Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 22 - Papa Bohongan?

Chapter 22 - Papa Bohongan?

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

Bolehkah aku tersenyum bahagia hari ini?

Aisha memandang jauh ke arah punggung Dikta dan Alfa yang sedang berjuang mengejar ketertinggalan dalam lomba.

Peserta lain telah sampai di titik berputar saat Dikta dan Alfa baru memulai langkah kaki mereka. Alhasil mereka tertinggal cukup jauh. Tetapi bagi Aisha kemenangan bukan hal penting. Melihat Alfa begitu bersemangat dan tersenyum cerah adalah hal penting. Putranya pantas untuk tertawa bahagia, itu yang terpenting.

Ketika keduanya melewati titik berputar dan kembali melaju ke titik finish yang tadinya adalah garis start, Alfa dan Dikta secara bersamaan melambaikan tangan kepada Aisha. Secara otomatis lengan Aisha juga terangkat ke udara dan melambai ke arah dua pria yang sedang berjuang di arena.

Peserta lain telah menyelesaikan lomba sedangkan Alfa dan Dikta masih berjuang menggapai garis finish di belakang. Gemuruh sorakan terdengar memberi semangat kepada Alfa. Bocah mungil itu semakin semangat mengayunkan langkahnya mengimbangi langkah tungkai besar Dikta. Meski terengah dan lelah kepayahan, namun mata Alfa berbinar oleh semangat dan tekad.

Ketika keduanya tiba di garis finish sebagai juru kunci lomba, tepuk tangan tetap membahana memberi penghargaan atas usaha Alfa menyelesaikan lomba. Atas usahanya tersebut, Alfa mendapat medali sebagai peserta terantusias tahun ini.

Alfa tersenyum lebar tatkala Dikta membimbing tangannya mendekati Aisha yang menunggu mereka di pinggir lapangan.

"Anak Mama hebat!" puji Aisha sambil mengulurkan dua jempolnya pada Alfa. "Tidak apa-apa kan Alfa tidak menang."

"Tidak apa-apa, Ma. Alfa senang paman datang temani Alfa," jawab Alfa dengan mimik dibuat dewasa. Aisha berjongkok kemudian mengecup kedua pipi putranya. Ya Allah, keinginannya sederhana sekali. Kehadiran paman Dikta cukup membuat semua kesedihan terhapus dari wajah imutnya.

"Ayo ke tempat lomba berikutnya!" ajak Dikta sembari mengusap kepala Alfa.

"Ayo! Kita harus menang Paman?" seru Alfa kembali bersemangat.

"Tentu saja. Kali ini Paman tidak akan membiarkan jagoan Paman kalah," seru Dikta kian membakar semangat Alfa. Keduanya lebih dahulu melangkah ke sisi lain lapangan. Sementara Aisha mengikuti mereka dengan santai, terkagum-kagum memandang betapa seksinya punggung Dikta yang basah kuyup oleh keringat di bawah baju kaos polo yang melekat ketat di tubuhnya.

Bukan pertama kalinya Aisha memandang tubuh tegap nan gagah sang sekretaris. Sebelumnya, ketika mereka berakhir pekan di taman hiburan dia sempat mengintip tubuh seksi tersebut. Seketika pipi Aisha merona. Dia mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena telah menjadi seorang yang begitu cabul.

Mereka tiba di sisi lapangan yang dituju. Lomba berikutnya adalah lempar bola pasangan. Sehingga tempat tersebut telah disulap menjadi sebuah arena lempar bola basket dimana ada lima tiang yang menopang masing-masing keranjang basket mini.

Mereka kembali mendaftarkan diri sebagai pasangan untuk lomba tersebut.

"Ini papa Alfa?" tanya wanita yang duduk di belakang meja pendaftaran. Aisha mengenalnya sebagai salah satu guru seni di kelas Alfa.

"Ini paman Dikta jadi papanya Alfa hari ini," jawab Alfa cengengesan.

"Papa bohongan?" beo guru wanita tersebut. Semua guru di sekolah Alfa sudah tahu kalau Alfa sudah tidak punya ayah kandung. Berita kematian Alif begitu menggemparkan saat itu.

Dalam sekejap guru wanita itu menyapukan pandangannya memindai wajah dan penampilan Dikta sesaat. Guru wanita tersebut terpaku pada postur tubuh Dikta yang menggiurkan tanpa bisa menutupi binar kekaguman di matanya.

Aisha menangkap rona merah mewarnai wajah sang guru wanita yang tersipu di depan Dikta. Rasa jengkel merayapi hatinya. Sebelum bola mata sang guru keluar dari kelopaknya karena memelototi wajah Dikta penuh nafsu, Aisha bertindak cepat.

