Ribut-ribut ini tidak akan selesai kalau saja seorang guru tidak segera membubarkan kami dengan anak laki-laki itu.
Sial. Aku pikir di zaman sekarang, diskriminasi hanya akan terjadi dalam sosial media saja. Rupanya di kenyataan pun masih ada saja orang-orang seperti itu. Bahkan lebih parah.
"Jurnalis itu brengsek sekali!" aku masih bisa mendengar Jena mengumpat sembari menyedot jus buah dalam kemasan kotak miliknya.
"Aku pikir berita itu tidak begitu menyebar karena semuanya sudah selesai. Tapi rupanya pengaruh media sosial begitu sangat menyeramkan. Dan... aku pikir memang aku yang salah disini." ujarku sambil menopang dagu dengan kedua tanganku.
"Ate, tidak bersalah. Mereka yang salah karena terlalu picik dalam berpikir."
"Sekolah ini terlihat tentram dari kelihatannya. Tapi sebenarnya-----"
Kkk!
"Ate, mendengar apa yang aku dengar?" tanya Jena yang langsung berganti fokus, ia lalu seperti memasang telinganya baik-baik.
Suara itu lalu terdengar kembali.
"Suaranya dari arah sana." tunjukku sembari berjalan menuju letak tiga menara tandon air.
Sesampainya di sana kami tidak menemukan siapa-siapa.
Apa yang baru saja kudengar adalau mirip suara seseorang yang memekik.
Yang terlihat dalam bayangan dibenakku adalah suara itu seperti berasal dari kondisi dimana seseorang sedang disudutkan dan suaranya tak lagi terdengar jelas hingga menimbulkan pekikan saja.
"Ate." Jena memanggil dengan matanya yang lurus melihat ke belakangku. Ia seperti melihat sesuatu yang mengerikan?
Aku pun dengan perlahan membalikan badanku.
Namun, belum sempat aku berbalik sepenuhnya, Jena menarikku untuk kembali ke koridor. Aku yang tidak mengerti langsung saja berhenti ketika kami telah kembali berjalan menuju kelas.
"Jena, tadi kamu lihat apa di belakangku?" tanyaku saat kami tengah berada tidak jauh dari ruang seni lukis.
Jena tidak langsung menjawab. Ia kembali menatap ke arah jendela ruang seni yang terbuka tirainya. Tatapannya tidak aku mengerti. Ia terpaku sampai akhirnya aku menyentuh tangannya yang dingin.
"Kamu lihat apa?" tanyaku lagi.
"Mereka masih di sini, Ate."
"Maksud kamu?"
"Ate, tahu kenapa aku lebih memilih sekolah di Indonesia alih-alih bisa saja aku ke negara lain?"
Aku menggeleng dipenuhi rasa penasaran.
"Sebenarnya...."
___________________
Sekarang aku sudah kembali di rumah, duduk di kasur berhadapan dengan Jena yang menatapku dengan serius.
Semenjak kejadian di depan aula sekolah tadi, saat dimana Jena menceritakan alasannya. Kami seperti menyatukan sesuatu yang tak tampak. Semacam konspirasi transparan. Maksudnya hanya satu hal, aku dan Jena bisa berhubungan dengan mereka.
Jena bisa melihat dan mendengar suara mereka.
Dan aku, aku bisa melihat tapi tidak tahu kenapa tidak semua hal seperti itu bisa kulihat. Hanya beberapa saja yang dapat kulihat. Dan... aku juga bisa merasakan keberadaan, pun suara mereka.
Dan... alasan Jena ada di sini adalah... karena ia mendapatkan donor ginjal dari salah satu orang yang di bunuh dengan cara yang sangat sadis. Ya, sejenis pembunuhan berantai yang dilakukan oleh sekelompok orang bertopeng dengan wajah yang sangat tidak terduga dibalik topengnya oleh orang-orang bahwa mereka adalah seorang pembunuh. Maksudnya, mereka adalah sekumpulan orang yang memiliki rupa sangat baik kelihatannya tapi sebenarnya mereka sangat mengerikan. Begitu katanya.
Lalu, disinilah kami sekarang, tengah membicarakan apa yang akan dilakukan Jena terhadap itu semua.
"Apa dia yang memintamu untuk datang kemari?" tanyaku padanya menanyakan tentang si pemilik ginjalnya yang sebenarnya.
"Ya. Dia terus menangis di telingaku sembari memintaku untuk memberikan hukuman atas perbuatan mereka. Dengan kata lain aku sebagai media penyalur balas dendamnya dia." terang Jena sembari meneguk jus buah dalam kemasan kotak.
"Kenapa aku tidak bisa melihatnya?"
"Ate, ingin melihatnya?"
"Tidak." kujawab cepat.
"Untuk orang seperti, Ate, tidak semua hantu bisa terlihat dengan gampang."
