๐๐๐
Bugh ... bugh ... buwsh ...
Bugh ... bugh ... bugh ... splash ...
Suara samsak beradu dengan pukulan tangan dan kaki menggema dalam ruangan temaram dan sepi. Pukulan dan tendangan berulang kali mendarat di atas bantalan seberat puluhan kilo yang tergantung di langit-langit ruangan membuatnya terpental kesana kemari tak beraturan.
Megan membuka pintu sasana bela diri Muay Thai yang sedikit terbuka. Ruangan temaram langsung menyambutnya ditimpali dengan suara gebukan pada bantalan samsak. Dengan perlahan wanita itu mendekati seorang pria berkaos hitam ketat membungkus tubuhnya serta celana olahraga panjang. Pria itu terus menerus mengarahkan tinju dan tendangannya terhadap samsak di depannya tanpa lelah dan dengan raut marah. Megan berdiri dalam jarak tiga meter dari pria itu. Dia memperhatikannya selama beberapa lama hingga akhirnya tak bisa menahan diri lagi.
"Abang, berhenti! Kamu bisa menyakiti dirimu sendiri," seru Megan menghentikan pria itu. Tapi sang pria tak menggubrisnya. Dia telah menghajar samsak itu selama berjam-jam. Keringat menguncur dari pori-pori tubuhnya membasahi seluruh permukaan kaos, wajah dan lehernya.
"BANG DIKTA!" pekik Megan kali ini. "Aku tahu Abang marah tapi berhenti mencoba mematahkan tangan dan kakimu."
Dikta menghentikan kegiatan gila tersebut. Kedua tangannya memeluk bantalan samsak dengan wajahnya ditelungkupkan di atasnya. Dadanya naik turun menyesuaikan deru napasnya yang memburu.
"Maafkan aku, Bang. Aku tahu aku salah. Aisha memang meneleponmu tapi aku tidak menyangka kalau situasinya akan separah itu sehingga aku mengabaikannya. Maafkan aku. Jangan mendiamkan aku lagi, Bang." Megan mulai terisak.
Dikta tak menggubrisnya. Dia beranjak menuju loker kemudian mengambil selembar handuk untuk menyeka keringatnya. Diteguknya sebotol air hingga tandas lalu melempar botol kosong ke tempat sampah dengan kasar. Tanpa berbicara sepatah kata pun Dikta meraih tas selempangnya dan berlalu ke kamar mandi yang disediakan di sasana tersebut.
Megan hanya tertegun menatap punggung Dikta yang menghilang di balik pintu kecil menuju kamar belakang. Kesedihan bergelayut di wajahnya. Dikta mungkin membencinya karena tidak memberitahu perihal Aisha yang menelepon saat insiden itu terjadi.
Sejujurnya Megan juga merasa bersalah. Dan rasa bersalah itu kian besar saat melihat Dikta begitu marah dan menyalahkan dirinya sendiri karena telah berlaku lalai dalam tugasnya. Pria itu tidak menimpakan kesalahan langsung kepadanya tetapi sikap diam Dikta cukup membuatnya sadar betapa pedulinya pria itu pada Aisha.
Rasa bersalahnya sama besar dengan rasa sedihnya. Di masa lalu, pria itu pernah begitu peduli dan melindunginya mati-matian sehingga membuatnya merasa istimewa dan berharga.
Kini, pria itu juga memiliki kepedulian yang begitu besar kepada sang nyonya majikan. Mungkinkah Dikta memiliki perasaan khusus kepada Aisha?
Megan mengusap airmatanya. Perlahan dia berbalik meninggalkan ruang sasana yang sunyi mencekam.
***
Air dingin menguncur turun membasahi tubuh Dikta. Sambil menengadahkan wajahnya, Dikta menikmati belaian sulur bening yang menyusuri setiap jengkal lekuk tubuhnya. Mendinginkan kemarahannya. Namun rasa bersalah masih bercokol di palung hatinya.
Dia marah pada Megan tetapi tak bisa mengatakannya. Bagaimanapun dia tidak bisa melihat wajah muram adik angkatnya itu. Maka Dikta hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Seandainya dia tidak mengikuti ajakan Megan karena gadis itu bisa menjaga dirinya sendiri. Seandainya dia tidak melepas ponsel dari sakunya. Seandainya dia mengecek keadaan Aisha dan Alfa sesering mungkin. Seandainya dan seandainya. Semua percuma.
Kini Alfa telah terbaring di atas ranjang rawat. Aisha pun marah dan mendorongnya pergi. Semua rasa bersalahnya tidak akan menyembuhkan kesedihan dan ketakutan yang dialami Aisha.
