Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 30 - Melepaskanmu

Chapter 30 - Melepaskanmu

*Super Junior - My Love, My Kiss, My Heart

Sehari terasa seperti setahun

Hatiku terus tenggelam karena hanya selalu

Menemukan jejakmu

Ketika aku memaksa menelan segigit makanan

Terasa seperti butiran pasir

Hari tanpamu sudah usai seperti saat ini.

***

Cintaku ... ciumanku ... hatiku

Akan ku pendam semua itu di hati terdalam

Satu cinta, satu ciuman untuk hatiku

Akan ku coba lupakan semua

Akan ku hapus semua

🌸🌸🌸

Dikta, aku hanya bisa mencintaimu dengan satu cinta. Aku tidak bisa memberikan lebih. Jika bagimu itu tak cukup, maka aku akan melepaskanmu.

Aisha masih menggenggam tangan Alfa. Menyalurkan kehangatan ke setiap jengkal pori-pori di tangan putranya yang terasa dingin. Matanya yang kuyu dan tubuhnya yang lelah tak bergeming dari tempat duduknya hanya untuk meyakinkan bahwa Alfa akan bangun dan baik-baik saja.

Dokter Adrian sudah dua kali datang memeriksa kondisi Alfa. Dokter tersebut menyatakan bahwa Alfa baik-baik saja. Racun dalam perutnya telah dibersihkan. Tubuhnya hanya lemah karena reaksi terhadap unsur asing yang masuk ke dalam tubuhnya sehingga bocah malang itu masih terbaring dengan mata terpejam.

Pakaian dan perlengkapannya pun telah dikirim dari kediamannga. Bahkan Bi Sumi berinisiatif membuatkan beberapa makanan yang mudah dicerna karena sang ART sangat paham jika majikannya tidak akan makan dengan baik karena rasa khawatirnya.

Namun sedikit pun makanan tersebut tak disentuh oleh Aisha. Kesedihan dan ketakutan telah mengusir rasa laparnya.

Dia hanya berharap Tuhan Yang Maha Penyayang menunjukkan rasa sayang-Nya kepadanya dengan memberikan kesembuhan kepada Alfa segera.

***

Dikta keluar dari kamar mandi. Melangkah ke ruang makan, dia mendapati Megan sedang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan seorang pria pria yang duduk membelakanginya.

Ketika Dikta kian dekat pria itu menoleh padanya.

"Eh, Jerry! Kapan datang?" tanya Dikta menepuk pundak Jerry. Pria tersebut langsung berdiri menyambut Dikta dan merangkulnya ala salam organisasi. Jerry adalah salah satu anggota organisasi mereka seangkatan dengan Dikta.

"Baru saja. Apa kabar Mr. Di?" balas Jerry. Dikta duduk di salah satu kursi di samping Megan berhadapan dengan Jerry.

"Kabar baiklah. Melihat dirimu ada di sini sekarang kayanya kamu masih sehat walafiat." Jerry terkekeh mendengar ucapan Dikta. Pria ini tak berubah. Suka blak-blakan dan irit senyum kaya sekarang, pikir Jerry.

"Megan telepon aku kabari kalau dia mau pindah rumah dan ada acara makan-makan. Dia juga bilang kalau kamu ada di sini jadi aku datang. Secara aku kangen sama kamu," tukas Jerry sambil senyum-senyum tak jelas.

"Ya Iyalah kamu datang karena makan gratis," timpal Megan. Mereka tertawa bersama.

"Omong-omong, kalian tinggal serumah ya? Kalian sudah jadian kan?" tanya Jerry.

"Maunya sih begitu tapi si abang tuh tidak kasi respon," jawab Megan.

"Maksudnya Dikta tidak mau sama kamu atau tidak mau serumah dengan kamu?" Jerry memicingkan mata ke arah Dikta. Yang ditatap hanya cuek sambil bersedekap di dada.

"Keduanya. Padahal aku cari rumah besar gini biar dia bisa tinggal di sini temani aku," imbuh Megan. Wajahnya dibuat cemberut. Jerry malah kian terkekeh.

"Kamu nih bro, cewek cantik dianggurin," ledek Jerry. Dikta tak menanggapi ucapan Jerry.

"Aku punya rumah sendiri," tukas Dikta. Dia berdiri dan membuka kulkas untuk mengambil minuman kaleng.

"Mau?" Dikta menyodorkan sekaleng soda kepada Jerry yang langsung disambut pria berpostur tinggi langsing dan berambut perak dengan potongan ala cowok Korea tersebut.

"Rumahmu besar juga, beb. Bos kamu baik hati banget beliin rumah mewah gini untuk kamu." Jerry mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang makan yang lumayan luas dan lengkap dengan segala perabotan dengan standar mewah bagi Megan.

