Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 21 - Gelisah

Chapter 21 - Gelisah

Jangan lupa batu kuasanya untuk Dikta ๐Ÿ˜‰

Happy reading!

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Di tempat berbeda, di sebuah kafe yang sedang ramai di akhir pekan. Dikta duduk gelisah sambil sesekali melirik jam tangannya.

Jam tujuh pagi Megan sudah mengetuk pintunya untuk mengajaknya pergi. Dikta menolak dengan alasan dia punya urusan hari ini.

"Aduh, Bang. Gimana dong. Aku sudah terlanjur buat janji sama senior Gion. Dia senang sekali waktu aku cerita kalau aku ketemu Abang di sini. Kebetulan dia ada job di sini dan dia juga pengen ketemu Abang," tukas Megan.

"Kenapa kamu tidak tanya aku dulu sih, Dek?" tanya Dikta.

"Aku kelewat senang ketemu senior makanya aku iyakan saja waktu dia suruh ajak Abang. Yuk Bang kita ke sana ya. Sebentar aja," bujuk Megan dengan nada memohon. Dikta menghela napas. Paling susah mengatakan tidak pada gadis ini. Megan sangat suka memaksakan kemauannya. Mungkin karena kedekatan mereka di masa lalu membuat Megan tidak segan kepada Dikta. Dan hanya pria itu yang dipercaya oleh Megan.

Akhirnya mereka meluncur ke sebuah kafe di tengah kota tempat Megan dan Gion membuat janji temu. Gion yang merupakan salah senior mereka di organisasi begitu senang bertemu Dikta. Mereka tidak bertemu selama Dikta direkrut oleh Alif Pramana.

Meraka bercerita pengalaman mereka satu sama lain sambil menikmati kopi dan menu sarapan.

"Betah juga kamu kerja sama majikan kamu, Dikta," kata Gion sambil menyeruput kopinya.

"Mereka keluarga yang baik. Gaji saya lumayan besar dengan bonus yang besar juga," ujar Dikta.

"Pantas betah. Tidak niat pindah kerja atau cari majikan baru?" tanya Gion menggoda juniornya tersebut.

"Saya belum bisa pindah kemana-mana sekarang karena perusahaan masih membutuhkan saya. Tuan Alif baru saja meninggal beberapa bulan lalu," jawab Dikta.

"Oh, saya turut berbela sungkawa. Meninggal kenapa?" tanya Gion dengan ekspresi serius.

"Kecelakaan, Bang. Tapi kecelakaan tidak wajar dan diatur oleh seseorang. Orang dalam di kepolisian kota S masih terus menyelidiki sampai sekarang. Dan saya pun masih punya beberapa tanggung jawab yang dibebankan oleh tuan Alif," tukas Dikta. Dia menyeruput kopi di cangkirnya.

"Termasuk menjaga janda majikannya, Bang," seloroh Megan dengan senyum dibuat lucu. Dikta melotot ke arahnya.

"Ada apa dengan janda tuan Alif?" Gion mengerutkan keningnya.

"Abang tidak lihat saja. Masih muda dan cantik, Bang. Sudah ada anaknya satu tapi masih kinclong," sarkas Megan. Dikta semakin menatap tajam ke arah Megan yang diabaikan oleh gadis tersebut.

"Oh ya? Setahu saya bos Pramana Corporation sudah berumur. Tak disangka jandanya masih muda. Wah, kamu menjaga sebuah permata yang sudah digosok mengkilap nih Dikta," kekeh Gion mengetuk-ketuk meja dengan buku jarinya. Dikta hanya tersenyum kecut menanggapi ocehan seniornya. Megan selalu tak dapat mengendalikan mulutnya. Bisa dipastikan Gion akan menyebarkan cerita ini di organisasi mengingat kebiasaan seniornya yang seperti ibu-ibu penggosip.

Untunglah pembicaraan tidak menyenangkan bagi Dikta itu segera berakhir karena Gion harus segera ke bandara untuk penerbangan ke Singapura. Megan sekali lagi menawarkan akan mengantar Gion tetapi ditolak oleh pria itu. Gion segera pamit dan mereka saling berpelukan ala salam organisasi.