"Maaf, Bu. Nomor lombanya mana?" Suara Aisha yang terselip sedikit bentakan menyadarkan sang guru.

"Oh, ma- maaf. I- ini nomor punggungnya," kata sang guru terbata. Rona tersipu berubah menjadi rona malu karena kedapatan memeloti papa bohongan siswanya secara terang-terangan.

Aisha meraih nomor lomba yang dijulurkan sang guru. Dia kemudian menuntun Alfa menuju pinggir arena lomba. Dikta hanya tersenyum memandangi wajah cemberut Aisha.

"Ayo cepat. Sini punggungnya ditempeli nomor peserta," ujar Aisha.

Dikta berbalik membelakangi Aisha dan wanita itu melepas kertas pelapis stiker nomor lomba dan menempelkan di punggung lebar Dikta. Dengan telaten Aisha mengusap permukaan stiker bertuliskan nomor tiga, angka kesukaannya, agar kertas tersebut menempel erat di sana. Alfa memperhatikan apa yang dilakukan ibunya.

Lomba lempar bola akan dilaksanakan tiga putaran. Tiap putaran akan diikuti oleh lima pasangan ayah dan anak yang akan akan bekerja sama memasukkan dua puluh bola basket ke dalam ring basket. Pasangan yang menyelesaikan lebih cepat dengan jumlah bola terbanyak akan menjadi pemenang putaran. Dan akan berlaga lagi di putaran akhir.

Alfa dan Dikta akan mengambil putaran pertama bersama lima pasangan lainnya. Empat pasangan lainnya adalah bapak-bapak dengan perut buncit yang tampak kesusahan menggendong putra mereka di atas bahu. Alfa juga telah bersiap di atas bahu kekar Dikta.

Bukan hal sulit bagi Dikta melakukan lomba ini. Dia punya tubuh bugar yang telah dilatih dengan berbagai latihan fisik. Sehingga menggendong Alfa dipundaknya hanya terasa seperti menggendong bantal tidur bocah itu. Selain itu, Dikta juga pernah menjadi salah satu pemain dalam tim basket sekolah saat masih mengenakan seragam putih abu-abu. Jadi dia yakin akan memenangkan lomba ini dengan mudah.

Para pasangan berdiri sejauh kira-kira tiga meter dari tiang ring basket. Mereka telah bersiap dengan anak duduk di pundak dengan kaki terjulur ke depan serta setumpuk bola dalam keranjang tinggi di samping kanan. Suara pemandu lomba terdengar memberikan aba-aba untuk bersiap. Ketika peluit ditiup dengan nyaring, Alfa segera meraih satu bola basket mini di keranjang di sebelah kanannya, menyerahkan kepada Dikta dan dengan sigap pria itu melemparkan ke dalam ring.

Semua pasangan peserta berusaha memasukkan sebanyak-banyaknya bola ke dalam ring. Sorak sorai penonton di pinggir lapangan tak bisa dielakkan. Yang paling keras adalah sorakan ibu-ibu yang mendukung suami dan anak-anak mereka.

"Ayo Alfa!" teriak Aisha menyemangati putranya. Sangat tidak mungkin baginya untuk meneriakkan nama sekretarisnya. Apa yang harus disebutkan? 'Ayo paman Dikta'? Atau 'Ayo papa bohongan Alfa'? Aisha bergidik membayangkan imajinasi liarnya.

"Ayo papa nomor 3!"

"Semangat hot papa nomor 3!"

Tiba-tiba terdengar pekikan dari arah kiri lapangan. Aisha menoleh dan mendapati sekumpulan gadis-gadis sedang menyoraki Dikta. Aisha melotot tidak senang ke arah para gadis yang terlihat begitu histeris di ujung sana. Para gadis pun balas melotot sewot padanya.

"Issshh dasar! Tidak bisa lihat cowok bening dikit saja," gerutu Aisha.

Alfa fokus mengoper bola pada Dikta dan sang papa bohongan juga fokus melempar bola ke ring. Bahkan Dikta dengan santai melempar bola dengan satu tangan sedangkan tangan satunya memegang kaki Alfa agar tidak jatuh dari pundaknya. Melihat aksi Dikta tersebut kontan para gadis-gadis kian menjerit histeris.

Kini Aisha mendelik kesal pada Dikta. Sepertinya pria itu sengaja melakukan aksi itu untuk menarik perhatian para gadis lapar di pinggir lapangan itu.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja, Alfa dan Dikta menyelesaikan lemparan bola. Dari dua puluh bola yang ada, hanya satu bola yang meleset dari ring. Sedangkan pasangan ayah dan anak lainnya hanya bisa memasukkan beberapa bola. Dan pasangan Alfa dan Dikta menjadi pemenang putaran tersebut.

