Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 29 - Layu Sebelum Berkembang

Chapter 29 - Layu Sebelum Berkembang

🌸🌸🌸

Kuncup rasa itu tumbuh perlahan seiring denting waktu yang berdetak dalam lonceng hari. Sekuat tenaga menepisnya, menyangkalnya, mengemasnya di sudut tersembunyi. Jika memang waktu mengizinkannya melompat keluar dari bayang gelap itu maka siapakah yang dapat mencegahnya?

Jika Aisha punya keberanian, mungkin dia akan mencegah Dikta bertemu dengan Megan di akhir pekan. Namun apalah daya dia begitu takut untuk menunjukkan rasa tidak sukanya akan kedekatan dua orang itu.

Maka dengan wajah tak rela Aisha melihat Dikta keluar menemani Megan yang datang menjemput pria itu dengan mobil merahnya.

Megan begitu cantik dan ceria dalam balutan pakaian santai model terbaru yang sangat cocok di tubuh jangkungnya. Penampilan Dikta kian melengkapi sihir menakjubkan dari pasangan paling cocok abad ini. Itu menurut Aisha.

"Ma, Alfa mau pergi berenang." Suara manja Alfa membuyarkan lamunan Aisha yang masih berdiri di depan jendela. Mobil Megan telah lama menghilang dari pandangannya.

Aisha mengalihkan perhatiannya kepada putranya. Tiba-tiba saja bocah itu ingin keluar. Padahal mereka tidak punya agenda keluar rumah akhir pekan ini.

"Alfa mau berenang di kolam belakang?" tanya Aisha sembari berjongkok di depan putranya. Alfa menggeleng.

"Alfa mau berenang di kolam di dekat sekolah. Zyan berenang di sana. Zyan bilang gitu. Alfa juga mau, Ma," rayu bocah imut itu.

"Tapi paman Dikta lagi keluar dengan tante Megan, sayang," ujar Aisha.

"Alfa maunya berenang dengan Zyan." Alfa mulai bersikeras. Dahinya berkerut serius. Aisha hanya bisa menghela napas. Mau tidak mau dia harus mengabulkan permintaan putra kesayangannya. Berat untuk menolak.

"Oke. Mama antar," ucap Aisha akhirnya.

Alfa langsung bersorak kemudian berlari menuju kamarnya untuk menyiapkan perlengkapan berenangnya ditemani Bu Sumi.

Aisha menukar gamis rumahnya dengan gaun santai panjang dan ringan berwarna krem dan kerudung berwarna hitam yang disemat dengan pin senada warna bajunya.

Setelah mengisi tasnya dengan dompet dan ponsel, Aisha menghampiri Alfa yang masih sibuk menyiapkan perlengkapannya.

"Sayang, sudah siap?" tanya Aisha dari depan pintu. Alfa berbalik dengan senyum manisnya. Bocah itu segera menyampirkan ransel mini di pundaknya. Alfa benar-benar terlihat tampan untuk ukuran bocah empat tahun. Gen Alif dan Aisha berpadu sempurna dalam sosok Alfa.

"Ayo berangkat, Ma!" Alfa menarik tangan ibunya tidak sabar. Aisha mengikuti langkah kecil Alfa menuruni tangga.

Setelah memberi beberapa instruksi kepada Bu Sumi, Aisha lalu masuk ke kursi kemudi. Dia yakin akan baik-baik saja hanya pergi berdua dengan Alfa. Dia tidak ingin mengganggu kebersamaan Dikta dan Megan.

Mobil Aisha melaju menuju gelanggang renang yang bersebelahan dengan sekolah Alfa. Akhir pekan ini lebih lengang dari biasanya. Sehingga Aisha tidak terlalu khawatir dengan kemacetan.

Aisha memarkirkan mobil di pelataran gelanggang renang. Dengan antusias Alfa keluar dari mobil dan berlari ke arah Zyan, teman sekelasnya, yang juga baru tiba bersama ibunya.

"Alfa mau belenang juga?" tanya Zyan dengan aksen cadelnya. Alfa mengangguk kuat.

"Selamat pagi Bu Aisha. Alfa ikut kelas renang juga?" tanya ibu Zyan.

"Baru mau daftar, Bu. Tiba-tiba saja pagi ini Alfa memaksa ingin ikut kelas renang dengan Zyan," jawab Aisha memandangi Alfa yang bercengkerama gembira bersama Zyan.

"Syukurlah. Zyan ada temannya. Banyakan temannya lebih besar dari dia jadinya Zyan suka minder," ujar ibu Zyan. Aisha tersenyum.

