๐ธ๐ธ๐ธ
Secara harfiah hubungan itu dekat. Seperti halnya dua orang yang saling mengenal dalam waktu lama, duduk di sebuah bangku yang sama, mereka akan merasakan kedekatan melalui indera penglihatan, indera penciuman bahkan melalui indera sentuhan. Jika mereka terus duduk dalam durasi yang lama, perlahan akan terbentuk kedekatan emosi. Keduanya akan mulai saling menyapa, saling mencoba menyelami pikiran masing-masing lewat tatapan mata atau segala hal yang berhasil disuarakan.
Namun dekat secara harfiah belum tentu akan dekat dalam makna keseluruhan. Begitu rumit menjabarkannya. Hanya cukup membayangkan. Dirimu tinggal dan bernapas dengan udara yang sama bersama seseorang dalam waktu yang lama. Berbagi rasa makanan yang sama, berbagi beban tugas yang sama dan sesekali di beberapa kesempatan akan mengomentari lelucon hidup yang sama pula.
Apakah sudah bisa dikatakan dekat sebenarnya. Jika dirimu melibatkan emosi di dalamnya maka dapat dipastikan dirimu ingin memiliki kata dekat yang lebih dari sekedar mengetahui keberadaannya di sekitarmu. Mungkin dirimu akan merangkak untuk lebih dekat ke sisi hatinya yang tidak pernah kamu masuki.
Lalu bagaimana dengannya? Apakah dia memaknai kata dekat itu seperti dirimu memaknainya? Bagaimana jika dia menganggap kata dekat denganmu hanya karena sebuah kebutuhan interaksi sosial yang dilakukan oleh dua individu yang terjerat dalam satu putaran waktu yang sama dan lama. Tak ada emosi yang berlebih yang terlibat dalam dirinya.
***
Aisha memandang deretan foto yang tersimpan dalam galery foto di ponselnya. Setelah seharian menikmati kedekatan yang penuh baluran emosi, Aisha kini merasa gamang setelah hari berakhir. Mereka berpisah di depan rumah masing-masing. Kembali fokus pada kehidupan masing-masing.
Aisha mencoba untuk mencari-cari dalam setiap sudut pemahamannya tentang makna dekat yang mereka pertontonkan hari ini. Apakah sama caranya mengartikan kata dekat secara emosi antara dia, Alfa dan Dikta dengan yang diartikan Dikta untuk kedekatan mereka. Jika dia dan Alfa begitu bergantung pada kehadirannnya tadi pagi, apakah Dikta juga akan merasakan ketergantungan yang sama ketika pria tidak berhasil menemukan dia dan Alfa saat itu.
Aisha mengingat kembali kejadian di pagi hari saat lomba telah dimulai. Dia tidak berharap lagi Dikta akan datang ke lokasi lomba. Dikta pergi bersama Megan. Dan itu beralasan. Sekali lagi karena faktor mereka dekat satu sama lain.
"Apakah- urusan penting yang kamu maksud tadi adalah janji kencan dengan Megan?" tanya Aisha saat mereka berkendara pulang dari lokasi lomba.
Dikta menoleh pada Aisha dengan raut terkejut. Hanya sesaat. Dia kembali menatap jalanan sore yang ramai dengan kendaraan orang-orang yang akan menghabiskan malam minggunya.
"Ibu melihatnya?" gumam Dikta. Suaranya dipelankan agar tidak mengganggu tidur lelap Alfa di bangku belakang.
"Alfa juga," jawab Aisha tanpa menoleh pada Dikta.
Pria itu terdiam sesaat dan masih menatap jalanan dengan kendaraan berderet dan merayap di depan mereka.
"Maaf! Ada seseorang yang mendadak harus saya temui," tukas Dikta.
"Bersama Megan?" tanya Aisha dengan suara yang sedikit bergetar.
"Iya." Dikta mengetatkan pegangannya pada kemudi. Dia kemudian menyentak persneling dengan keras ketika dia harus sedikit memacu kendaraannya lebih cepat.
Aisha berharap Dikta akan berbicara lagi. Menjelaskan siapa yang pria itu temui bersama Megan. Namun Dikta hanya diam dengan bibir membentuk garis lurus.
