Aku sudah sampai di depan pintu vapiliun bersama Greya di sampingku. Mari aku deskripsikan bagaimana penampakan Greya. Dia memakai gaun berwarna putih dengan sedikit renda dibawahnya, rambutnya terurai dengan panjang lebih sedikit dari bahu. Dia bertelanjang kaki dan anehnya kulihat itu benar-benar berada di atas lantai. Kulit dan wajahnya terlihat sangat pucat. Wajahnya cantik. Sayangnya ada lubang kecil seperti bekas peluru di mata kanannya sehingga ia hanya bisa melihat dengan mata satunya. Dia juga mengenakan kasa penutup mata. Dia sama sekali tidak semenyeramkan seperti sosok miss K dalam penampakan yang sering tertangkap kamera orang-orang di sosial media. Tapi bagiku dia juga bukan sejenis miss K. Sudahlah, pada intinya dia hantu.
Greya juga sempat memberitahuku sembari dalam perjalanan singkat menuju vapiliun, ia menceritakan tentang bagaimana dia bisa ikut kami dan bagaimana dia bisa bertemu Jena.
Dia hanya menceritakan garis besarnya saja. Satu hari, setelah operasi transplantasi ginjal Jena selesai, Jena yang belum sadarkan diri itu ditemui oleh Greya si pemilik ginjal. Greya awalnya menangis dan sedikit tidak terima ketika organ tubuhnya diberikan kepada orang asing. Namun, ketika berbulan-bulan terus muncul demi mengganggu Jena, akhirnya Greya mulai mengikhlaskan ginjalnya pada orang asing. Tapi semua tidak selesai dengan hanya mengikhlaskan hal itu, karena Greya merasa Jena dapat berkomunikasi dengannya, ia pun mulai mencari celah agar dapat berinteraksi dan meminta tolong pada Jena. Yakni dengan masuk lewat mimpinya Jena. Hingga sering kali diiringi dengan tangisnya yang terus meminta tolong. Lalu suatu hari, karena Jena merasa sudah habis sabarnya, maka jadilah ia pergi ke Indonesia dengan alasan sekolah disini. Kemudian, pencarian pun dimulai.
"Aku merasakan ketidaknyamanan pada tubuhku saat berada disini, Grey." ucapku.
"Aku juga merasakan panas dan kering pada kulitku." sahut Greya.
"Memangnya orang yang sudah mati indra perabanya masih dapat berfungsi?" tanyaku.
"Kenapa kalian malah berdiskusi di depan pintu? Aku sudah menunggu dari tadi." ujar Jena yang tidak kutahu sejak kapan berada di balik pintu. Ia juga berbicara sambil celah pintu dibuka sedikit baru kemudian dibuka dengan lebar.
"Greya, coba kamu pegang ini." unjuk Jena memberikan sesuatu yang tidak aku tahu pada Greya.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Sudah sedikit lebih baik dari yang tadi." jawab Greya.
Aku ingin bertanya lagi tapi tak sempat karena Jena kini menarik tanganku untuk masuk ke dalam. Ia lalu mengunci pintunya dari dalam.
Tempat ini sangat gelap. Tapi aku masih dapat melihat sedikit oleh bantuan sinar bulan purnama yang sedang terang-terangnya yang membias masuk lewat lubang-lubang di ventilasi.
"Apa yang akan kita lakukan di sini?" tanyaku.
"Ikut aku." ajak Jena sembari memimpin.
Aku mengikutinya yang berjalan ke sebuah ruangan yang lebih mirip seperti galeri karena terdapat banyak sekali lukisan yang menempel di dinding dan beberapa peralatan lukis lainnya. Sebenarnya bangunan apa ini? Kenapa kakek melarang kami masuk ke sini? Ah, sepertinya aku akan tahu sebentar lagi jika masuk lebih dalam. Bukan begitu? Ya, aku rasa begitu.
Jena berhenti pada sebuah lukisan abstrak dengan ukuran setinggi dirinya.
"Greya... di sini?" tanyanya pada Greya yang sedang asik melihat ke sekitar. Baru tahu aku, kupikir hanya orang hidup saja yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, rupanya sosok dari alam lain pun sama saja.
"Benar."
Aku masih bingung dengan apa yang dibicarakan oleh mereka berdua.
Kulihat Jena dan Greya sibuk meneliti lukisan itu.
"Kalian mencari apa, sih?" tanyaku tak dapat lagi menahan rasa ketidakmengertianku sendirian.
"Tadi di depan sudah kubilang, aku merasakan sesuatu yang buruk di dalam sini."
Aku lalu hanya mengangguk-ngangguk saja. Sebenarnya tidak langsung paham juga. Tapi sudahlah. Aku juga penasaran, nih.
Selagi mereka asik memperhatikan lukisan abstrak itu, aku tertarik untuk melihat ke sebelah kiri. Di situ terdapat sebuah benda yang mengeluarkan sinar.