Dikta menyandarkan kedua telapak tangannya di dinding kamar mandi. Menatap ke arah aliran air yang mengalir. Memikirkan langkah yang akan dilakukan selanjutnya.
Aisha boleh memecatnya sebagai bodyguard tetapi bukan berarti dia akan tinggal diam tanpa melakukan tindakan. Permintaan Alif Pramana terngiang kembali di benaknya. Janji yang tidak akan bisa diingkarinya meski Aisha nanti akan menjauh darinya.
***
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Koridor lantai ruang rawat VIP begitu lengang. Hanya sesekali satu atau dua orang perawat melintas di sana.
Dikta berdiri dalam diam di depan pintu ruang rawat Alfa. Samar dia menangkap bayangan Aisha yang beraktifitas di dalam kamar itu. Wanita itu baru saja selesai melipat mukena dan memasang kerudungnya melalui kaca pintu.
Tidak mungkin baginya untuk masuk dan menampakkan diri di depan Aisha. Sudah pasti wanita itu akan mengusirnya pergi meski dengan cara halus. Dia juga tak mampu menatap wajah sendu Aisha. Karena airmata Aisha terasa mengiris setiap permukaan hatinya.
Aisha tidak menyadari keberadaan Dikta di depan pintu. Setelah memastikan Alfa tidur sehabis meminum obatnya, Aisha menunaikan shalat Isya dan shalat sunnat kemudian dilanjutkan membaca Alquran. Semua kesedihannya dicurahkan dan diceritakan hanya kepada Tuhannya. Memohon kekuatan dan ketegaran agar sanggup melewati semua cobaan yang datang silih berganti.
***
Pukul sepuluh malam, Aisha beranjak ke atas tempat tidur putranya, membaringkan tubuh kurusnya di samping sang putra. Dengan lembut tangannya mengelus pipi, dahi dan rambut legam bocah kesayangannya.
"Cepat sembuh, sayang. Mama rindu bermain dengan Alfa. Mama rindu suara tawa Alfa. Mama rindu masak ayam goreng untuk Alfa." Aisha tersedak oleh isakannya. "Minggu depan Alfa mau berenang dengan Zyan kan? Tadi siang Zyan dan teman-teman Alfa datang jenguk Alfa. Zyan kangen sama Alfa, Nak. Makanya Alfa cepat sembuh ya!"
Aisha mengecup kening Alfa dengan berurai airmata. Dia memeluk tubuh mungil putranya untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.
Perlahan Aisha memejamkan matanya. Tubuh lelahnya tak bisa kompromi lagi memaksanya untuk segera terlelap ke alam mimpi.
Dikta masuk ke dalam kamar rawat dan mendapati pasangan ibu dan anak itu telah terlelap sambil berpelukan satu sama lain. Dengan hati-hati Dikta duduk di tepi tempat tidur di samping Alfa. Tangannya mengusap kepala Alfa. Dia sangat merindukan bocah mungil dan ceria itu. Hatinya sakit melihatnya tak berdaya dan terbaring diam seperti ini.
Kini tangannya berpindah mengusap pipi kanan Aisha yang berbaring menyamping. Wajah wanita itu kian tirus dan pucat. Ada jejak airmata di permukaan pipi lembutnya. Mungkin dia kurang makan dan tidur?
Aisha selalu memendam perasaannya sendiri. Kesedihannya, kesakitannya dan kekecewaannya.
"Maaf. Maafkan aku. Meskipun kamu mendorongku pergi tapi aku tidak akan pergi. Aku akan tetap berada di sisimu, menjadi bayanganmu, menjaga dan melindungi kalian berdua. Maaf jika kemarin aku menyakitimu. Aku berjanji akan berhati-hati untuk tidak melukai perasaanmu di masa depan," bisik Dikta masih mengelus wajah Aisha. Masing-masing sebuah kecupan ringan dia hadiahkan ke kening Aisha dan Alfa sebelum keluar dari ruangan itu tanpa menimbulkan suara.
Aisha masih setia memejamkan matanya. Setetes bening hangat mengalir di sudut matanya.
***
Dikta duduk tenang di depan layar dalam ruang kerjanya. Matahari mulai merangkak naik tetapi ruangan itu masih gelap gulita. Dikta sengaja tidak membuka gorden atau sekedar membiarkan cahaya sedikit mengintip ke dalam. Dia akan lebih fokus bekerja dalam suasana gelap dan senyap seperti itu.
