Chereads / The Danish Boss / Chapter 2 - TO: Dating is Harder than Programming

Chapter 2 - TO: Dating is Harder than Programming

Akhirnya Kana bisa bernapas lega. Saat atasan barunya mengakhiri diskusi panjang, sangat panjang, itu. Sudah hampir memasuki waktu istirahat makan siang sekarang. Kana berjalan meninggalkan ruang rapat sambil menarik-narik lengan Alen, meminta Alen untuk menepati janjinya mentraktir makan siang.

"Jangan banyak-banyak makannya." Jawaban Alen membuat Kana mencubit lengan Alen keras-keras.

Sambil terus bercakap, Kana mengikuti Alen menuju lift, sedikit tidak nyaman karena merasa ada orang yang memperhatikannya sedari tadi. Ketika menoleh ke belakang, Kana mendapati project manager baru-nya sedang menatap lurus ke arahnya. Tatapan tajamnya seperti bisa melubangi punggung Kana. Membuat Kana bergidik ngeri dan mempercepat langkahnya. Mengejar Alen yang sudah lebih dulu meninggalkannya.

***

Pasti ada alasan masuk akal kenapa para wanita di kantornya bersikap aneh, seperti mereka baru saja mendapat bonus sebesar sepuluh kali gaji. Mereka tersenyum lebih lebar dan suara tawa mereka lebih berisik hari ini. Beberapa orang malah cekikikan dengan wajah bersemu merah. Sejak tadi pagi Kana mengamati fenomena tidak biasa ini.

"Kalian nggak papa?" Sepertinya hanya Kana satu-satunya wanita yang masih waras di gedung ini.

"Duh, Kana. Gimana sih kamu ini. Masa nggak tahu kita lagi kenapa. Dia masih single. Ganteng, seksi, pinter ... Hari gini jarang ya ada yang sempurna gitu masih belum ada yang punya. Rezeki salah satu dari kita nih, kalau ada yang beruntung," jelas Raina. Yang dimaksud dengan 'dia' sudah jelas adalah atasan baru Kana.

Mendengar kalimat Raina, Kana bisa membaca temannya itu sudah siap untuk memulai siaran acara gosip di sore hari. Acara kegemaran orang-orang yang senang dengan urusan orang lain. Kana, yang cenderung menghindari bergosip dengan kelompok mereka, harus segera menemukan alasan untuk meninggalkan tempat ini. Harus memikirkan bagaimana caranya menghindar tapi tidak dimusuhi. Valeri dan Rachel bergabung dengan mereka. Sudah biasa para wanita membicarakan karyawan baru di kantor. Ini juga bukan kali pertama ada orang asing bekerja di gedung ini. Tetapi sepertinya efek kehadiran atasan Kana lebih dahsyat dari biasanya.

Kana ingin tertawa melihat tatapan memuja Raina dan lainnya saat berpapasan dengan orang baru itu siang tadi. Bahkan Kana bahkan curiga teman-temannya sengaja membuat diri mereka berpapasan dengan laki-laki itu. Besok pagi mungkin mereka akan mengatur jadwal tiba di kantor supaya bisa berada satu lift dengan pujaan mereka. Memikirkan ini saja membuat Kana geli sendiri.

"Aku naik dulu ya. Banyak kerjaan." Kana memutuskan tidak mengikuti sesi talk show membahas bos barunya.

"Bisa kerja kamu? Kalau aku sudah sibuk cari alasan supaya bisa masuk ke ruangannya. Kerjaan bener juga disalah-salahin." Valeri menyentuh kedua pipinya. "Enak banget ada yang bisa dilihat di atas. Kalau gini aku nyesel kenapa aku dulu nggak kuliah IT."

Kana hanya tertawa sambil melambaikan tangan dan berjalan cepat menuju tangga. Sama sekali tidak tertarik untuk menjadikan bosnya sebagai objek cuci mata.

Pada hari pertama ini, penampilan bos barunya memang terbilang sangat menarik. Kemeja biru lengan panjang dan celana abu-abu. Pakaian sederhana itu terlihat luar biasa karena laki-laki tersebut seperti memberi nyawa pada segala yang dia kenakan. Rambutnya—berwarna seperti chesnut—rapi. Tidak ada rambut di wajahnya, hanya ada jejak gelap, bekas bercukur, di rahangnya. Tubuhnya tinggi dan kukuh. Mata biru di balik bulu mata panjang dan tebal menambah pesonanya. Mungkin sebelum menjadi programer, dulunya laki-laki itu adalah pelari. Atau pemain bola. Pantas saja cewek-cewek di kantornya tidak bisa memalingkan wajah dari wajah atasan baru Kana.

Dulu hari pertama Dinar datang bergabung dengan tim mereka, penampilannya juga rapi dan terawat. Tidak jauh berbeda dengan atasan Kana. Para wanita juga mengagumi Dinar. Setelah beberapa lama, kekaguman mereka memudar. Atau mungkin sekarang Dinar dan yang lain sedang kurang memerhatikan penampilan.

Kana sering mencandai gerombolan si berat agar segera menemukan pasangan yang bisa memperhatikan dan mengurus mereka, jangan hanya sibuk bekerja.

"Hanya orang-orang yang diberkati Tuhan yang bisa melakukan dua hal tersebut bersamaan." Pendapat Dinar mengenai gagasan bekerja sekaligus menemukan pasangan.

"Dating is harder than programming." Ini menurut Alen.