Pernah hidup susah dan gelandangan di jalanan membuat Megan berusaha memuaskan dahaganya akan kemewahan dan melupakan kepahitan masa lalunya yang dibalut kemiskinan.

"Bos Ryo orangnya perhitungan maklum Jepang. Tetapi dia tidak suka kalau karyawannya tinggal di apartemen kumuh. Dia menyediakan apartemen khusus gratis untuk karyawan yang belum punya rumah sendiri tapi dengan balasan karyawannya harus kerja keras kasi profit besar untuk perusahaan. Untuk saya bos memang sudah janji akan membelikan rumah ini," pungkas Megan.

"Ckckckck ... Untuk level asisten pribadi kaya kamu, rumah mewah sih wah banget. Bos kamu royal dan perhatian juga." Jerry menggelengkan kepala takjub.

"Bosnya si abang tuh yang perhatian," kerling Megan ke arah Dikta yang sedang berdiri di depan pintu menuju balkon samping sambil menikmati sodanya.

"Wah, dengar-dengar bos kamu janda kaya nan cantik ya, bro?" goda Jerry dengan kekehan kecil. Dikta mendengus kesal mendengarnya.

Tiba-tiba Dikta teringat Aisha saat Jerry menyinggung tentang wanita itu. Segera dia mencari ponselnya. Megan menangkap gelagat Dikta yang sibuk mencari ponselnya di dalam saku.

"Bang, ponsel kamu ada di atas nakas di kamar aku," kata Megan kemudian.

"Oh!"

Dikta secepatnya ke kamar Megan. Dia baru ingat kalau tadi dia masuk kamar Megan untuk membantu memasang gorden di jendela.

Setelah menemukan ponselnya, Dikta memeriksa jika ada telepon atau pesan masuk. Dikta mengerutkan kening karena tidak ada pesan apalagi telepon dari Aisha.

Apakah dia baik-baik saja di rumah? Apakah Aisha atau Alfa tidak membutuhkan sesuatu? Ada rasa penasaran menggelitik hatinya namun dia hanya menduga bahwa Aisha tidak memerlukannya karena mereka hanya menghabiskan waktu di rumah. Biarpun ada yang diperlukan pastilah Aisha menghubunginya.

Dikta keluar dari kamar Megan masih mengutak-atik ponselnya dengan kening berkerut.

"Ada apa, Bang?" tanya Megan memandang wajah berkerut Dikta.

"Tidak ada apa-apa?" jawab Dikta memasukkan ponsel ke saku celana.

"Ada telepon dari nyonya majikan?" tanya Megan ingin tahu.

"Tidak ada. Kayanya mereka benar-benar hanya menghabiskan waktu di rumah," sahut Dikta.

"Kita makan siang saja Bang. Sudah siang nih," ajak Megan mengalihkan pembicaraan mengenai Aisha.

"Dimana?" tanya Jerry.

"Di tempat biasa saja ya, bang!" usul Megan.

"Dibayarin nih?" tanya Jerry dengan wajah penuh harap.

"Iya. Aku traktir," jawab Dikta. Megan dan Jerry bersorak bersamaan.

"Tunggu, aku ambil tas dulu." Megan berlari ke kamarnya. Tak lama gadis itu keluar dengan sebuah tas selempang model terkini.

Megan dan Dikta mengendarai mobil Megan sedangkan Jerry menyetir mobil pajeronya. Mereka tiba di sebuah restoran Itali langganan Megan. Dia pernah mengajak Dikta makan di tempat itu beberapa kali.

Dikta bukan pencinta makanan pasta atau makanan barat tetapi Dikta tidak pernah bisa menolak permintaan Megan.

Mereka mengambil tempat duduk di pojokan dekat jendela lebar yang menghadap ke taman samping restoran. Suasana restoran begitu nyaman dan tenang. Penataan ruang, meja kursi serta beberapa ornamen dengan warna-warna cozy menciptakan suasana hangat dan nyaman bagi pengunjung. Alunan musik romantis membelai rongga pendengaran mereka.

Megan memesan tiga porsi pasta dan minuman sesuai selera masing-masing. Sambil menunggu pesanan mereka tiba, Megan dan Jerry bercakap-cakap sambil bernostalgia kehidupan mereka di Singapura.

Dikta hanya diam dengan perasaan gelisah. Sesekali dia melirik layar ponselnya. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Megan pun menangkap kegelisahan Dikta lewat sudut matanya.

Makanan datang. Mereka menikmati hidangan tersebut dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka. Pikiran Dikta sedang berkelana ke rumah Aisha. Memikirkan apa yang sedang dilakukan oleh pasangan ibu dan anak itu. Apakah mereka sedang bosan atau malah bersenang-senang tanpa dia?

Sementara Megan sedang cemberut membayangkan hal-hal yang sedang dipikirkan oleh Dikta. Tanpa diberi tahu sekalipun dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan pria yang dicintainya sejak dulu tersebut.