Matanya sedikit lelah setelah memandang layar di depannya selama berjam-jam. Dikta sedang memeriksa rekaman kamera pemantau di hari insiden keracunan Alfa. Dia berhasil menggali informasi dari dokter Adrian mengenai penyebab keracunan itu. Sesuai dengan keterangan dari ibunya Zyan yang juga diinterogasi secara diam-diam, Dikta akhirnya mencurigai mobil es krim tempat Aisha dan Alfa berbelanja.
Saat ini di depan layar telah tersaji potongan video saat Aisha dan Alfa sedang berinteraksi dengan penjual es krim. Video itu Dikta ambil dari kamera pengawas di luar gelanggang renang yang telah diretas olehnya. Karena posisi kamera dan objek pengamatan sangat jauh maka gambar yang dihasilkan juga sedikit kurang jelas meskipun Dikta sudah memutar pada skala paling besar.
Beruntung Dikta berhasil memindai nomor polisi kendaraan tersebut juga nama yang tertera di seragam sang pramuniaga es krim. Akan tetapi wajah sang pramuniaga sangat sulit dipindai karena dia selalu menundukkan kepala seakan sengaja menyembunyikan wajahnya.
Berbekal nomor polisi kendaraan, nama pramuniaga serta nama perusahaan es krim tersebut Dikta mencari data akurat pelaku. Nama Adit yang ditemukan sebagai pramuniaga es krim ternyata telah meninggal dunia akibat kecelakaan tunggal setahun yang lalu. Lalu siapa pria itu?
Tanpa putus asa Dikta meretas semua kamera pengawas di setiap bangunan di pinggir jalan yang diduga dilewati oleh mobil es krim itu. Semalaman suntuk Dikta memeriksa setiap rekaman dari ratusan video yang berhasil dia dapatkan.
Dikta berhenti sejenak. Kepalanya pening seakan mau pecah dan tenggorokannya pun terasa kering. Dia baru selesai memeriksa sepertiga dari data rekaman yang ada. Untunglah Jerry bersedia membantunya hari ini.
Sambil menyeret kakinya keluar dari ruang kerja, Dikta menghubungi anak buahnya yang bertugas mengawasi Aisha dan Alfa di rumah sakit.
"Bagaimana keadaan nyonya dan tuan muda?" tanya Dikta dengan nada datar.
"Nyonya baru saja kembali dari membeli buah-buahan dan makanan, Bos," lapor anak buahnya.
"Siapa yang menjaga tuan muda?" tanya Dikta dengan kenin berkerut cemas.
"Ada Bi Sumi dan pak sopir menjaga tuan muda. Selain itu Handi dan Pras juga berjaga di sekitar ruangan tapi masih dalam perimeter aman. Saya yang mengawal nyonya keluar. Sepertinya nyonya tahu Bos. Tapi entah mengapa nyonya bersikap seakan tidak tahu keberadaan saya."
"Bagus. Kalau ada yang mencurigakan segera hubungi saya. Jangan ...."
"Nyonya ...! Maaf nyonya ...!" Dikta menghentikan ucapannya yang terpotong oleh kegaduhan yang terjadi di seberang sambungan telepon.
"Halo! Dikta?" Itu suara Aisha yang terdengar sedang marah.
"Iya," jawab Dikta.
"Dikta, saya sudah bilang berhenti berkeliaran di sekitarku. Kamu tidak punya tanggung jawab untuk mengawalku lagi," bentak Aisha emosi.
"Kan bukan saya yang mengawal," elak Dikta.
"Kamu menyuruh anak buahmu mengikuti saya kemana-mana. Itu sama saja kan?" "Aisha. Meskipun kamu menolak namun saya tidak akan mengabaikan keselamatanmu dan Alfa. Ben tetap akan mengawalmu setiap saat. Tidak ada penawaran apalagi penolakan," tegas Dikta.
"Huh, menyebalkan!" sentak Aisha.
"Maaf nyonya ...," terdengar suara Ben di antara omelan Aisha. Suara wanita itu kian menjauh. Dikta menyunggingkan senyum kecil karena reaksi Aisha barusan. Dia tahu, Aisha tidak akan menolak pengaturannya.
"Ben, tetap lakukan seperti biasa," titah Dikta sebelum mematikan sambungan telepon.
***
Aisha masih terus menggerutu hingga tiba di kamar rawat Alfa. Bi Sumi pun heran melihatnya.
"Ada apa, Nyonya?" tanya ART senior tersebut.
"Tidak ada apa-apa," jawab Aisha sekenanya. Dia malah sibuk memasukkan buah ke dalam lemari es kemudian menata makanan di piring.
"Kita makan dulu ya, Bi!" ajak Aisha.