Kata banyak orang, programer paling hebat di dunia juga kesulitan mengajak seorang gadis untuk sekadar duduk bersama di kedai kopi. Terbiasa menghadapi komputer, katanya, membuat mereka kesulitan bicara dengan sesama manusia. Lebih-lebih lawan jenis. Kana tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tetapi kelihatannya programming skill adalah sesuatu yang bisa dipelajari di kampus atau secara mandiri di waktu luang. Sedangkan dating skill tidak diberikan oleh Tuhan kepada sembarang orang. Kalau semudah itu, sekarang pasti Kana sudah bersama laki-laki yang tepat.

Ada kata-kata Raina tadi mengenai status bos Kana yang masih lajang. Mungkin karena dia sama saja dengan Dinar, Alen dan yang lainnya. He doesn't know how to score a girl.

Terima kasih untuk orang-orang yang menyematkan geek image kepada mereka, sehingga mereka ada di urutan kesekian dalam antrian bursa jodoh. Orang seperti Alen dan Dinar mungkin kurang menarik bagi banyak wanita, dibandingkan dengan dokter atau pengacara. Padahal sekali mereka jatuh cinta pada wanita, mereka akan memperlakukan wanita seperti vas bunga buatan Cina. Hati-hati sekali, seolah satu sentuhan saja akan membuatnya pecah berhamburan. Tidak perlu berjuang untuk merebut perhatian karena saingannya hanya komputer. Bukan wanita lain. Tambahan lagi, karena programer bukan orang yang gampang bosan, maka bisa jadi mereka akan selalu terpesona dalam waktu yang sangat lama.

Kenapa Kana jadi mengurusi selera wanita lain? Yang tidak mau melirik programer? Padahal dia sendiri belum bisa menemukan alasan untuk mengencani laki-laki dari dunianya sendiri. Berkencan dengan sesama programer sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya.

Kana duduk di mejanya dan saat menoleh ke sebelah, Alen yang sedang menatap layar komputer tiba-tiba berdiri dan membuat kursinya terdorong ke belakang.

"Kopi?" Alen menawari Kana dan langsung dijawab dengan anggukan antusias oleh Kana.

***

Tepat saat Alen dan Kana akan masuk lift, Fritdjof keluar dari sana. Setelah mengamati wajah Kana, tatapan Fritdjof jatuh pada tangan Kana yang masih menarik-narik bagian belakang lengan kemeja Alen. Sejak tadi Kana sibuk menyuruh Alen memperlambat langkahnya. Kana dan sepatu hak supertingginya kesulitan mengikuti langkah panjang-panjang Alen. Sadar sedang diperhatikan atasannya, Kana langsung melepaskan tangannya dari lengan Alen.

"Mau ke mana?" tanya Fritdjof.

Pertanyaan yang membuat Kana memutar bola mata, karena mau ke mana saja tujuan mereka bukan urusan laki-laki itu. Cara bertanyanya seperti guru yang memergoki muridnya yang akan membolos. Ah, akhirnya Kana mengetahui siapa nama atasannya, setelah bertanya kepada Alen.

"Kopi. Mau bergabung?" Alen malah menawari.

Fritdjof tampak menimbang-nimbang sejenak—sambil kembali menatap Kana—sebelum mengiyakan ajakan Alen, membuat Kana mengeluh dalam hati. Ada perasaan aneh dalam dirinya setiap kali bertemu dan bertemu pandang dengan laki-laki itu.

Karena Fritdjof bilang setuju, maka Kana hanya bisa mengikuti mereka ke dalam lift dalam diam. Kana kurang suka dengan kebiasaan laki-laki itu memandanginya.

***

Kana langsung duduk, tidak mengikuti Alen dan Fritdjof yang bergerak untuk memesan kopi. Karena Alen sudah tahu apa yang selalu diminum Kana setiap datang ke coffee shop di sayap kanan lobi gedung tempatnya bekerja. Jemari Kana mengetik pesan kepada Dinar, bertanya apa Dinar dan yang lain semua ingin sekalian dibelikan kopi. Gerombolan si berat jarang sekali meninggalkan tempat duduk. Pantat mereka seperti sudah menancap di kursi. Tidak berbeda dengan Kana dan Alen, mereka juga kecanduan kopu. Akut. Walaupun ada kopi hitam di pantry, tapi mereka tetap suka membuang uang dengan membeli kopi di sini.

Alen dan Fritdjof duduk bersebelahan di depan Kana. Sementara Kana pura-pura sibuk dengan ponselnya, menghindari tatapan mata bosnya yang sudah pasti tertuju padanya.

"Pulang jam berapa, Kan?" Pertanyaan Alen mau tidak mau membuat Kana menatap ke arah Alen. Ke arah dua laki-laki yang duduk di depannya.

Tepat seperti yang sudah diduga Kana, Fritdjof sedang mengamatinya. Ini mengherankan sekali. Ada apa dengan wajah Kana? Rasanya tidak ada yang salah. Untuk memastikan itu, bahkan Kana sudah mengecek wajahnya tadi di kamar mandi setelah diskusi. Alisnya baik-baik saja. Eyeliner-nya juga tidak melebar.

Kana berusaha bersikap wajar, meski jengah diamati sejak tadi. Untuk membuat dirinya sedikit lebih santai, Kana menyibakkan rambutnya ke belakang.

"Jam lima mungkin. Kamu mampir ke rumahku nanti malam?" Malam ini Alen akan pergi menonton konser bersama Kira, kakak Kana. Mereka berdua memang berhasil mengungkapkan perasaan masing-masing berkat campur tangan Kana.

"Bisa iya bisa tidak," jawab Alen.

"Kalau iya, bawa piza ya." Kana memesan pajak kunjungan kepada Alen.

Kana sama sekali tidak menyadari tatapan mata atasan barunya kini menyiratkan banyak pertanyaan. Seperti ingin tahu seberapa dekat hubungan Kana dan Alen.

(Bersambung)