🌸🌸🌸
Tahun baru, awal baru, dan resolusi baru. Itu kata kebanyakan orang.
Banyak harapan baru akan kehidupan yang lebih baik, harapan yang semoga terkabulkan baik dalam pekerjaan, pendidikan, keluarga bahkan dalam hal percintaan.
Awal tahun menjadi momen untuk perencanaan target baru bagi para karyawan Pramana Corporation. Tiap divisi mulai melakukan berbagai pertemuan untuk membahas berbagai rencana pencapaian untuk kuartal pertama yang kemudian akan diajukan ke meja pimpinan. Pimpinan akan melakukan pertimbangan terkait draf ajuan tersebut, mendiskusikannya dengan berbagai pihak yang berkepentingan dan mengambil keputusan. Tentu saja dengan mempertimbangkan profit yang akan dicapai.
Aisha tentu saja tidak kalah sibuk. Libur selama seminggu cukup memberikan energi baru baginya. Fisik dan pikirannya kembali siap untuk bergulat dengan berbagai kesibukan. Fokusnya tetap terbagi antara masalah perusahaan, putranya dan menulis novel. Namun sebisa mungkin dia mengimbangi ketiganya tanpa mengabaikan salah satunya, terutama Alfa putranya.
Dan tanpa diduga, Ryo menawarkan untuk berinvestasi di Pramana Corporation. Tentu saja ini menjadi angin segar bagi perusahaan sehingga Aisha langsung menyambut baik tawaran Tuan Muda Fujita tersebut. Keberhasilan Pramana Corp meluncurkan iklan spektakuler untuk perusahaan HF bisa jadi menjadi alasan Ryo untuk menanamkan modalnya di Pramana Corp.
Tetapi masih saja ada segelintir suara sumbang yang menilai bahwa tawaran investasi Ryo adalah karena hubungan dekat pimpinan kedua perusahaan itu. Hubungan dalam arti pribadi antara Aisha dan Ryo.
Banyak yang menilai bahwa Ryo adalah salah satu pengusaha handal yang tidak sembarangan mempercayakan uangnya kepada seseorang atau suatu perusahaan untuk dikelola. Tetapi Ryo berani mengambil resiko menanamkan investasi pada Aisha yang notabene dianggap sebagai pebisnis pemula meskipun reputasi Pramana Corp tidak diragukan sewaktu masih dipegang oleh Alif. Sekali lagi orang-orang meragukan kemampuan Aisha.
Aisha mendengar berbagai cibiran itu seperti angin lalu. Seperti apa pun dia mengklarifikasi berbagai spekulasi miring tersebut, tetap takkan membuat pandangan orang lebih baik kepadanya. Pikiran mereka telah diracuni oleh berbagai dugaan-dugaan tak berdasar yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak suka dengan pencapaiannya saat ini.
Tapi, sudahlah. Aisha berusaha bermasa bodoh mendengar segala sindiran dan cibiran itu. Yang terpenting keluarganya tetap percaya padanya bahwa dia tidak melakukan hal-hal keji yang orang lain lemparkan padanya.
Aisha sudah kebal dengan semuanya. Hatinya mulai terbiasa untuk disakiti dengan bahasa tidak menyenangkan.
***
Ketika Aisha berangkat ke kantor pagi hari setelah masa cutinya, para pegawainya terkejut melihat perubahannya. Kecuali Dikta pastinya.
Dengan setelah kerja tertutup dan panjang serta kerudung sederhana membungkus kepalanya, Aisha tampil memukau dan elegan. Banyak yang berdecak kagum dan memuji penampilan barunya.
Tia bahkan terpekik histeris menyambut atasannya tersebut di depan lift.
"Ya Allah, Bu! Cantik sekali," seru Tia langsung berdiri dari kursinya dan mengekor Aisha ke ruangannya.
"Terima kasih, Tia. Kamu juga cantik mengenakan setelah itu," tunjuk Aisha pada setelan yang pernah dia berikan pada Tia dan sekarang sedang digunakan oleh gadis itu.
"Terima kasih, Bu." Tia tersipu mendapat pujian dari atasannya. Dia sangat bersyukur atas pemberian Aisha kepadanya.
"Buatkan kopi ya. Tanyakan juga Dikta apakah dia mau juga," pinta Aisha.