Dikta segera menyudahi makannya, meneguk minumannya lalu mengelap mulutnya dengan serbet.

"Sudah selesai?" tanya Megan heran. Jerry pun sama herannya melihat Dikta begitu tidak sabaran menghabiskan makanannya.

"Kalian lanjutkan makan kalian. Aku mau telepon dulu," pinta Dikta seraya beranjak dari duduknya menuju ke luar restoran. Megan hanya mengangkat bahu ketika Jerry menatapnya penuh tanya.

Sesampianya di tempat agak lengang, Dikta menghubungi ponsel Aisha. Tetapi yang terdengar hanya suara operator provider.

"Tumben ponselnya tidak aktif," gumam Dikta. Dia mencoba sekali lagi tapi hasilnya sama.

Dikta berpikir sejenak. Menghubungi Bi Sumi adalah pilihan selanjutnya.

Dikta menghubungi kontak Bi Sumi dan harus bersabar saat asisten rumah tangga senior itu begitu lama menjawab panggilannya.

"Halo!" Suara Bi Sumi menyadarkan Dikta dari segala pikiran-pikirannya tentang Aisha dan Alfa.

"Bi, ini saya Dikta. Bibi dimana sekarang?" tanya Dikta.

"Saya di rumah Pak," jawab Bi Sumi.

"Bu Aisha dimana? Saya tidak bisa menghubungi ponselnya."

"Lho, Pak Dikta belum ketemu nyonya?" Terdengar nada terkejut dalam suara Bi Sumi.

"Memangnya Bu Aisha dimana?" Dikta mulai merasa cemas.

"Nyonya lagi di rumah sakit. Tuan Alfa dapat musibah. Tadi nyonya hubungi Bapak tapi tidak bisa katanya."

"Rumah sakit mana, Bi?" Dikta lebih terkejut lagi.

"Di rumah sakit swasta dekat perusahaan, Pak. Nyonya ...."

Bi Sumi belum selesai bicara, Dikta langsung mematikan sambungan telepon kemudian berlari ke dalam restoran.

"Megan kamu bayar saja dulu nanti aku ganti. Aku mau duluan," seru Dikta dengan wajah panik. Megan dan Jerry terkejut melihat Dikta datang dengan wajah cemas.

"Ada apa?" tanya Megan dan Jerry bersamaan.

"Alfa ada di rumah sakit sekarang dan aku tidak bisa menghubungi Aisha. Oh, aku pakai mobil kamu. Jerry antar Megan pulang dengan selamat." Dikta langsung melesat kembali ke luar restoran meninggalkan Megan dan Jerry yang masih melongo bingung.

Dikta segera memacu mobil Megan dengan kecepatan tinggi. Suasana jalanan yang sedikit lengang memudahkannya mencapai rumah sakit tempat Alfa dirawat dalam waktu singkat.

Dengan berlari kecil Dikta menghampiri loket informasi. Setelah mendapat informasi ruang rawat Alfa, Dikta naik lift ke lantai sepuluh. Tidak banyak kamar rawat di lantai ini karena merupakan lantai VIP. Menyusuri lorong sepi Dikta akhirnya tiba di depan kamar rawat Alfa.

Lewat kaca persegi pada pintu kamar, Dikta melihat ke dalam ruangan. Di sana dia melihat Aisha sedang berbicara dengan seorang dokter yang baru saja memeriksa kondisi bocah malang itu. Tak lama dokter dan perawat keluar menyisakan Aisha yang duduk di sebuah kursi di sebelah tempat tidur.

Dokter Adrian tersenyum kepada Dikta saat berpapasan di depan pintu. Setelah dokter itu menjauh, Dikta membuka pintu perlahan kemudian melangkah masuk. Dia mendekati tempat tidur Alfa dan matanya tertumbuk pada tubuh Alfa yang lemah dan pucat. Kondisi bocah itu terlihat menyedihkan. Matanya terpejam rapat. Hanya tarikan napasnya yang terdengar pelan dan teratur.

Tatapan Dikta beralih ke Aisha. Matanya langsung bersirobok dengan manik hitam Aisha yang berkilau oleh airmata. Wajahnya sembab dan pucat setelah menangis dalam waktu lama.

Sepersekian detik mereka berpandangan, Aisha langsung membuang muka dan kembali menatap wajah putranya.

Dikta merasakan sakit di ceruk dadanya menemukan tatapan terluka Aisha.

"Bagaimana keadaan Alfa?"

"Kata dokter dia keracunan," jawab Aisha dengan suara serak tanpa memandang Dikta.

"Maafkan saya. Saya sudah lalai," ucap Dikta dengan suara dingin dan bergetar.

"Ini bukan kesalahanmu," kilah Aisha tak kalah dingin.