Hingga mereka tiba di dalam garasi mobil Aisha, tak ada lagi pembicaraan yang terjadi. Aisha sadar, mereka dekat tapi tak cukup dekat bagi Dikta untuk menceritakan beberapa hal pribadinya. Termasuk wanita yang dia kencani. Bukankah sebelumnya Dikta pernah mengatakan kalau dia punya seorang wanita yang punya makna lebih baginya dan belum ingin mengungkapkannya.
Dan kecupan itu? Entahlah. Mungkin itu adalah bagian dari perayaan kemenangan.
Aisah memijat pelipisnya. Entah mengapa dia berpikir hingga ke arah sana. Mungkinkah hanya dirinya yang salah paham dengan semua kedekatan ini.
Ponselnya berdering menampilkan nama Ibu di layar. Ini akhir pekan. Hal yang biasa jika ibunya menelepon karena wanita paruh baya itu tahu anaknya sedang tidak sibuk.
"Assalamu'alaikum. Apa kabar, Bu?" sapa Aisha.
"Wa'alaikumussalam. Kabar baik. Bapakmu sehat jadi jangan khawatir," jawab sang ibu. "Bagaimana Alfa. Dia masih sering rewel?" "Tidak lagi, Bu. Sekarang dia sudah tidur. Mungkin capek dari lomba di sekolahnya tadi siang," ujar Aisha.
"Syukurlah, Nak." Ibu terdiam sejenak. Terdengar tarikan napas panjang darinya.
"Ada apa, Bu? Ada masalah?" tanya Aisha cemas.
"Tidak ada masalah di sini. Ibu dan bapak hanya mencemaskanmu, Ais." Ibu Fatimah kembali menghela napas.
"Kamu masih muda, Ais. Apa tidak ada niat menikah lagi?" tanya ibu Fatimah perlahan.
"Belum, Bu. Belum kepikiran. Mas Alif baru meninggal beberapa bulan. Ais belum bisa melupakan dia. Lagipula Alfa masih kecil. Ais khawatir Alfa belum bisa menerima kehadiran pengganti papanya," ujar Aisha serak. Terasa ada cairan getir menyumbat tenggorokannya saat mengatakan hal itu.
"Kamu harus memikirkan dirimu juga. Sendirian mengurus perusahaan. Ibu dengar banyak masalah yang terjadi dan ada yang niat mau menjatuhkan kamu. Kalau nanti kamu sama Alfa kenapa-napa siapa yang mau melindungi. Bapak dan ibu jauh di kampung. Adikmu juga jauh kuliahnya. Kami selalu kepikiran kamu sama cucu ibu, Nak." Terdengar isakan lembut di sana. Halusnya hati seorang ibu yang tidak ingin anaknya dibelenggu kesulitan.
Ingin rasanya Aisha berkata bahwa ada Dikta yang akan melindungi mereka. Tetapi hal itu tidak mungkin. Kedua orang tuanya tidak tahu posisi Dikta sebenarnya selain hanya sekretaris biasa. Bahkan selama orang tuanya menginap di rumahnya, Dikta memilih menjauh dari pandangan orang-orang dan mengawasi situasi diam-diam.
Jadi mengatakan hal itu hanya akan membuat ibunya bingung. Selain itu Aisha tidak ingin menanamkan harapan berlebih dalam hatinya yang kelak bisa jadi akan patah jadi dua.
"Bu, Ais baik-baik saja di sini. Masalah perusahaan sedang ditangani sama orang-orang kepercayaan yang masih memihak sama mas Alif. Walaupun Ais menikah, itu tidak menyelesaikan masalah yang ada sekarang," cetus Aisha menenangkan ibunya.
"Iya. Ibu nurut sama kamu saja, Nak. Kamu hati-hati di sana. Bapak sama ibu tidak bisa bantu apa-apa. Hanya bisa mendoakan mudah-mudahan kalian selalu dalam lindungan Allah, Nak. Kelak kamu ketemu orang sebaik pak Alif yang bisa mengayomi dan melindungi kamu dan Alfa." Masih terdengar isakan dari nada suara ibunya. Aisha mendengar nada harapan yang tulus dalam ucapan ibunya. Dia hanya bisa mengamini, berharap terbaik untuk dirinya dan keluarganya, terutama untuk Alfa.
Ketika ibunya menutup percakapan, Aisha merenungi segala kekhawatiran ibunya. Semua masuk akal. Statusnya sangat rentan dimanfaatkan oleh orang-orang yang akan mengambil keuntungan. Statusnya rentan fitnah.