"Baik, Bu. Tadi ada beberapa berkas draft dari divisi perencanaan," lapor Tia.
"Bawa ke sini. Saya akan memeriksanya hari ini," tukas Aisha.
"Baik, Bu." Tia segera berlalu dan kembali lagi dengan beberapa bundel berkas. Kemudian dia meletakkan secangkir kopi pesanan Aisha.
Beberapa saat kemudian Aisha tenggelam dalam kesibukan membaca satu persatu draft rencana proyek dan pengajuan kerjasama selama satu kuartal ke depan. Dia hanya mengambil waktu istirahat untuk makan siang dan menunaikan shalat. Selebihnya dia fokus dalam pekerjaannya.
Beberapa hari kemudian Aisha mengadakan rapat awal tahun yang merupakan agenda rutin perusahaan untuk mendengarkan masukan dan ide-ide dari tiap divisi.
Ryo datang berkunjung ke Pramana Corp seminggu kemudian untuk membicarakan perihal investasinya. Dengan ditemani Megan tentunya. Hubungan mereka semakin baik. Ryo sering mengajak Aisha makan siang atau meninjau proyek-proyek potensial. Ryo bahkan tidak sungkan mengenalkan mitra kerjanya kepada Aisha. Wanita itu menyambut gembira bantuan yang diberikan oleh Ryo.
Di tengah cibiran orang tentang kedekatan mereka, hanya Aisha dan Ryo yang tahu tentang komitmen pertemanan mereka. Keduanya sepakat untuk tidak menggubris apa pun bahasa orang di luar sana. Asalkan mereka tidak melanggar kesepakatan mereka dan tidak bertindak melampaui batas.
Dan satu hal lain yang berbeda bagi Aisha. Dia jadi sering melihat kebersamaan Dikta dan Megan. Setiap kali Ryo bertemu Aisha tentu saja itu menjadi kesempatan Megan untuk bertemu Dikta.
Dikta tidak dibebani dengan banyak dokumen lagi oleh Aisha karena Aisha merasa sudah bisa menangani berbagai dokumen yang masuk. Dikta hanya ditugasan untuk menyelidiki dan mengawasi berbagai cabang yang bermasalah di periode tahun sebelumnya. Termasuk masalah penggelapan kas oleh Ferdy yang belum menemukan bukti cukup. Pria itu benar-benar seperti belut yang licik.
****
Akhir pekan pun dimanfaatkan Aisha untuk memanjakan putranya. Setelah beberapa pekan dia sibuk dengan pekerjaannya, akhirnya Aisha bersedia mengabulkan permintaan Alfa untuk berakhir pekan di luar rumah.
Aisha menemani Alfa bermain di game center di salah satu mall terbesar di kota M. Alfa sangat senang dan ingin mencoba semua jenis mesin permainan. Dikta ikut menemani seperti biasa. Kedua pria beda usia itu asik bermain sedangkan Aisha hanya menatap mereka dari deretan kursi pengunjung di luar arena bermain sambil menikmati minuman dingin.
Seakan tak merasa lelah, Alfa menjajal semua jenis permainan hingga puas dan Dikta juga meladeni keinginan bocah itu.
Nanti saat jam makan siang barulah Alfa mau berhenti. Itu pun setelah dibujuk oleh Aisha untuk menikmati es krim. Alfa bersorak gembira. Ketiganya melangkah menuju ke sebuah food court yang lumayan ramai. Mungkin karena akhir pekan. Kebanyakan pengunjung food court tersebut adalah keluarga yang sedang menghabiskan akhir pekan bersama.
Aisha, Alfa dan Dikta duduk di sebuh meja kosong dekat jendela yang mengarah langsung ke halaman mall. Ada empat kursi tersedia. Alfa duduk dekat Aisha dan berhadapan dengan Dikta. Aisha dan Dikta memesan beberapa menu untuk mereka sekaligus minuman kesukaan masing-masing.
Sambil menunggu pesanan, Alfa menceritakan keseruannya bermain di game center. Aisha dan Dikta hanya menanggapi dengan tawa melihat ekspresi lucu sang bocah.
"Bang Dikta!" Sebuah suara yang familiar menginterupsi percakapan ketiganya. Ketika Dikta dan Aisha menoleh ke arah suara, tampak Megan sedang mendekati meja mereka bertiga.