Mereka masuk ke dalam gelanggang bersama-sama sambil bercakap-cakap santai. Sesampainya di dalam, ibu Zyan lebih dulu mengantarkan Zyan ke kolam anak tempat bocah itu latihan berenang. Sedangkan Aisha menghampiri ruang pendaftaran peserta.

Aisha disambut seorang gadis muda berbaju merah yang menyerahkan beberapa lembar formulir pendaftaran. Dengan telaten Aisha mengisinya. Alfa menatap serius ibunya. Untuk anak usia empat tahun, Alfa termasuk bocah dengan rasa ingin tahu sangat besar. Dia selalu memperhatikan banyak hal yang terjadi di sekitarnya dengan seksama bahkan Aisha sendiri sering tidak menyadari perilaku bocah tersebut.

"Nah, sekarang Alfa sudah terdaftar di kelas renang dengan Zyan," kata gadis penerima pendaftaran dengan senyum merekah.

"Betul, Ma?" Alfa menyentuh lengan Aisha. Sang ibu mengangguk. Sebuah seringai bahagia terbit di wajah Alfa.

Oh, putranya begitu bahagia.

"Ma, Alfa mau berenang dengan Zyan."

"Sudah boleh masuk kelas ya?" tanya Aisha pada gadis tadi.

"Boleh. Perkenalan kelas dulu, Bu. Kalau Alfa belum siap, boleh lihat-lihat saja dulu. Nanti di antar sama mas yang pakai seragam abu-abu itu," jawab si gadis baju merah panjang lebar. Aisha mengangguk mengerti. Dia lalu bangkit kemudian menggandeng Alfa mengikuti pemuda yang ditunjuk gadis baju merah tadi.

Mereka memasuki gelanggang luas dengan deretan kolam berbagai ukuran. Mulai dari kolam besar untuk dewasa hingga kecil untuk anak-anak usia Alfa. Beberapa anak terlihat sedang berlatih dengan instruktur masing-masing.

Aisha diarahkan menuju kolam anak-anak yang terlihat sedikit ramai. Beberapa anak sedang berkerumun di salah satu sudut kolam bersama seorang pria. Aisha menduga pria itu adalah pelatih renang.

Pemuda berbaju abu-abu menghampiri sang pria dan menyerahkan lembaran kertas padanya. Pria itu mengalihkan pandangannya kepada Aisha dan Alfa yang berdiri sambil berpegangan tangan. Pria yang Aisha taksir umurnya sekitar pertengahan tiga puluhan menatap mereka berdua lamat-lamat dengan ekspresi ramah.

"Anak-anak, kalian kedatangan teman baru yang akan ikut latihan renang juga. Perkenalkan itu Alfa, teman baru kalian." Sang pelatih memanggil Alfa mendekat dengan lambaian tangan.

Alfa mendongak memandang ibunya. Aisha mengangguk mengiyakan. Dengan ragu Alfa mendekat ke arah kelompok anak yang menatapnya intens.

Alfa menatap satu persatu teman-teman barunya hingga tatapannya bertemu dengan Zyan. Sahabatnya itu melambai padanya. Alfa tersenyum dan mendekati sang pelatih.

"Nah, Alfa hari ini lihat-lihat saja dulu. Minggu depan baru latihan ya," pinta sang pelatih sambil menyentuh bahu Alfa pelan. Alfa hanya mengangguk.

Sang pelatih lalu menemui Aisha dan berbincang sejenak mengenai segala hal mengenai latihan Alfa. Pelatih itu tak bisa mengalihkan pandangannya dari Aisha sehingga membuat Aisha jengah. Aisha hanya berusaha bersikap sopan.

Setelah berbincang sejenak dengan pelatih, Aisha mengajak Alfa pulang. Tetapi Alfa belum mau pulang dan bersikeras ingin melihat Zyan berlatih renang. Akhirnya keduanya bergabung bersama ibu Zyan dari bangku penonton yang berjajar di penggir kolam. Mereka hanya mengamati anak-anak yang sedang berlatih. Alfa tampak serius mengamati teman-teman barunya berlatih. Dia juga berteriak menyemangati Zyan. Aisha terkekek melihat tingkah putranya.

Dua jam kemudian sesi latihan selesai. Aisha, Alfa, Zyan, dan ibunya bersiap pulang. Mereka berempat keluar dari gelanggang ke pelataran parkir.