"Nanti saja di rumah, Nyonya. Sama-sama dengan pak supir," tolak Bi Sumi sopan.
"Kalau begitu ajak si bapak sekalian makan di sini. Biar saya punya teman makan," tukas Aisha. Bi Sumi hanya mengangguk. Dia merasa kasihan juga dengan nyonya majikannya yang terlihat makin kurus karena kurang makan. Mungkin dengan menemaninya akan membuat sang majikan berselera makan.
Bertiga mereka menikmati makan siang mewah di kamar Alfa. Mereka makan tanpa bercakap-cakap. Sementara Aisha sibuk mengunyah sambil pikirannya berkelana jauh entah kemana.
*****
Hari ketiga Alfa di rumah sakit, Aisha kembali masuk kantor. Selama dua hari dia melakukan pekerjaannya dari kamar rawat Alfa atau sesekali Tia datang membawa dokumen yang perlu ditandatangani.
Ketika Aisha tiba di lobi kantor, setiap pegawai yang ditemuinya menyapa seperti biasa. Bahkan hingga dia tiba di depan ruangannya, tak ada pembicaraan tentang insiden keracunan Alfa yang beredar dalam lingkup kantor. Tia melaksanakan amanatnya untuk merahasiakan insiden mengerikan itu.
Tiba di dalam ruang kerjanya, Aisha disambut oleh setumpuk pekerjaan yang perlu segera diselesaikan. Kepalanya langsung berdenyut. Dan seperti biasa Aisha meminta Tia membuatkan secangkir kopi.
Saat muncul dengan sebuah nampan dari pantry, Tia bertemu dengan Dikta yang baru saja keluar dari lift.
"Selamat pagi, Pak Dikta," sapa Tia dengan senyum sopan. Dikta hanya membalas dengan anggukan. Matanya tertuju pada cangkir kopi di atas nampan yang dipegang Tia.
"Oh, tunggu Pak," seru Tia saat Dikta akan masuk ke ruangannya. Tia menaruh nampan di atas meja kerjanya lalu meraih sebuah amplop dari dalam map.
"Ini titipan dari divisi HRD, Pak." Tia menyerahkan amplop kepada Dikta. Tanpa banyak tanya Dikta mengambil amplop tersebut dan membaca isinya. Semenit kemudian Dikta memasukkan kembali lembaran itu ke dalam amplop.
"Apa isinya, Pak?" Tia tidak bisa membendung rasa penasarannya.
"Surat mutasi," jawab Dikta datar.
"Hah? Pak Dikta dimutasi? Kemana?"
"Divisi keuangan," jawab Dikta kemudian berlalu masuk ke ruangannya.
Tia benar-benar terkejut. Bukankah pria itu asisten pribadi Aisha? Selama ini sang asisten pribadi yang selalu menangani berbagai persoalan rumit yang dihadapi oleh Aisha. Dan Tia juga tahu kalau Dikta adalah pengawal sang atasan. Apakah Dikta dipecat jadi pengawal? Bahkan pagi ini mereka tidak datang bersama.
Tia masuk ke ruangan Aisha dan meletakkan cangkir kopi di tempat biasa.
"Bu, pak Dikta dimutasi ya?" tanya Tia hati-hati.
"Iya," jawab Aisha sembari tetap menatap dokumen di depannya.
"Terus siapa yang jadi asisten Ibu?" tanya Tia lagi.
"Kan ada kamu," sahut Aisha memandang Tia kesal.
"Oh!" gumam Tia salah tingkah. Dia segera pamit kembali ke mejanya. Ketika sekretaris itu keluar dari ruangan Aisha, dia kembali bertemu Dikta yang sedang memeluk sebuah kotak perlengkapan.
"Pak Dikta pindah hari ini?" sergah Tia.
"Iya," jawab Dikta singkat. Pria itu menoleh ke pintu ruang kerja Aisha.
"Lantai ini makin sepi nantinya, Pak. Pak Dikta tidak pamit ke Ibu Aisha?" tukas Tia.
Dikta mengalihkan pandangannya ke kotak di tangannya lalu menjawab, "sudah."
"Sampai jumpa lagi, Pak. Sering-sering berkunjung ke sini." Tia membungkukkan badan kepada Dikta yang telah melangkah ke arah lift.
Aisha mendengarkan percakapan Dikta dan Tia dari dalam ruangannya. Kini dia hanya menatap tumpukan kertas di atas mejanya. Fokusnya sudah buyar. Sebisa mungkin dia menekan rasa sesak di dadanya.
'Ini adalah keputusan yang terbaik,' batin Aisha.
Bersambung ....
๐๐๐