Kana mengembuskan napas lega ketika akhirnya Fritdjof pamit pulang. Sedari tadi Kana memasang wajah lelah saat dia dan Fritdjof duduk di depan televisi. Harapan Kana bahwa Fritdjof akan paham bahwa Kana sedang ingin sendirian tidak terpenuhi. Dengan tenang Fritdjof duduk menonton acara dokumenter selama enam puluh menit penuh. Tidak ada yang bicara di antara mereka. Karena Kana sibuk menenangkan dirinya supaya tidak semakin merapat pada atasannya. Aroma parfum Fritdjof menguar begitu kuat sehingga membuat otak Kana kehilangan fungsi. Seksi. Manly. Memikirkan dirinya sedang duduk satu sofa dengan Fritdjof, tanpa ada jarak di antara mereka, membuat jantung Kana bekerja lebih keras daripada biasanya. Suara debarannya mungkin bisa didengar sampai lantai dua puluh.
Sebelumnya Kana tidak pernah merasa canggung, atau gugup, menghadapi laki-laki. Bahkan Kana bisa membuat mereka tergila-gila kepadanya, hanya dengan satu senyuman saja. Memang bisa saja Kana akan membuat Fritdjof terpesona padanya, kalau Kana mau mencoba. Namun saat ini, Kana sedang tidak mau melakukannya. Kana tidak ingin tersenyum pada Fritdjof. Sebab Fritdjof bukan laki-laki yang tepat.
Menurut penilaian Kana Fritdjof bukan model laki-laki yang menjalin hubungan untuk bersenang-senang. Pembawaannya jauh dari kesan laki-laki berengsek yang suka tebar pesona. Seandainya Firtdjof tertarik pada wanita, Kana berani bertaruh, pernikahan akan menjadi tujuan jangka panjangnya. Satu hal besar itu yang membedakan Fritdjof dengan semua teman kencan Kana selama ini. Mengesampingkan suara dan pembawaan Fritdjof yang kaku dan dingin, sebenarnya laki-laki ini adalah calon pendamping hidup yang potensial. Sangat aneh kalau apa yang dikatakan teman-teman Kana benar. Bahwa Fritdjof belum memiliki kekasih hari ini.
Menurut pengalaman Kana selama ini, dia bisa membuat sebuah teori. Lelaki tampan biasanya berengsek. Kalau ada lelaki tampan dan tidak berengsek di dunia ini, mereka sudah menikah. Sudah ada yang lebih dulu memiliki. Tampan, baik, tapi belum menikah? Mungkin dia tidak mapan. Sementara itu laki-laki tampan, baik, belum menikah, dan mapan, tidak akan tahan menghadapi Kana. Jika ada laki-laki yang tampan, baik, belum menikah, mapan dan mau dekat dengan Kana, bisa dipastikan laki-laki itu player. Lebih mengenaskan lagi, setiap laki-laki tampan, baik, belum menikah, mapan, tahan dekat denganya dan setia, dia homoseksual. Hanya bisa dijadikan teman. Kalau Kana sampai menemukan lelaki yang tertarik padanya, juga tampan, baik, lajang, kaya, setia, memiliki orientasi seksual yang cocok dengan Kana, dan akan selalu mencintainya, laki-laki itu pasti bermasalah dengan otaknya.
Sayangnya, Kana belum bisa menggolongkan Fritdjof dalam kategori mana.
***
Kana mengeluh panjang dalam hati ketika harus berada satu lift dengan Fritdjof pagi ini. Sesaat sebelum pintu lift menutup, Fritdjof melangkah cepat dan menyelipkan dirinya ke dalam. Sebagai pihak yang masuk lebih dulu, akan sangat lucu kalau Kana keluar lagi hanya karena melihat bosnya masuk lift yang sama. Dengan sangat terpaksa Kana menahan napas. Berusaha untuk tidak menghirup wangi menyenangkan yang menguar dari tubuh tinggi dan seksi di sampingnya. Atau Kana akan gila.
And he is good looking. Kana mengakui dalam hati. Pagi ini penampilan Fritdjof masih sama dengan hari pertama belerja dulu. Atau malah lebih baik.