"Ma, ada es krim. Alfa mau," seru Alfa menunjuk mobil penjual es krim keliling terparkir di pinggir jalan masuk gelanggang.

"Tidak usah ya, sayang. Di rumah kan Alfa juga punya," bujuk Aisha berusaha melarang Alfa.

"Tapi Alfa pengen coba itu," rengek Alfa dengan wajah memelas.

"Tapi tidak boleh banyak-banyak ya!" titah Aisha. Alfa mengangguk patuh.

"Zyan mau juga?" tawar Alfa kepada sahabatnya. Zyan menggeleng.

"Zyan punya penyakit amandel. Dia tidak diizinkan dokter makan es," tukas ibu Zyan. "Alfa saja ya." Zya menelan ludahnya namun apa daya ibunya melarang.

Zyan dan ibunya lalu pamit pulang lebih dahulu. Aisha dan Alfa kemudian mendekati mobil es krim.

"Ma, Alfa mau yang itu," tunjuk Alfa pada gambar es krim cone pada papan daftar es krim.

"Satu es krim cone rasa cokelat, Mas," kata Aisha kepada sang penjual yang sedang menunduk dengan topi yang menutupi separuh wajahnya. Aisha melihat name tag di baju sang penjual tertulis nama Doni.

Dengan sigap si penjual menyiapkan pesanan Alfa kemudian menyerahkan kepada si bocah. Aisha lalu membayar es krim.

Aisha dan Alfa kembali ke mobil di pelataran parkir. Aisha membukakan pintu mobil untuk putranya kemudian dia sendiri masuk ke kursi kemudian. Dia menoleh ke Alfa yang sudah asik menjilati es krimnya.

Aisha menghidupkan mesin mobil dan perlahan memacu keluar dari area gelanggang. Saat melewati pintu gerbang mobil es krim sudah tidak ada di sana.

Aisha mengarahkan kendaraannya pulang. Waktu sudah hampir masuk waktu makan siang. Dia hanya ingin bersantai di rumah menikmati akhir pekan. Mungkin juga dia bisa menulis satu atau dua bab novel terbarunya.

Suasana hening dalam mobil langsung teralihkan dengan suara berisik dari samping Aisha. Ketika Aisha menoleh, dia mendapati Alfa sedang memegang perutnya sambil mengerang kesakitan. Es krim di tangannya telah jatuh ke lantai mobil.

"Kamu kenapa, sayang?"tanya Aisha cemas melihat wajah kesakitan Alfa. Segera dia menepikan mobilnya.

Aisha memeriksa tubuh Alfa. Keringat dingin membasahi dahi dan leher putranya. Tiba-tiba Alfa muntah dengan hebat.

"Alfa ... !!! Kamu kenapa, Nak?" pekik Aisha panik. Dua meraih beberapa lembar tisu untuk mengelap muntahan di mulut dan baju Alfa.

"Sakit ... !!!" rintih Alfa. Matanya terpejam dengan wajah meringis menahan sakit.

"Ya Allah ... !!!"

Aisha segera menyalakan mesin mobil kemudian memutar arah ke rumah sakit terdekat. Dengan gugup dia memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangan kirinya memegang tangan putranya yang mulai terasa dingin. Aisha kian cemas.

Beruntung suasana lalu lintas tidak terlalu padat sehingga Aisha bisa tiba di rumah sakit sepulu menit kemudian. Dengan panik Aisha turun dari balik kemudi, meraih tasnya kemudian menggendong Alfa yang sudah lemas.

"TOLONG ... !!! TOLONG PUTRAKU!" teriak Aisha sambil berlari ke arah UGD. Dua orang perawat, pria dan wanita langsung berlari menyambut Aisha. Perawat pria mengambil alih Alfa dari gendongan Aisha kemudian membopong sang bocah ke sebuah ranjang.

Seorang dokter jaga menghampiri Aisha yang berdiri cemas di samping ranjang Alfa. Airmata mengalir deras dari wajah panik wanita itu.

"Apa yang terjadi?" tanya sang dokter.

"Tadi- tadi anak saya makan es krim. Dia lalu- dia mengeluh sakit perut lalu muntah," jawab Aisha terbata-bata. Sang dokter mengangguk mengerti. Dia meminta Aisha menunggu di luar kamar UGD agar mereka bisa segera menangani Alfa.

Aisha berdiri di depan ruangan. Wajahnya pucat, bibirnya komat-kamit melantunkan doa seraya meremas kedua tangannya. Kepalanya terasa pening dan matanya kabur oleh airmata. Dia berusaha menahan isakannya. Aisha terus saja mondar-mandir di depan ruang UGD berselimut kecemasan selama lebih dari setengah jam.