"Ini tanggung jawabku. Saya seharusnya mengawal dan menjaga Ibu dan Alfa sehingga kejadian seperti ini tidak terjadi. Maafkan saya." Dikta menunduk penuh rasa penyesalan.

"Mulai sekarang bukan lagi tanggung jawabmu," kata Aisha. Dikta langsung mengangkat wajahnya menatap Aisha.

"Apa maksud Ibu?"

"Mulai saat ini saya membebastugaskan kamu dari kewajiban menjaga saya maupun Alfa," titah Aisha masih belum menatap Dikta. Dia takut jika menatap pria itu, Dikta akan menemukan kesedihan di wajahnya.

"Apakah Ibu memecat saya?" lirih Dikta dengan nada getir.

"Kamu hanya saya bebas-tugaskan dari job kamu sebagai bodyguard saya. Jadi kamu tidak perlu menjaga saya maupun Alfa dua puluh empat jam lagi. Untuk pekerjaan saya akan mengatur posisi kamu di perusahaan besok."

"Tapi kenapa?" tanya Dikta dengan napas sesak memukul rongga dadanya.

Aisha menatap Dikta. Matanya terlihat sayu dan muram. Ada pusaran kesedihan dan kesepian berputar dalam pekatnya bola mata itu.

"Tidak ada alasan apapun. Pulanglah. Tidak perlu berjaga di sini. Kami akan baik-baik saja." Aisha kembali mengalihkan tatapannya pada putranya. Mengelus buku-buku jari mungil dalam genggamannya. Sebisa mungkin dia menahan airmatanya di depan Dikta.

Dikta hanya mematung selama beberapa saat. Dia mencoba mencerna ucapan Aisha. Dia merasakan jika Aisha berusaha mendorongnya menjauh dari kehidupannya dan Alfa.

Tapi kenapa? Apakah Aisha marah karena kelalaiannya? Apakah dia benar-benar dipecat menjadi bodyguardnya?

Dikta merasakan kegamangan dalam hatinya seandainya Aisha benar-benar memintanya pergi dan menjauh. Apakah dia bisa?

Setelah suasana hening yang panjang di antara mereka, akhirnya Dikta melangkah ke arah pintu. Dia merasa tidak pantas lagi berada di tempat itu.

Ketika terdengar suara pintu tertutup, Aisha tidak bisa lagi menahan emosi yang bergejolak dalam hatinya sejak kedatangan Dikta. Airmatanya langsung luruh membasuh perasaannya yang telah patah. Sebuah isakan melompat keluar dari bibirnya.

Dikta masih berdiri di depan pintu memperhatikan Aisha melalui kaca pembatas pada pintu. Hatinya terkoyak melihat bahu lemah Aisha bergetar menahan tangis.

Dikta memegang dadanya. Nyeri. Hatinya juga telah patah.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Rasanya seolah-olah hanya seperti kenangan

yang seperti pecahan terjebak di dalamnya

Di dalam hatiku ... di dalam hatiku terdalam

Wajahmu yang menangis terus membayangiku

Berputar dan terus berputar

Kau yang mengambil semua milikku

***

Suara hatiku yang berbunyi

Terasa seperti kebohongan

Sakit ini juga seperti tulisan yang tersiram dan luntur

Kau dan aku menjadi buram dan terhapus

Dunia sama tapi saat aku melihat sekitar

Hanya kamu yang tak di sisiku

***

Aku kehilangan kamu

Aku kehilangan semua

Bahkan aku tak bisa memutar ulang waktu

***

*Song by KRY SJ*

Bersambung ....

🌸🌸🌸

Nb : Saya sertakan lagu trio KRY Super Junior untuk melengkapi perasaan Aisha dan Dikta. Mungkin terkesan lebay tapi saat mendengar lagu ini sehari sebelumnya tiba-tiba saya merasa kalau lagu ini cocok untuk part ini.

Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah bersedia membaca SekWal bahkan ada yang masih setia menunggu meskipun novel ini paling slow update ketimbang novel lain.

Sejak awal saya tidak menjanjikan akan up tiap hari atau sesering mungkin dengan alasan klise yaitu pekerjaan saya. Saya hanya berjanji bahwa saya akan menamatkan novel ini apapun yang terjadi. Ada situasi yang tidak bisa saya sampaikan karena itu pribadi. Tapi percayalah, saya mencintai novel ini, saya mendedikasikan segala kemampuan dan pikiran saya untuk menyusun kalimat-kalimat terbaik dalam novel ini. Saya tidak ingin merusak esensi cinta saya untuknya hanya karena tergesa-gesa ingin up lebih cepat atau doble up. Mohon maaf.

Terima kasih untuk power stone, penilaian dan komentar-komentar yang selalu mengingatkan saya bahwa ada yang mencintai novel ini selain saya.

I love U all and see you next chapter 😘