"Morning, Sir." Kana memberi salam. Sudah seharusnya, mengingat laki-laki ini adalah atasannya.
"Morning." Fritdjof menjawab tanpa ada intonasi dalam suaranya.
Kana berpikir mungkin orang ini harus ikut les vokal, untuk belajar mengatur suaranya agar sedikit lebih bernada. Agar mengenal intonasi dan dinamika. Yang begini ini yang diidolakan teman-temannya? Lakilaki yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan benar, tampak dingin, dan misterius. Misterius. Itu kuncinya. Segala sesuatu yang misterius biasanya lebih menarik perhatian. Sudah kodratnya.
"Al!" Kana berteriak riang ketika melihat Alen begitu pintu lift terbuka. Dua hari kemarin Alen tidak masuk kerja dan Kana antusias melihat calon kakak iparnya.
Kana berjalan cepat menghampiri Alen. Tangan Kana langsung melingkari leher Alen. Karena Kana tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika melihat Alen. Sepasang mata dengan tajam menatap dari balik tubuh Kana, Kana bisa merasakannya.
"Oi ... oi...." Alen berusaha melepaskan pelukan Kana.
"Congratulations!" Kana menepuk pipi Alen kemudian berjalan bersamanya menuju ruangan mereka. "Kita tiap hari ketemu kok kamu nggak cerita sih?"
Alen duduk di kursinya. "Cerita apa?"
"Soal kamu dan Kakak." Kana tersenyum lebar dan berdiri menyandar di meja Alen.
"Oh, itu. Aku saja sulit percaya. Aku tidak menyangka akan ada wanita yang sangat luar biasa, sangat cantik dan segalanya yang mau menerima laki-laki biasa-biasa saja sepertiku." Alen menjawab dengan dramatis.
"Kayaknya aku berbakat jadi mak comblang. Apa aku buka jasa biro jodoh aja, ya?" Kana menggumam. Sepertinya itu bisnis yang cukup menjanjikan di kalangan mereka.
"Cari jodoh untuk diri sendiri saja dulu. Baru nanti memikirkan orang lain." Teguran Alen membuat Kana langsung merengut tidak suka. Kenapa setiap orang yang akan menikah, selalu menyarankan orang lain agar segera mengikuti jejak mereka?
Karena cinta bisa membuat orang bahagia. Tadi pagi saja Kira terus tersenyum ketika memasak sarapan sambil menelepon Alen. Sudah lama Kana tidak melihat kakaknya tersenyum sesering itu. Kana sudah tidak sabar menunggu saat Alen benar-benar menjadi keluarganya dan membuat kakaknya setiap hari bahagia. Setelah semua kesedihan dan keseulitan yang dilalui, Kira berhak mendapatkan kebahagiaan bersama Aleh. Yang diberikan oleh Alesh.
Seperti apa anak Alen dan Kira kelak? Apa dia akan geeky juga seperti ayahnya? Kana tersenyum geli membayangkannya. Dan tidak sabar ingin segera menjadi tante.
***
Fritdjof duduk diam di kursinya. Pandangannya lurus pada layar komputer yang tengah menyala. Tetapi Fritdjof tidak bisa fokus mengerjakan apa-apa. Sedari tadi Fritdjof bertanya-tanya mengenai hubungan macam apa yang dimiliki oleh kedua anggota timnya. Kana, tanpa merasa sungkan dan canggung, langsung memeluk Alen begitu melihat Alesh. Senyum Kana juga lebar sekali. Apakah memang seperti itu budaya di sini? Memeluk siapa saja yang ditemui? Apa arti pelukan tersebut? For them, Danes, pelukan dan ciuman hanya dilakukan jika dua orang benar-benar sangat dekat, dan hubungan rekan kerja tidak cukup dikategorikan dekat.
Urusan asmara siapa pun di kantor ini memang bukan urusan Fritdjof. Tidak ada juga aturan perusahaan yang melarang para pegawai memiliki hubungan lebih dari teman. Tetapi Fritdjof tidak suka melihat Kana nyaman dekat dengan laki-laki lain. Fritdjof ingin menjadi laki-laki yang beruntung tersebut. Satu-satunya laki-laki yang ada dalam hidup Kana.