Setelah Gion pergi Dikta kembali melirik jam tangannya. Hampir pukul sembilan yang artinya Aisha dan Alfa pasti sudah berangkat ke lokasi lomba. Tadi pagi dia tidak menghubungi Aisha karena Megan begitu tergesa-gesa hendak pergi. Dan dia memutuskan akan berangkat ke lokasi lomba setelah bertemu Gion.

Dikta meraih ponselnya dari saku hendak menghubungi Aisha. Tapi sayangnya ponsel tersebut mati karena dia lupa mengisi daya baterainya. Dikta jadi semakin gelisah karena Aisha pasti juga gelisah karena tidak bisa menghubunginya.

"Ada apa sih, Bang? Gelisah amat dari tadi," tanya Megan yang membaca gelagat Dikta.

"Ponsel aku mati. Alfa pasti panik mencari aku," jawab Dikta.

"Alfa?" Megan mengernyit.

"Anaknya Ibu Aisha. Hari ini dia ada lomba di sekolahnya. Aku sudah janji mau temani dia," sahut Dikta dia beranjak berdiri dari duduknya.

"Kan ada emaknya," cetus Megan heran dengan kegelisahan Dikta.

"Ini lomba ayah-anak. Aku sudah janji sama Alfa mau temani dia ikut lomba," tukas Dikta. "Kamu bisa pulang sendiri kan?" Megan langsung cemberut.

Lomba ayah-anak? Apa-apaan ini? Apakah Dikta memposisikan dirinya sebagai ayah Alfa. Seketika perasaannya tidak senang melihat kepedulian Dikta pada keluarga majikannya yang nota bene adalah seorang janda muda. Kaya raya dan cantik lagi.

Dia masih ingat bagaimana kepedulian Dikta pada majikan perempuannya waktu mereka makan siang setelah pertemuan kerja sama beberapa hari lalu. Dikta selalu begitu. Peduli pada orang lain. Dan mungkin saja majikan jandanya memanfaatkan kebaikan Dikta dan menyeret pria di depannya untuk menjadi ayah pura-pura untuk putranya. Megan mendengus dalam hati.

"Bang, temani sebentar ke butik di sebelah. Mau ambil pesanan aku di sana," ujar Megan tiba-tiba.

"Tapi aku buru-buru," kata Dikta gusar.

"Tidak lama, Bang," rajuk Megan. Dia langsung berdiri dan menyeret lengan Dikta keluar dari kafe menuju salah satu butik yang berjarak hanya beberapa meter dari kafe. Megan berjalan sambil menggandeng erat di lengan Dikta.

"Tidak lama, kan?" kesal Dikta. Megan hanya tersenyum misterius. Mereka berjalan berdampingan sepanjang trotoar. Beberapa wanita memperhatikan mereka. Lebih tepatnya mengagumi Dikta dengan wajah tampan dan tubuh tinggi proporsional dalam penampilan kasualnya.

Megan berbunga-bunga karena berjalan berdampingan dengan pria yang sejak dulu dikaguminya. Posturnya juga tinggi dan bisa mengimbangi tinggi badan Dikta yang tampak seperti bodyguard keren di film. Boleh dikatakan mereka tampak begitu serasi dengan outfit yang mereka gunakan juga serasi.

Mereka masuk ke sebuah butik yang memajang pakaian kerja wanita. Seorang wanita usia empat puluhan menyambut mereka.

"Hai, Megan! Apa kabar?" sapa sang wanita berambut dipangkas pendek rapi. Dia mengenakan blazer mahal dengan rok pencil hingga lutut berwarna biru gelap juga sepatu hitam setinggi lima centimeter. Sepasang anting-anting perak berbentuk rumbai tersemat di kedua cuping telinganya melengkapi penampilannya.

"Kabar baik, Sofie," jawab Megan. Mereka berpelukan dan mencium pipi kiri dan kanan.

"Siapa? Pacar kamu ya?" kerling wanita bernama Sofie tersebut. Matanya menatap Dikta dengan binar kagum. Sementara Dikta hanya bersikap cuek berdiri di belakang Megan. Tak berniat beramah-tamah dengn Sofie.