"Boleh duduk di sini?" tanya Megan menunjuk kursi kosong di samping Dikta.
"Duduk saja," kata Dikta. Aisha hanya diam. Dia ingin hari ini hanya menjadi hari untuk mereka bertiga tetapi tidak mungkin kan menyuruh Megan pergi. Apalagi Dikta yang mengizinkan gadis itu bergabung.
"Apa kabar Bu Aisha?" sapa Megan ramah.
"Baik," jawab Aisha singkat.
"Ini pasti Alfa, kan? Kamu benar-benar tampan," kata Megan sembari mengusap kepala Alfa.
"Dari mana Tante tahu namaku?" tanya Alfa memandang wajah Megan. Kemudian dia memandang wajah ibunya sebelum kembali menatap Megan lagi. Mungkin bocah itu membuat perbandingan antara ibunya dan gadis di samping paman Dikta-nya.
"Paman Dikta selalu bercerita tentang jagoan kecil tampan sama Tante. Ternyata benar kata paman Dikta." Megan tersenyum manis.
Pramusaji datang membawa pesanan Aisha dan Dikta. Megan ikut memesan makanan.
Akhirnya Alfa lebih dulu menikmati makanannya sementara Aisha dan Dikta menunggu pesanan Megan datang lalu mereka makan bersama.
"Tadi aku ke rumah Abang tapi sepi. Aku telepon juga tidak dijawab," ucap Megan memulai percakapan.
"Tadi aku menemani Alfa bermain. Mungkin karena berisik aku tidak dengar," jawab Dikta masih menekuni makanan di piringnya"Sabtu depan temani aku ya," ajak Megan.
"Kemana?" tanya Dikta.
"Aku mau pindah rumah, temani aku belanja beberapa perabot dan kebutuhan. Mau kan, Bang?" rayu Megan.
Dikta melirik Aisha yang hanya diam sambil menyuapi Alfa.
"Lihat nantilah," jawab Dikta sekenanya. Megan tersenyum senang. Sepanjang sisa waktu makan siang itu dihabiskan dengan obrolan antara Megan dan Dikta. Sedangkan Aisha memilih diam mendengarkan percakapan yang lebih banyak didominasi oleh Megan. Sesekali saja Alfa berceloteh lucu memancing tawa Megan dan senyum Dikta dan Aisha.
Setelah makan siang, Aisha memutuskan pulang. Dikta hanya ikut saja meski Megan menahannya dan meminta untuk menemaninya. Pria itu menolak dengan alasan mengawal pasangan ibu dan anak pulang. Megan dengan berat hati harus berpisah dengan Dikta.
Dalam perjalanan pulang, Aisha kembali memilih berdiam diri. Dikta merasa jengah dengan suasana hening di antara mereka. Tak ada obrolan apa pun. Alfa pun telah terlelap di pangkuan Aisha.
Sebenarnya Aisha merasa tidak nyaman karena mendiamkan Dikta. Dia heran pada dirinya sendiri karena merasa kesal ketika Megan dengan tidak tahu malunya mengganggu acara akhir pekan mereka. Dan Dikta dengan entengnya mengizinkan.
Tetapi jika dipikir lagi, hal yang wajar jika Megan bergabung karena tentu saja gadis itu berasumsi bahwa hubungannya dan Dikta hanya sebagai majikan dan bodyguard. Sedangkan Megan memiliki hubungan khusus dengan Dikta sejak lama.
Entah kepada siapa dia harus marah. Kepada Dikta, Megan atau kepada dirinya sendiri yang mulai cemburu pada Megan.
Cemburu? Hmm... mungkinkah dia benar-benar cemburu?
Kalau ini adalah cemburu, akankah itu berarti dia sedang jatuh cinta kepada sekretarisnya yang tampan dan berkarisma?
Aisha menelan ludahnya dengan susah payah. Mengurai perasaannya sendiri adalah hal tersulit untuk dilakukan.
Seandainya pun dia mencintai pria di sampingnya itu, tapi akankah Dikta merasakan hal yang sama dengannya?
Dia teringat dengan ucapan Dikta saat malam pesta tahun baru.
Dikta peduli pada Megan sebagaimana pria itu peduli padanya dan Alfa. Dan bagi Dikta Megan adalah adiknya. Maka apa artinya dia bagi Dikta? Setara dengan Megan? Tidak memiliki posisi khusus di hati pria itu kan?