Dalam kebingungannya dia teringat Dikta. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Dengan tangan gemetaran Aisha menelepon Dikta. Terdengar nada tersambung tetapi hingga dering ketiga Dikta tidak menjawab teleponnya. Saat dia akan menekan nomor Dikta kedua kalinya, dokter yang menangani Alfa keluar dan menghampirinya.

"Keluarga pasien?" sapa sang dokter.

"Iya. Saya Aisha, ibunya. Bagaimana keadaan Alfa putra saya?" tanya Aisha dengan napas tersengal menahan emosi.

"Nyonya Aisha, saya berterima kasih karena Nyonya bertindak cepat dengan membawa putra Anda segera ke sini. Kami menduga Alfa keracunan."

"Keracunan?" ulang Aisha dengan raut terkejut.

"Iya. Kemungkinan salah satu makanan yang dia konsumsi mengandung racun. Tadi Anda mengatakan bahwa Alfa makan es krim?"

"Iya. Kami pulang dari gelanggang renang dan Alfa meminta ea krim." Aisha menarik napas sesak. "Apakah parah, Dok?"

"Kami masih harus memeriksa jenis racunnya. Tetapi Alfa sudah berhasil kami tangani. Nyonya silahkan ke bagian pendaftaran lebih dahulu," tukas sang dokter dengan senyum menenangkan.

"Terima kasih, Dok." Aisha menyeka bulir bening yang mengalir di sudut matanya tanpa bisa ditahan lagi. Sang dokter muda menatap simpatik pada wanita cantik di depannya.

Sang dokter pamit kembali ke ruang UGD sedangkan Aisha bergegas ke bagian pendaftaran untuk menyelesaikan administrasi dan pembayaran.

Sekembalinya ke ruang UGD, tubuh Alfa yang tergeletak tak sadarkan diri di atas brangkar dan didorong oleh dua perawat sebelumnya ke ruang rawat inap. Aisha telah meminta Alfa ditempatkan di salah satu ruang rawat VIP agar lebih nyaman. Sedangkan Aisha mengikuti dokter muda tadi yang bernama dokter Adrian ke ruangannya.

"Saya akan kembali memeriksa keadaan Alfa sejam kemudian. Semoga ada perubahan. Kami juga sudah mengirimkan sampel yang kami dapatkan dari murahan Alfa ke laboratorium," kata dokter Adrian.

"Saya menyerahkan penangan terbaik untuk Alfa kepada Anda. Mohon lakukan terbaik dan saya akan membayar berapa pun itu," mohon Aisha dengan mata berkaca-kaca.

Dokter Adrian kembali memandang simpatik kepada Aisha. Seulas senyum terukir di wajah ramah khas seorang dokter.

"Nyonya Aisha tenang saja. Kami akan melakukan yang terbaik untuk Alfa."

"Terima kasih," lirih Aisha. Dia lalu pamit pada dokter Adrian. Aisha segera ke kamar rawat Alfa dan menemukan putranya terbaring dengan wajah pucat dan lemah di atas tempat tidur empuk berwarna putih.

Ruang rawat VIP tersebut terletak di lantai sepuluh. Kamar luas dengan fasilitas lengkap. Sebuah tempat tidur besar dengan kasur tebal, sebuah sofa panjang dan meja kaca. Sebuah televisi, kulkas dan lemari pakaian. Kamar mandi luas dan moderen menghuni sudut ruangan. Ada sebuah balkon dengan pemandangan halaman rumah sakit di bawah sana.

Aisha duduk di sisi ranjang Alfa, menggenggam sebelah tangan putranya yang bebas karena tangan lainnya sedang dipasangi jarum infus.

"Maafkan Mama sayang. Mama ceroboh hingga kamu sakit kaya gini," isak Aisha sambil mengecup punggung tangan putranya. Alfa masih memejamkan matanya rapat.

Aisha kembali mengecek ponselnya. Tak ada balasan telepon dari Dikta.

Kemana pria itu? Apakah dia tidak membawa ponselnya? Apakah dia tidak ingin seseorang mengganggu kencannya?

Aisha melangkah menuju ke balkon. Dia kembali menghubungi ponsel Dikta. Terdengar dering nada sambung namun kembali tak dijawab. Sekali lagi menghubungi Dikta. Baru dua kali berdering panggilannya dijawab.

"Halo, Dikta!" panggil Aisha tergesa.