Alfa dan Dikta menghampiri Aisha yang duduk di salah satu kursi yang tersedia di pinggir lapangan.

"Mamaaaa ... kami hebat kan?" seru Alfa dengan jumawa.

"Tentu dong. Anak Mama pasti hebat," balas Aisha. Dia mengecup pipi putranya.

"Paman juga hebat, Ma," tambah Alfa.

"I- iya. Paman jago banget lempar bolanya," tukas Aisha malu-malu. Memuji Dikta di depannya adalah hal yang hampir tidak pernah dilakukannya. Rasanya canggung melakukannya sekarang.

Aisha menyeret putranya duduk di sebuah kursi dan mengulurkan sebotol air kepadanya. Alfa meminum seteguk. Dan tanpa sungkan Dikta meraih botol dalam genggaman Alfa kemudian ikut meneguk isinya. Aisha berdebar melihat pemandangan intim antara putranya dan Dikta. Mereka seperti ...

Aisha menggelengkan kepala menepis hayalan tingkat tingginya.

Suara tawa keras terdengar dari barisan gadis-gadis yang sebelumnya menyoraki Dikta. Aisha menggeram dalam hati. Secara impulsif tangannya yang sedang menyeka handuk di wajah dan leher Alfa yang berkeringat berpindah menyeka keringat di kening Dikta. Sekilas Aisha melirik lewat ekor matanya ke arah gadis-gadis yang langsung melongo melihat aksinya. Barisan gadis-gadis itu menatap iri pada Aisha yang punya kesempatan berdekatan dan menyentuh sang hot papa, yang sebenarnya papa bohongan. Aisha tersenyum puas penuh kemenangan. Sementara Dikta hanya melirik diam-diam ke arah Aisha dan membiarkan wanita itu memuaskan rasa cemburunya. Dia berharap Aisha benar-benar cemburu karenanya.

Sorak sorai kembali terdengar saat lomba dilanjutkann pada dua putaran selanjutnya. Tetapi Aisha tidak peduli dengan kebisingan di sekitar mereka. Dia sibuk melayani dua prianya yang menikmati cemilan buah yang telah disiapkan. Mereka belum bisa makan siang karena masih ada satu putaran terakhir yang harus diikuti Alfa dan Dikta.

Ketika dua putaran lomba selesai, mereka punya waktu sepuluh menit untuk bersiap sebelum babak terakhir.

"Nah, nanti Alfa harus cepat oper bolanya ke paman ya. Alfa dan paman harus menang lagi," ucap Aisha memberi motivasi pada putranya.

"Jangan khawatir, Ma. Serahkan semua pada Alfa dan paman," tukas Alfa dengan dada membusung serius. Aisha dan Dikta tertawa bersamaan.

Kini keduanya sedang bersiap di samping keranjang bola. Dua pasangan lainnya di kiri kanan mereka adalah pasangan hot papa lainnya. Keduanya tampak masih muda dan sepertinya umur mereka tidak jauh berbeda dengan Dikta atau mungkin hanya lebih tua sedikit. Jadilah lapangan semakin heboh demi mendukung tiga hot papa yang akan berlaga memperebutkan posisi pertama untuk putra masing-masing.

Alfa menyapa dua anak yang ikut dalam putaran terakhir tersebut. Keduanya adalah teman sekelasnya.

"Papa Alfa cakep. Tapi pasti papa bo'ongan," cibir anak di sebelah kanan Alfa. Alfa cemberut mendengar cibiran temannya.

"Emang kenapa ka- kalau papa bohongan?" sanggah Alfa.

"Kan Alfa tidak punya papa," cetus anak itu lagi. Dikta yang mendengar ucapan teman Alfa itu langsung mengusap kepala sang bocah demi menenangkannya. Alfa mendongak menatap Dikta dengan wajah sendu. Tatapan menenangkan sang papa bohongan membuat bocah itu kembali tersenyum.

"Biar papa bohongan tapi- tapi papa aku jago. Nanti ja- jangan nangis kalau kalah ya," sergap Alfa kemudian. Kini balik si teman Alfa yang cemberut.

Dikta mengacungkan jempol pada Alfa. Dia tidak ingin Alfa diintimidasi oleh anak-anak lainnya. Alfa harus kuat meski tak punya figur ayah kandung yang akan melindunginya. Ada dia yang akan melakukannya.

Pemandu lomba menyuruh tiga pasang peserta bersiap. Alfa sudah bertengger nyaman di pundak Dikta. Begitu pula dua bocah lainnya. Ketika pemandu lomba meniup peluit, ketiga pasangan ayah dan anak langsung melempar bola ke keranjang.