Dikta memarkirkan mobil di garasi ketika mereka tiba. Dengan cekatan pria itu mengambil alih Alfa ke dalam gendongannya dan menempatkan sang bocah di kamarnya.
Setelah membaringkan dan menyelimuti Alfa di atas tempat tidurnya, Dikta bergabung dengan Aisha di ruang keluarga.
"Besok kamu ke kota S untuk mengonfirmasi laporan yang dikirim direktur cabang di sana." Aisha menyerahkan sebuah amplop cokelat.
"Bagaimana dengan Ibu?" tanya Dikta meraih amplop dan memeriksa isinya.
"Aku akan baik-baik saja. Aku akan bertemu klien besok membahas permintaan akomodasi skala besar yang kita butuhkan di pulau K," sahut Aisha.
"Dengan siapa Ibu akan bertemu klien itu? Haruskah saya siagakan bodyguard?" tanya Dikta.
"Tidak perlu. Aku pergi dengan Ryo," jawab Aisha. Dikta terdiam menunduk. Dia mencengkeram kuat amplop di tangannya.
"Ibu akan aman karena ada Megan yang akan menemani Ryo. Dia ahli bela diri dan mahir menggunakan senjata," cetus Dikta.
"Apakah kamu sungguh akan pergi dengan Megan Sabtu depan?" Aisha menatap Dikta yang sedang menekuni amplop di tangannya.
"Megan membutuhkan bantuanku. Dia tidak punya siapa-siapa di sini untuk dimintai bantuan," jawab Dikta. Aisha lagi yang terdiam.
"Boleh kan?" Dikta mengangkat wajahnya dan tatapannya bertemu dengan manik bening Aisha.
"Aku tidak punya hak melarangmu." Aisha berdiri. "Pulanglah istirahat dan persiapkan untuk keberangkatanmu besok."
Aisha berlalu masuk ke dalam kamarnya. Dikta kembali menunduk dalam pergumulan emosinya.
Setelah menutup pintu kamar di belakangnya, Aisha melangkah lesu ke kamar mandi. Membersihkan diri, berganti dengan pakaian rumah kemudian menunaikan shalat dzuhur.
Hatinya lelah, emosinya pun sering tak terkontrol. Masalah perusahaan begitu banyak. Tetapi bukan itu yang membuat hatinya gusar. Tapi pria itu.
***
Dua hari berlalu di kota S. Dikta telah menyelesaikan pertemuan dengan direktur cabang Pramana Corp di kota itu. Kini Dikta memiliki waktu untuk berkunjung ke rumah ibunya sebelum kembali ke kota M.
Betapa bahagianya Bu Marni mendapat kunjungan putranya yang sangat jarang pulang. Alhasil Bu Marni tidak rela jika Dikta sama sekali tidak menginap di rumah mereka meski hanya semalam. Dan Dikta tidak mampu menolak keinginan keras sang ibu. Bagaimana pun dia juga sangat merindukan ibu dan adiknya.
"Iya, Bu. Saya sudah bertemu dan berdiskusi dengan direktur cabang. Saya izin besok sore baru pulang ... iya Bu saya di rumah ibu ... nanti saya sampaikan pada ibu ... wa'alaikumussalam." Dikta menutup telepon.
"Nyonya Aisha?" tanya Bu Marni tiba-tiba masuk ke kamar Dikta sambil membawa selimut.
"Iya, Bu," jawab Dikta. "Dia titip salam untuk Ibu." Bu Marni tersenyum senang.
"Kenapa nyonya Aisha tidak datang ke sini?" tanya Bu Marni lagi dengan nada penasaran.
"Dia punya urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan," jawab Dikta kalem. Dia duduk di samping ibunya di pinggir ranjang.
"Ibu senang dengan nyonya Aisha. Orangnya baik hati, lembut dan menghargai orang tua," ucap Bu Marni dengan wajah berbinar. "Dia juga ayu lho," tambah Bu Marni.
"Sekarang dia sudah lebih cantik. Dia sudah berkerudung," timpal Dikta.
"Oh ya? Ibu pengen lihat penampilan barunya, Nak," ujar sang ibu dengan raut penuh harap.
"Tunggu ya." Dikta lalu menekan tombol ponselnya sesaat lalu mengarahkan ponsel ke hadapan ibunya. Bu Marni terperangah.