"Halo!" Suara wanita. Dan Aisha tahu pemilik suara tersebut. Megan.

"Ini Megan?" tanya Aisha memastikan.

"Iya. Bu Aisha?" balas Megan.

"Dikta kemana?" tanya Aisha lagi.

"Dikta? Oh, dia di kamar mandi dan tidak bisa menjawab telepon. Ada apa?"

"Saya perlu bicara dengan dia sekarang. Ini penting," hardik Aisha tidak sabar.

"Tunggu ya ..." kata Megan dengan suara pelan.

Terdengar suara telepon diletakkan tapi masih dalam mode tersambung. Kemudian suara langkah menjauh. Sayup-sayup terdengar juga suara orang bercakap-cakap dan tertawa.

Aisha mulai gusar. Dia memandang layar ponsel. Terdapat pemberitahuan bahwa daya baterainya lemah.

Ponsel Dikta kembali diangkat.

"Dikta!" panggil Aisha.

"Maaf, Dikta sedang tidak bisa menjawab telepon sekarang, dia sibuk." Itu suara Megan lagi.

"Megan, please! Kasi telepon ini ke Dikta. Ini penting. Alfa masuk ... "

Tut ... tut ... tut.

Ponsel Aisha mati. Aisha mengumpat dalam hati. Dia menyandarkan kepalanya pada besi pembatas balkon. Putus asa.

Di saat kritis begini dia tidak bisa berbicara pada Dikta.

Aisha berusaha menguasai dirinya. Dia harus bisa menghubungi seseorang untuk memberitahukan posisinya dan kondisi Alfa.

Dia masuk kembali ke dalam kamar dan mencoba menggunakan telepon rumah sakit yang tersedia di atas meja untuk menghubungi nomor ponsel Bi Sumi. Dia tidak mau menelepon Dikta karena sudah pasti si rubah Megan sengaja menjauhkan Dikta darinya hari ini.

"Halo! Siapa ini?" Terdengar suara Bi Sumi di seberapa sana. Aisha menarik napas lega.

"Halo! Assalamu'alaikum. Bi, ini Aisha," jawab Aisha cepat.

"Lho, Bu? Ibu dimana?" tanya Bi Sumi.

"Saya di rumah sakit, Bi. Alfa masuk rumah sakit."

"Ya Allah!! Tuan Alfa kenapa?" jerit Bi Sumi histeris.

"Nanti saya ceritakan, Bi. Sekarang tolong Bibi kemasi pakaian saya dan Alfa lalu minta tolong pak supir untuk mengantar ke rumah sakit. Nanti saya kirim alamatnya," pinta Aisha.

"Ibu sudah hubungi Pak Dikta?" tanya Bi Sumi. Asisten rumah tangga itu tahu kalau Aisha pergi bersama Alfa tanpa Dikta.

"Tidak. Ponsel saya habis daya," sahut Aisha.

"Apa perlu saya telepon pak Dikta, Bu?" tanya Bi Sumi lagi. Aisha terdiam sejenak.

Memberi tahu pria itu? Untuk apa?

Aisha sungguh kesal dengan sikap Megan tadi. Bahkan dia mendengar suara keduanya bercakap-cakap dan tertawa. Mereka sedang bersenang-senang. Sudah pasti mereka berdua tidak ingin diganggu.

"Tidak perlu," jawab Aisha datar.

Setelah menyampaikan beberapa hal penting kepada Bi Sumi, Aisha menutup telepon. Dia lalu menghampiri tempat tidur Alfa dan duduk di sisinya.

Putranya masih memejamkan mata. Aisha mengusap pipi Alfa lembut dan mengecup keningnya.

"Bangun, sayang. Mama sendirian. Mama takut." Aisha kembali menggenggam jemari mungil putranya.

"Mulai sekarang kita harus berjuang berdua, sayang. Kita tidak bisa bergantung lagi pada orang lain. Kini, hanya kita berdua. Mama akan berhenti berharap, sayang. Alfa juga ya."

Aisha mengecup jemari putranya perlahan. Tetes demi tetes bening kristal jatuh, luruh bersama kesedihan dan kegetiran hatinya.

Kuncup perasaan yang baru tumbuh itu perlahan layu sebelum berkembang.

'Ya. Sudah saatnya berhenti berharap.'

Bersambung ....

🌸🌸🌸

Nb : Maaf atas keterlamaanku up 🙏

Banyak hal yang harus saya tuntaskan menyangkut pekerjaan. Semoga kalian tidak jenuh.