padaku. Aku menanggapinya dengan wajah sedikit tersenyum karena tidak ingin dikira makin aneh lagi pada beberapa warga sekolah yang masih berlalu lalang di parkiran.
Dan berikutnya aku terus berjalan lalu masuk ke mobil yang mana sudah ada Jena yang sedang memperhatikan sebuah foto dari ponsel pintarnya.
"Kenapa, Jen?" kutanya dia sambil aku meraih mineral cup yang selalu tersedia di dalam mobil.
Lalu aku minum.
"Greya menunjukan padaku sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari sini. Cukup dekat dengan rumah kita."
"Tempat apa?" kutanya sambil sedotan masih menempel di mulut.
"Masih belum tahu, tapi yang jelas tempat ini menarik untuk dicari tahu."
Aku tekankan sekali lagi bahwa aku tidak akan sedramatis itu untuk melakukan adegan tersedak kemudian batuk lantaran mendengar pernyataan tidak terduga seperti itu. Aku hanya menajamkan mataku lalu alisku yang refleks menukik seperti orang yang lagi serius.
"Aku berpisah sama kamu dengan pergi ke wc sekitar 15 menit, secepat itu kamu pergi kesana dan sempat memotret?" tanyaku dengan rasa penasaran. Lalu minumanku sudah habis dan kubuang dalam kantong plastik yang juga berisi sampah lainnya.
"Katakanlah aku secepat itu. Tapi lebih baik tidak perlu aku jabarkan karena itu akan sulit dicerna. Lebih baik, Ate, perhatikan ini." kata Jena dengan memberikan ponselnya lalu menghidupkan mobil untuk segera keluar dari area sekolah.
"Ini seperti bangunan tua yang angker." komentarku sambil mencubit layarnya demi memperbesar gambar.
"Itu terlihat seperti bekas rumah sakit." aku tersentak sekejab kala suara Greya tiba-tiba berada tepat di samping telingaku.
"Bisa tidak kamu munculnya pakai permisi dulu, Greya." protesku dengan memutar bola mata malas.
"Maaf. Lain kali aku akan ucapkan salam biar afdol."
Aku tidak merespon.
"Apa ini sarang orang-orang itu?" kutanya entah pada siapa.
"Masih belum pasti. Tapi coba kamu lihat ada mobil yang terpakir di situ." yang menanggapi adalah Jena.
"Aku tidak melihatnya." aku menjawab.
"Ini, Rel." tunjuk Greya pada sebuah ruang yang terlihat sangat gelap. Aku lalu memperbesarnya dan sama saja, aku tidak melihat apa-apa.
"Oke. Tapi, omong-omong kenapa kalian bisa menemukan tempat ini?" aku bertanya lagi.
"Greya mengingat tempat itu."
Aku lalu menoleh pada Greya.
"Apa tempat ini yang pernah kamu kunjungi?"
Greya menggeleng.
"Lalu?"
"Aku hanya mengingatnya bahwa tempat itu sangat mirip dengan sekilas ingatan yang ada di kepalaku."
"Itu saja?"
Greya mengangguk.
"Kamu punya teman, tidak?" kutanya diluar konteks.
Greya tidak menggeleng melainkan mengajukan pertanyaan balik. "Teman apa dulu? Teman manusia atau teman sesama?" tanyanya.
"Keduanya, deh."
"Kalau sesama banyak. Kalau manusia cuma kalian berdua."
"Pantesan." aku menggumam.
"Pantesan kenapa, Ate?" tanya Jena.
"Dia gangguinnya ke kamu."
Lalu kemudian kami sampai di rumah.
Belum sempat Jena turun dari mobil, aku mencegahnya.
"Tunggu, Jen." panggilku.
"Ya?" tanya Jena sambil menutup kembali pintu mobil.
"Ada yang ingin aku luruskan."
"Apa?"
"Waktu itu kamu bilang kamu pernah lihat cewek rambut hitam panjang di rumah, kan? Tanyaku sambil mataku melirik ke rumah sesaat.
Jena mengangguk.
"Itu Greya atau bukan? Atau sebenarnya ada yang lain lagi?"
"Itu bukan aku. Aku juga tidak tahu dia siapa." Yang menjawab adalah Greya.
"Tapi, kenapa dia jarang muncul, ya?" aku menggumam.
"Mungkin karena dia tidak ingin saja. Sudahlah, ayo kita masuk. Aku sudah lapar." ajak Jena sembari membuka pintu mobil lalu kemudian aku pun juga mengikutinya.
______________
Ponselku bergetar pertanda pesan masuk. Aku baru selesai mandi dengan handuk yang masih melekat di kepalaku.
Aku kemudian mengecek ponselku. Ada pesan dari nomor yang tidak terdaftar di kontakku.
Isi pesannya adalah.
Zarrel. Ini saya Virgo. Jangan tanya saya dapat nomer kamu dari mana. Karena sebelum kamu bertanya saya sudah menyediakan jawabannya. Saya dapat dari biodata sekolahmu. Maaf jika saya seperti mencurinya. Saya hanya ingin mengenalmu. Lebih jauh kalau bisa.
Aku mengernyit.
Lalu kemudian kuletakan kembali ponselku di nakas tanpa berniat untuk membalasnya.
Bukannya sombong, tapi hanya tidak mau saja.
"Assalamualaikum." aku mengulum senyum ketika Greya masuk ke kamarku dengan sopan.
"Walaikumsalam." kujawab.
"Ke vapiliun lagi sekarang, yuk. Mumpung kakek sama bibi lagi pada pergi." ajaknya dengan santainya.
"Siapa yang nyuruh?" kutanya.
"Jena, tapi ditawarin sama aku."