"Mau tahu saja," jawab Megan dengan senyum semringah seolah mengiyakan tebakan Sofie.

"Gimana pesanan aku? Sudah jadi?" tanya Megan kemudian.

"Tentu saja, cantik. Mau lihat sekarang?" Megan mengangguk. "Ayo!" ajak Sofie. Dia mendahului berjalan ke sebuah ruangan tertutup.

Megan memberi kode dengan jari kepada Dikta bahwa dia akan mengikuti Sofie. Dikta memandang dengan isyarat 'jangan lama' sambil mengerutkan pangkal hidungnya dengan gelisah. Dikta lalu memilih duduk di salah satu sofa yang tersedia di salah satu sudut.

Dikta berkali-kali melirik jam tangannya. Dia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengamati keseluruhan butik tersebut. Hari belum beranjak terlalu siang sehingga pengunjung butik belum terlalu ramai. Hanya beberapa perempuan seusia Aisha yang tampak mondar-mandir ditemani pramuniaga. Dikta tiba-tiba teringat Aisha.

Dia membayangkan bagaimana gelisahnya wanita itu. Sialnya dia tidak bisa menggunakan ponselnya. Pasti perempuan itu sedang kesal dan marah. Dan Alfa pasti juga merajuk atau menangis karena tidak bisa mengikuti lomba. Rasa bersalah menyusup ke dalam ceruk hatinya.

Seandainya tadi dia berkeras tidak ikut Megan ke tempat ini. Seandainya tadi dia tidak lemah terhadap rengekan Megan. Tetapi dia tidak tega pada Megan. Gadis itu menganggap hanya dia satu-satunya keluarganya. Dan dia sudah berjanji akan tetap menjadi keluarga yang akan peduli padanya.

Terdengar tawa Megan dan Sofie dari ruangan yang mereka masuki sebelumnya. Dikta kembali melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. Sudah setengah jam berlalu dari pembukaan lomba. Dikta menghela napas gusar. Megan masih terdengar bercakap-cakap dengan Sofie.

Tiba-tiba Dikta mendengar suara anak kecil menanngis di luar butik. Dikta tersentak. Suara anak itu terdengar seperti rengekan Alfa. Dikta langsung berdiri bertepatan dengan Megan keluar bersama Sofie sambil menenteng sebuah paper bag. Dikta segera menghampiri Megan yang masih tertawa-tawa dengan Sofie.

"Megan, maaf aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa antar kamu pulang. Aku benar-benar harus pergi sekarang," tukas Dikta sambil menepuk bahu Megan.

"Tapi Bang ..." sela Megan.

"Nanti aku telepon." Dikta melambai kepada Megan sebelum beranjak pergi dengan setengah berlari. Sofie mengangkat kedua alisnya dengan wajah penuh tanya kepada Megan. Megan tersenyum kecut sambil mengangkat kedua bahunya.

Dikta melesat keluar dari dalam butik dan kurang dari semenit dia sudah berada di depan jalanan yang mulai ramai oleh kendaraan. Dikta segera menghentikan sebuah taksi yang segera membawanya ke lokasi lomba sekolah Alfa. Perjalanan selama hampir setengah jam terasa begitu lama. Apalagi memasuki kompleks sekolah Alfa yang ramai dengan mobil parkir di pinggir jalan. Suasana ramai di sana juga membuat jalanan sedikit macet.

Taksi yang ditumpangi Dikta berhenti beberapa meter dari gerbang sekolah. Dikta keluar dari taksi dan dengan tergesa berlari ke dalam area sekolah. Sekolah Alfa adalah sebuah PAUD menyatu dengan taman kanak-kanak bergengsi yang kebanyakan siswanya adalah anak-anak dari latar belakang orang berada. Gedungnya mewah meski tak bertingkat dengan fasilitas lengkap.

Dikta menghampiri meja panitia pendaftaran lomba dan menanyakan lomba apa saja yang diikuti oleh Alfa. Dia melihat kartu pendaftaran yang ditanda-tangani Aisha dan membaca daftar lomba yang telah ditandai. Melihat waktu lomba dalam daftar, Alfa sudah selesai mengikuti lomba individu, yaitu lari balon dan merangkai lego. Sekarang waktunya lomba pasangan ayah-anak. Dan melihat waktunya sepertinya lomba sudah akan dimulai.