Tiba-tiba Aisha sadar. Dia belum membentengi dirinya dengan baik. Ilmu agamanya masih kurang. Pemahamannya terhadap hak dan kewajibannya sebagai sebagai seorang wanita dalam agama belum memadai. Dia bahkan belum menutup aurat dengan benar.
Aisha bangkit dari duduknya, mengambil air wudhu lalu menunaikan shalat Isya dengan khusyuk. Memohon petunjuk pada Sang Pemberi Petunjuk Terbaik untuk segala kemudahan dalam melalui kesulitan yang akan menghadang di depannya.
Allah Maha Kuasa, senantiasa menjanjikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang berikhtiar.
"Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. QS. 94:5-6"
***
Di rumah berbeda hanya dalam jangkauan langkah kaki. Dikta duduk diam dalam temaram kamar kerjanya. Memandang layar monitor di depannya. Hanya ada dua gambar tangkapan CCTV yang tampil di layar. Visual Alfa yang sedang tertidur lelap di atas ranjangnya serta Aisha yang sedang duduk di ruang keluarga lantai dua.
Wanita itu sedang menatap ponselnya lama. Merenung sambil menopang kepala pada sebelah tangannya. Ada kerutan dalam yang terukir di ruang antara dua alisnya yang melengkung indah.
Ketika Aisha beranjak masuk ke dalam kamarnya, Dikta menarik pandangannya dari layar monitor dan mengalihkan ke langit-langit rumah yang berselimut bias cahaya. Apa yang dia harapkan ada di sana? Sebuah jawaban atas kegundahannya, ketakutannya.
Layar ponselnya berpendar. Dengan sigap Dikta meraihnya dan menekan tanda menerima panggilan. Terdengar suara berat seorang pria.
"Mr. Di, saya hanya mau mengabarkan sesuatu yang penting. Anda harus berhati-hati. Salah satu informan saya yang memantau organisasi pembunuh bayaran Black Devil melihat anak buah Black Don di kota M."
"Apakah keberadaan mereka di kota M seperti dalam dugaanku?" tanya Dikta.
"Saya rasa begitu. Ada yang menyewa mereka untuk sebuah misi. Sekian tahun kita tidak pernah bersinggungan lagi dengan Black Devil. Saya hanya khawatir jika mereka menemukan keberadaanmu dan Megan di sana. Maka berhati-hatilah kalian berdua," ucap pria di sambungan telepon.
"Terima kasih infonya." Klik. Sambungan terputus.
Dikta mengirimkan kode BD melalui perangkat macbook-nya kepada beberapa jaringan rahasia yang tersambung dengannya.
Mereka belum tahu tujuan orang-orang organisasi pembunuh bayaran tersebut berkeliaran di kota M. Hanya kewaspadaan yang perlu diperkuat. Dia tidak boleh lengah. Terutama dalam situasi kritis yang sedang mereka hadapi di perusahaan. Aisha dan Alfa berada dalam situasi bahaya.
Dengan lembut, Dikta mengusap layar ponselnya. Di sana tampak gambar swafoto yang diambil siang tadi setelah menerima medali. Aisha di sampingnya dan Alfa dalam pelukannya, tersenyum lebar ke arah kamera bersamanya. Dua orang yang harus dilindunginya.
Bersambung ....
๐ธ๐ธ๐ธ
Nb : Hai ... ๐
Ketemu lagi hehee ... Alhamdulillah author sudah merasa sehat berkat doa teman-teman sekalian. Sudah lebih segar dan bersemangat mengawali libur sekolah yang sesungguhnya.
Nah, sesuai dengan plot awal yang author buat, mungkin novel ini tidak akan sampai episode 50. Niatnya author mau bukukan dan cetak terbit karena banyak teman2 author yang penasaran dengan novel ini tapi mereka gak mau baca online yang mana harus tunggu lama untuk setiap update. Mereka maunya dalam bentuk buku.
Jadi mohon teman2 kasi masukan untuk SekWal sebelum nantinya akan tiba di meja editor penerbit. Termasuk judul, apakah perlu direvisi atau dipertahankan.
Terima kasih atas apresiasi kalian terhadap SekWal. Terima kasih sudah sabar menunggu lama. Terima kasih atas review, komen-komen, bintang 5, dan terutama batu kuasanya.
I love you all and see you next chapter ๐