"Ini nyonya Aisha?" seru Bu Marni tertahan melihat gambar seorang wanita dalam gamis berwarna baby pink dan kerudung putih. Aisha sedang menggandeng Alfa dan tersenyum manis.
"Masyaallah makin cantik, Nak. Ini anaknya?" tunjuk Bu Marni pada layar ponsel. Dikta mengangguk dan tersenyum.
"Anaknya tampan dan menggemaskan. Omong-omong, kenapa foto nyonya ada di ponsel kamu?" Bu Marni langsung menatap putranya yang seketika salah tingkah.
"Itu-- Bu Aisha waktu itu minta difoto, Bu. Aku lupa hapus," lirih Dikta dengan senyum malu. Tanpa sadar dia mengusap leher belakangnya sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Terus kenapa wajah anak bujang Ibu memerah gitu?" goda sang ibu.
Dikta hanya berdehem untuk menetralkan rasa malunya karena ketahuan sang ibu telah salah tingkah.
"Kamu suka sama nyonya Aisha?" tanya Bu Marni tiba-tiba.
"Kenapa Ibu tanya begitu?"
"Tidak apa-apa. Nyonya Aisha itu majikan kamu, kita tidak sepantaran dengannya. Kamu harus bisa menempatkan dirimu, Nak. Keluarga mereka sangat baik pada kita. Kamu harus bekerja dengan baik untuk dia," nasehat Bu Marni.
"Tapi bagaimana Ibu bisa berpikir kalau aku suka sama bu Aisha?" tanya Dikta hati-hati. Dikta hampir tidak pernah terbuka tentang perasaannya pada orang lain. Namun pada ibunya dia tidak bisa menyembunyikan apa pun.
"Kamu mungkin bisa menyembunyikannya di depan orang lain tetapi tidak di depan Ibu. Ibu bisa melihat bagaimana cara kamu menatapnya, cara kamu menjaga dan melindunginya." Bu Marni mengusap lembut bahu putranya.
"Itu perasaanmu, hatimu. Kamu yang menyetirnya. Jangan mengekang perasaanmu, lakukan apa yang dikehendaki hatimu asalkan masih di jalan yang benar. Katakan perasaanmu kepadanya asalkan kamu benar-benar tulus dan serius. Dia itu wanita malang yang rapuh dan banyak diterpa cobaan. Jika kamu cinta dan sayang sama dia maka kamu wajib menjaga perasaannya agar tidak terluka lagi."
Dikta terdiam mendengar nasehat ibunya. Perasaannya bergolak dan bergumul akan suatu perasaan yang sulit dijabarkan.
"Emang Kak Dikta suka sama siapa?" tanya sebuah suara mengejutkan Dikta.
"Diksa! Sejak kapan kamu menguping?" Dikta melotot pada adiknya yang hanya cengar-cengir di depan pintu kamar.
"Kak Dikta lagi kasmaran ya? Makanya curhat sama ibu?" goda Diksa sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Diksaa!! Sini kamu. Dasar tukang nguping!" Dikta menghampiri adiknya yang langsung kabur keluar kamar. Dikta mengejar adiknya yang terus meledeknya. Bu Marni hanya menggelang-gelengkan kepala melihat tingkah kedua buah hatinya.
"Sini kamu gadis nakal, sudah waktunya kamu dikasi pelajaran lagi!" ancam Dikta. Diksa terbahak dan menghindari kakaknya ke ruang tamu.
Ketika Dikta mengejar adiknya ke ruang tamu dia terkejut mendapati ada orang lain di sana. Seorang pemuda yang terlihat tidak asing baginya. Sejenak Dikta terpaku sambil menatap pemuda yang duduk di dekat Diksa.
"Kak Dikta, apa kabar? Ingat saya kan? Arif." Pemuda itu berdiri dan menyalami Dikta. Pria itu terkejut ketika menyadari kalau pemuda di depannya adalah adik Aisha. Jantungnya langsung berdebar.
Jangan-jangan Arif mendengar olok-olokan Diksa padanya tadi. Wajah Dikta langsung bersemu merah namun berusaha ditutupi dengan raut datarnya.
Semoga Arif tidak dengar omongan Diksa tadi.
Bersambung ....
🌸🌸🌸