Dikta segera berlari ke arena lomba yang dimaksud. Ternyata lomba sudah akan dimulai. Beberapa pasangan ayah dan anak sedang bersiap di garis start dengan masing-masing kaki dijalin bersama menunggu aba-aba. Lomba lari kaki tiga. Dan, tak ada Alfa yang ikut serta dalam lomba tersebut.

Tentu saja dia tidak ikut karena dia harus berpasangan dengan siapa? Dikta mengutuk dirinya sendiri.

Dengan seksama dia memperhatikan setiap anak yang berkerumun di pinggir arena. Dia mencari sosok Alfa dan Aisha di antara seliweran orang-orang yang bersorak.

Akhirnya pandangannya tertumbuk pada seorang bocah yang sedang menangis dalam pelukan ibunya. Itu Alfa yang sedang tersedu dengan wajah disembunyikan di ceruk leher ibunya. Sementara Aisha berjongkok sambil sibuk menghibur putranya. Wajah wanita itu tampak tegar namun manik matanya berkaca-kaca. Dia, wanita itu tampak menahan bening kristal yang akan meluncur dari manik indah itu.

Hati Dikta terenyuh.

***

"Anak Mama hebat. Apa Mama bilang, Alfa pasti menang lomba lego," puji Aisha pada putranya yang menghambur memeluknya. Bocah tampan itu tersenyum sangat lebar karena berhasil mengalahkan lawannya dalam adu cepat dan akurat merangkai lego sesuai gambar.

"Alfa kan anak Mama, mmmuuuachh ...!!!" Sebuah kecupan mendarat di pipi Aisha. Dia balas mengecup pipi putranya dengan gemas. Orang-orang di sekelilingnya menatap kagum pada keduanya.

"Ayo! Tinggal dua lomba lagi baru kita istirahat makan," ajak Aisha mengulurkan tangan pada putranya. Alfa langsung menyambar tangannya dan keduanya meninggalkan arena lomba merangkai lego dengan berpegangan tangan riang.

Aisha menuntun Alfa ke arena lomba lari kaki tiga. Ini adalah lomba pasangan ayah dan anak. Panitia lomba meminta para peserta bersiap-siap di garis start. Ada banyak peserta untuk lomba ini. Wajah mereka begitu antusias.

Aisha menyapukan pandangannya sekeliling mencari sosok Dikta. Tapi pria itu belum menampakkan diri. Aisha makin resah. Apalagi Alfa mulai menarik-narik tangannya dan merengek minta masuk arena.

"Sabar sayang. Paman Dikta belum datang," ujar Aisha menenangkan putranya.

"Tapi lomba mau mulai," rengek Alfa.

"Tunggu ya sayang." Aisha mendekati panitia lomba dan melakukan negosiasi untuk menunggu Dikta. Tetapi panitia menggelengkan kepala. Lomba tetap dilaksanakan tepat waktu karena masih ada rangkaian lomba lain yang menunggu.

"Paman dari putra saya terjebak macet, bisakah menunggu sebentar?" bujuk Aisha pada panitia lomba yang merupakan guru olahraga di sekolah itu.

"Maaf Nyonya kami tidak bisa menunda waktunya," jawab sang guru olahraga.

"Tapi Alfa sangat ingin mengikuti lomba ini," ucap Aisha memohon. Sang guru olahraga menatap pada bocah yang berdiri di samping ibunya dan memperlihatkan tatapan memohon yang sama seperti ibunya. Dia jadi iba. Namun mereka harus patuh pada aturan lomba.

Guru itu berjongkok di depan Alfa dan menepuk halus pundak sempit sang bocah.

"Alfa ikut tahun depan lagi ya, masih banyak waktu. Bapak tidak bisa menunda waktu lomba, Nak." Sang guru berusaha menjelaskan pada bocah empat tahun itu dengan bijak. Alfa menunjukkan wajahnya menyembunyikan wajah sedihnya. Hati Aisha seperti diremas kuat.