Aku semakin mendekat dan mendekat.
Sesaat ketika mataku siap memperhatikan apa yang ada di dalam sana, terdengar suara mobil yang masuk ke halaman. Aku, Jena dan Greya sama-sama saling menatap. Tak perlu aba-aba kami pun bergegas meninggalkan lokasi.
Kami keluar tepat ketika kakek dan bibi tiba di dalam garasi.
"Jena! Zarrel! Sedang apa kalian di situ? Ayo, masuk!" panggil kakek sebelum membuka pintu utama dengan kunci yang juga dimilikinya.
Kami lalu berlari masuk melalui pintu samping kiri.
____________
Hari ini aku dan Jena berangkat terlalu pagi. Sekolah masih sangat sepi.
Tiba-tiba Jena berhenti ketika kami berada dalam persimpangan, jika belok kanan adalah menuju laboratorium, aula, dan ruang seni. Jika belok kekiri adalah koridor kelas, sedangkan jika lurus itu hanya menuju ke halaman tidak terpakai yang mana digunakan hanya untuk meletakan tiga menara tandon berisi air.
"Kenapa?" kutanya.
"Lihat ke jendela ruang seni." ujarnya. Lalu aku menengok ke kanan. Kulihat seorang anak perempuan yang kulihat kemarin berdiri di sana. Wajahnya menyiratkan kesuraman.
"Dia kenapa? Apa kita harus ke sana?"
"Tidak perlu. Biarkan saja. Ayo!" Jena lalu menarikku ke koridor. Aku pun tergesa menaiki beberapa anak tangga yang hampir membuatku tersandung. Aku mencoba menengok ke jendela ruang seni itu lagi dan mataku bertatapan dengan mata anak itu. Dia seperti... menangis? Dan kini aku benar-benar menyadari bahwa kemampuanku melihat mereka menjadi bertambah.
"Pembunuh!"
"Psikopat!"
"Anak haram!"
"Gue sekelas sama dia anjing!"
"Kenapa masih sekolah di sini, sih!"
Umpatan yang sengaja dikatakan dengan nyaring agar aku mendengar itu berhasil mengalihkan fokusku.
"Saya tanya, apa untungnya kalian mencaci Zarrel seperti ini? Lagipula, saat kejadian itu, apa kalian juga berada di lokasi yang sama? Memang kalian tahu siapa yang benar dan siapa yang salah? Kalian itu cuma anak-anak bodoh yang langsung menyerap informasi tanpa dicek kebenarannya terlebih dahulu seperti apa. Dengan kalian menghakimi Zarrel seperti ini, lalu apa bedanya kalian dengan seorang pembunuh? Hah?!
"Kalian itu sama saja. Pembunuh. Kalian memang tidak menggunakan senjata tajam. Tapi ucapan kalian seperti itu. Menghakimi orang lain. Itu bisa saja jadi membunuh seseorang dengan perlahan! Daripada itu, Zarrel juga korban! Kalian itu tidak berhak menghakimi orang hanya karena dari satu sumber yang tidak jelas!"
"Jena cukup! Ayo, kita ke kelas. Orang-orang melihat ke arah kita." ajakku pada Jena dengan mengaitkan tanganku ke lengannya. Tapi dengan perlahan Jena menurunkan tanganku.
"Sekali lagi saya masih mendengar adanya bullying di sini. Saya akan laporkan kalian. Disekolahkan bagus-bagus, kok, mulutnya bau sampah!"
Jena lalu pergi berlalu lebih dulu.
Aku terpaksa berlari menyusulnya karena dia jalannya cepat sekali dengan kaki panjangnya.
Sesekali aku melihat ke belakang, kulihat mereka saling menunjuk menyalahkan satu sama lain. Aku harap mereka sadar. Bahwa menghakimi orang karena kesalahan dimasa lalunya, itu tidak baik. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, asalkan masih hidup.
Semoga, setelah ini, tidak ada lagi orang yang dihakimi sepertiku.
Ya, sejak kejadian dimana laki-laki berkulit hitam dan memiliki senyum yang manis tapi menyebalkan itu, sebagian ada yang hanya diam tapi mata mereka menghujat, dan sebagiannya lagi seperti tadi.
________________
"Tolong!"
Teriakan lantang itu berhasil membuat aku dan Jena yang sedang melahap martabak jadi terhenti seketika.
"Tolong! Tolong kami!" suara teriakan itu dengan diiringi oleh isak tangis.
Aku mengedarkan pandang kesekeliling, begitupun dengan Jena. Mereka yang sedang makan di kantin masih tetap beraktivitas ramai seperti biasa seolah tidak merasa terinstrupsi oleh teriakan tersebut.
Kenapa?
Apa hanya kami berdua saja yang mendengarnya?