Kali ini sorak sorai kian ramai karena ada tiga hot papa yang beraksi. Deretan para gadis pemandu sorak dadakan bingung hendak mendukung yang mana. Akhirnya mereka memutuskan mendukung ketiganya dengan meneriakkan nomor punggung ketiga hot papa secara bergantian.

Dibanding dengan putaran pertama, kali ini Dikta tidak kesulitan dalam melempar bola basket mini tersebut. Hanya beberapa menit saja, Alfa dan Dikta menyelesaikan lemparan. Ketiga hot papa selesai bersamaan hanya saja Dikta tidak membiarkan satu pun bola yang meleset dari ring sedangkan lawan mereka harus kecewa karena beberapa lemparan yang meleset.

Alfa bersorak di atas pundak Dikta. Pria itu menggenggam kedua tangan Alfa dan mengangkat tinggi di atas kepalanya sebagai tanda kemenangan. Tepuk tangan meriah berderai mengiringi kemenangan pasangan itu. Dengan masih menggendong Alfa, Dikta berlari ke arah Aisha yang menunggu mereka di pinggir lapangan.

Tatkala sampai di depan wanita itu, Dikta menurunkan Alfa dalam gendongannya sehingga bocah tersebut bisa menggapai wajah ibunya dan menanamkan dua ciuman di pipi kanan dan kirinya. Aisha tersenyum lebar.

Dan Aisha tak bisa mengelak ketika satu kecupan ringan menghampiri keningnya. Dikta mengecup kening Aisha ringan dan cepat. Aisha langsung ternganga dan terpaku di tempatnya. Dikta dan Alfa terkekeh bersama melihat ekspresi terkejut Aisha. Sementara barisan gadis pemandu sorak dadakan hanya bisa menggigit jari dengan tatapan iri hingga hampir pingsan ke arah Aisha.

Lomba untuk tingkat PAUD selesai sebelum makan siang. Kepala sekolah langsung memberikan apresiasi kepada seluruh pemenang lomba dari tingkat PAUD. Alfa naik ke atas podium dan menerima dua penghargaan juara pertama untuk lomba merangkai lego dan lempar bola serta juara dua untuk lomba lari dengan bola. Para ayah dipersilahkan mendampingi putra masing-masing. Dan Dikta dengan gagah berdiri di samping Alfa sebagai papa, meski hanya papa bohongan.

Alfa tersenyum sangat bahagia. Aisha tak luput mengabadikan semua momen-momen putranya dalam kegiatan tersebut. Bahkan visual Alfa dan Dikta memegang medali juara begitu apik dan serasi sehingga banyak yang tidak menyadari jika keduanya bukanlah pasangan ayah dan anak sesungguhnya.

Aisha menitikkan airmata haru melihat rona bahagia di wajah putranya. Dia tidak bisa menolak saat Alfa meminta mereka bertiga berfoto bersama. Dikta menggendong Alfa yang memperlihatkan medalinya dengan tangan kanannya. Aisha berdiri merapat di sisi kanan Alfa dan Dikta. Dengan tangan kirinya, Dikta mengambil swafoto mereka bertiga dengan kamera ponselnya. Ketiganya tersenyum cerah.

Sebuah momen yang tidak akan pernah dilupakan oleh Alfa, Aisha, bahkan Dikta sekali pun. Momen yang akan merubah kehidupan ketiganya.

Putaran takdir membelit Aisha dengan kegetiran dan kesedihan. Namun entah apa yang akan terjadi dengan putaran takdir berikutnya. Aisha hanya mencoba menjalaninya dengan semua ketegaran dan keteguhannya. Akan ada saatnya dia akan kembali mengecap kebahagiaan bersama putranya.

Bersambung ....

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Nb : Mohon maaf yang sebesar-besarnya ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™ atas kesalahan teknis sebelumnya. Author sedang mencopas cerita dari file drive dan sudah mengatur waktu terbitnya. Tetapi karena author diserang demam dan sakit kepala hebat sudah selama tiga hari jadinya naskahnya ditinggal tidur dan belum selesai copas. Nanti tadi cek akun WN dan ketemu komen teman2 baru ingat. Ya Allah, maafkan author ๐Ÿ˜ฅ.

Dan mungkin akhir pekan baru bisa update lagi untuk novel BWW dan SekWal, ini dikarenakan kondisi body dan kepala belum fit dan didera oleh beberapa laporan yang harus diselesaikan.

Dan maaf chapter ini author publish sampai 3x karena author juga bingung dimana letak errornya. Harap maklum.

Terima kasih sudah sabar menunggu author yang supet lelet up-nya ini.

I love you all ๐Ÿ˜˜