"Pak, kalau saya yang ikut mendampingi dia, boleh?" Aisha mencoba mencari jalan. Sang guru olahraga berbalik bertanya pada ketua panitia lomba. Mereka berdiskusi sejenak. Sang guru olahraga yang bijak berusaha menjelaskan situasinya. Namun dijawab dengan gelengan kepala.

Aisha melihat hasil diskusi itu langsung memerosotkan bahunya. Dia menarik Alfa ke belakang menjauhi garis start. Sedangkan peserta lain sudah selesai bersiap dan menunggu aba-aba untuk memulai lomba. Akhirnya jalur lari untuk Alfa dikosongkan karena dia dinyatakan tidak bisa ikut serta.

Bocah itu mulai terisak sedih. Aisha berjongkok di depannya berusaha menghibur kesedihannya.

"Nanti tahun depan Alfa ikut lagi ya, sayang," bujuk Aisha. Tangannya mengusap lelehan airmata di pipi gembil yang telah berubah kemerahan karena rasa kecewa.

Aisha tidak bisa mengucapkan kalimat panjang lebar. Sesuatu yang menyakitkan terasa menggumpal di tenggorokannya. Mengalirkan rasa sakit ke jantungnya melihat kesedihan putranya.

"Paman tidak datang. Paman tidak tepat janji," gumam Alfa di antara isaknya. Dia hanya berdiri menghadap ibunya dengan kepala tertunduk. Oh, putraku merasa kalah sebelum berjuang, jerit batin Aisha.

Terdengar aba-aba dari pemandu lomba disusul tiupan peluit tanda lomba dimulai. Seketika sorakan membahana menyemangati para peserta yang berlari dengan kaki tidak stabil.

Aisha merengkuh kepala Alfa ke bahunya. Membenamkan kekecewaan putranya di sana. Matanya menatap kosong para pasangan anak dan ayah yang berlari sambil berpegangan tangan dengan gembira membelah jalur putih.

'Seandainya papa masih ada maka ada yang menemanimu, sayang,' bisik Aisha lirih.

Aisha berusaha menahan rasa panas di pelupuk matanya yang mendesak akan keluar.

"Alfa ...!" Terdengar suara pria yang sangat familiar di samping mereka. Pasangan ibu dan anak itu mengurai pelukan mereka dan mendongakkan kepala menatap pria yang menjulang di samping mereka.

"Paman ...!!" pekik Alfa langsung menghambur ke pelukan Dikta.

"Paman dari mana?" rajuk Alfa.

"Paman ada urusan penting yang harus diselesaikan. Paman ingat kok sama janji Paman, makanya tadi Paman berlari cepat seperti flashman wush wush supaya cepat sampai di sini." Alfa terkikik dalam gendongan Dikta mendengarkan ucapan sang paman. Aisha hanya berdiri dan menatap interaksi kedua pria beda usia tersebut dengan pikiran gamang. Secepat itu mood Alfa berubah.

"Tapi Paman lombanya sudah dimulai," kata Alfa kembali murung. Dikta menoleh ke arena yang sedang panas dengan aura kompetisi.

"Tunggu sebentar!" Dikta menghampiri guru olahraga tadi dan mereka terlihat berdiskusi kecil. Sang guru tampak mengangguk dan disambut senyum Dikta.

"Ayo!" Dikta membimbing Alfa ke garis start lalu berjongkok di samping Alfa memegang sebuah tali pengikat. Aisha mengikuti dengan heran.

"Mau ngapain?" tanya Aisha melongo.

Dikta menyimpulkan tali pada kaki kanannya dan juga pada kaki kiri Alfa. Dia lalu bangkit meraih tangan kiri sang bocah.

"Memenuhi janjiku pada kalian berdua," jawab Dikta dengan senyum menenangkan, penuh tekad dan janji.

"Siap, boy?" seru Dikta pada Alfa.

"Siap, komandan!" jawab Alfa lebih keras.

Dengan semangat membara kedua pria itu menerjang ke arena lomba mengejar ketertinggalan mereka.

Bersambung ....

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Nb : Lomba memperebutkan paman Dikta dimulai.