"Kenapa?"
"Karena... skenario awalnya memang harus begitu." jawabnya dengan kekehan diakhir.
Aku mendengus sambil menyisir rambutku dengan tangan.
"Omong-omong, aku tidak melihat kakek dan bibi sama sekali hari ini. Mereka kemana?" tanyaku sambil berpindah duduk ke kursi belajar. Sebenarnya aku juga jarang, sih, lihat mereka di rumah.
"Pagi tadi aku sempat melihat mereka masuk ke vapiliun."
"Kamu penasaran tidak apa yang ada di sana?" tanyaku sambil melihat ke jendela kaca besar yang memperlihatkan sisi samping bangunan vapiliun.
"Aku lebih penasarannya pada si pembunuh dari si pemilik ginjalku ini." sahutnya.
"Hmh, kamu tahu namanya siapa?"
"Greya."
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berjalan begitu cepat melewati depan kamarku. Aku dan Jena saling bertatapan seakan saling menanyakan siapa yang ada di luar. Mana mungkin bibi atau kakek berlari seperti itu. Kecuali....
Jena beranjak dari ranjang. Aku memperhatikannya membuka pintu dengan perlahan.
Ia memutar kepalanya ke kiri dan kanan. Lalu menatap lantai beberapa saat. Aku pun mengampirinya.
"Bibi? Bi Dahan? Kek? Kakek Mahad?" aku berseru untuk memastikan kalau yang baru saja lewat adalah mereka. Tapi tidak ada sahutan.
"Bukan mereka," ucap Jena sambil menatap pintu kamar yang ada di sebelah kamarku.
Seketika tubuhku merinding dalam beberapa saat.
_____________________
Sejak kejadian dimana berita itu tersebar, hampir seluruh warga sekolah seperti melihat ke arahku dengan tatapan yang seolah aku itu seperti sampah. Heran, memangnya apa yang salah denganku?
Haruskah karena orangtuaku aku pantas untuk dibeginikan? Justru aku yang jadi korban pada kejadian itu.
Sudahlah, aku tidak mau terlalu mengurusi itu. Lagipula, aku tidak akan lama sekolah di sini. Hanya sekitar kurang dari setahun. Tidak apa-apa aku tidak punya teman, setidaknya aku masih punya bocah itu.
"Ngomong-ngomong kamu sepertinya sudah tahu dengan apa yang terjadi denganku dulu, Jen. Apa mamaku yang memberitahumu?" tanyaku pada Jena yang lagi duduk di sampingku sambil menggigit sedotan jus kotaknya sembari tetap fokus pada webnovel yang sedang dibacanya.
Jena menggeleng tanpa melihat kearahku.
"Aku tahu sendiri." sahutnya masih tetap fokus.
"Tahu sendiri bagaimana maksud kamu?"
"Aku juga pernah koma."
"Lalu?" aku masih tidak mengerti.
"Ate, aku lapar sekali. Ayo, kita makan!" ajaknya berusaha menarikku dari bangku.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Jena."
"Aku akan menjawabnya setelah aku kenyang."
Bohong. Sekarang bahkan sudah jam pulang. Jena masih belum menceritakan apapun. Seperti tentang ginjalnya saja masih banyak hal yang belum terurai dari kisahnya. Jena benar-benar misterius. Tapi kan sekarang ini bukan membahas tentang Jena.
"Ate, tunggu di mobil saja. Ini kuncinya. Aku akan menyusul, aku mau ke toilet sebentar." ujarnya sembari memberikan kunci mobilnya padaku. Ya, Jena sudah bisa menyetir bahkan sejak usianya baru 6 tahun katanya. Hhh, dia benar-benar anak yang jenius dan ajaib. Omong-omong soal mobil, mobil ini datang tiga hari setelah kami tiba di rumah. Itu adalah mobil pribadi Jena yang sengaja diterbangkan oleh orangtuanya.
Aku lalu beranjak menuruni tangga yang tidak seberapa banyak menuju parkiran. Sudah agak lebih sepi sekarang. Orang-orang memang tidak mengatakannya atau menyuarakannya, tapi tetap saja mata mereka masih menyiratkan penghinaan ketika melihatku.
Bug!
Tiba-tiba saja anak laki-laki berkulit hitam itu menyenggol bahuku dengan sengaja.
"Sorry, gue nggak lihat ada orang. Eh, tapi emang anak pembunuh masih bisa dibilang orang, ya? Hhehehe."
Aku tidak menggubrisnya. Aku lalu beranjak ke mobil Jena yang tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Fuck! Killer!"
Aku masih dapat mendengar umpatannya walau sudah di dalam mobil.
Orang seperti itu tidak ada gunanya jika aku ladeni.
Tok! Tok!
Seseorang mengetuk kaca mobil.
Aku terbengong saat melihatnya.