Ini benar-benar sulit dipercaya. Setelah dua tahun hatinya mampu mengabaikan pesona para wanita—yang jelas-jelas berharap Fritdjof menyukai mereka—kali ini hati Fritdjof malah bereaksi dengan wanita yang jelas-jelas tampak tidak ingin berada satu ruangan dengannya.
***
Kana sadar Fritdjof mengamatinya sejak keluar dari lift tadi. Mata Fritdjof mungkin melotot, sampai bola matanya hampir copot, ketika melihat Kana memeluk Alen. Terserah Fritdjof saja. Semua oran tahu Kana biasa memeluk Alen di mana saja, karena sudah menganggap Alen seperti kakaknya sendiri. Calon kakak ipar dan kakak laki-laki yang sejak dulu dia inginkan. Sama sekali Kana tidak keberatan—atau tidak peduli—kesalahpahaman terbentuk di kepala Fritdjof. Laki-laki itu boleh berasumsi semaunya dan Kana tidak akan mengoreksi.
"Bisa nggak dikecilin suara musiknya?" Kana melongok ke meja Dinar dengan sebal.
Telinganya sakit mendengar suara musik yang tidak jelas dari speaker kecil milik Dinar. Biasanya Dinar tidak mendengarkan musik. Tetapi tidak tahu ada angin apa, hari ini Dinar tiba-tiba punya speaker dan menyalakan lag yang tidak bisa dinikmati.
"Bisa." Dinar menjawab tidak peduli.
Kana kembali duduk dan frustrasi menatap layar komputernya. Sedari tadi Kana susah konsentrasi karena temannya bertingkah tidak masuk akal dan—
"Dinar! Bisa nggak dikecilin suaranya?!" Sekali lagi Kana berteriak dan membuat empat kepala lain serentak memandang ke arahnya.
"Bisa." Dinar menjawab lagi. Tanpa merasa terganggu dengan teriakan Kana.
"Itu belum dikecilin dari tadi!" Kana mendelik ke arah Dinar. Tidak ada perubahan volume pada pengeras suara milik Dinar. Meja mereka hanya berbatas kaca tebal rendah, jadi Kana bisa melihat bahwa Dinar sama sekali tidak berusaha melakukan apa yang diinginkan Kana. Meski mulut Dinar menjawab ya.
"Kenapa, Kan?" Kali ini Dinar mengangkat kepalanya dan menatap Kana.
"Kenapa?! Aku dari tadi ngomong kamu nggak nangkep sama sekali?! Suara musikmu bikin stres!" Kana semakin histeris.
"Kamu mau ini dikecilin suaranya?" Dinar menunjuk speaker bulat di mejanya.
"Iya! Dari tadi juga aku ngomong begitu!" Kana semakin keki.
"Kamu tadi kan tanya, bisa nggak dikecilin suara musiknya, ya aku bilang bisa. Kenapa aku disewotin? Kalau kamu menyuruhku mengecilkan suaranya, bilang dengan jelas." Dinar mengganti speaker-nya dengan earphone.
"Bah, programmer," maki Kana sambil kembali mendudukkan pantatnya di kursi.
"Memangnya kamu bukan?" Alen menyahuti pertengkaran dua orang temannya.
Kana mengembuskan napas kuat-kuat. Bicara dengan teman-temannya kadang bisa sangat melelahkan. Susunan kalimat tidak boleh rancu dan tidak boleh ada informasi yang tertinggal. Berkomunikasi dengan programer secara verbal membutuhkan banyak kesabaran. Like computers do, they take people 100% literally. Kenapa tadi Kana tidak memilih untuk mengirim pesan saja kepada Dinar.
"Jangan lupa, ya, nanti jam dua siang sampai jam empat sore meeting. Di lantai tujuh, di ruang rapat A. Meeting-nya soal user requirements untuk software payroll Petro. Materi meeting sudah ada dan bisa diambil di server. Yang dibahas nanti halaman tujuh sampai sepuluh." Hanya untuk memberitahu masalah meeting, Kana harus bicara sepanjang ini.
"Jangan lupa nanti jam dua." Bayangkan jika Kana mengatakannya seperti ini.
"Ngapain jam dua?" Dinar akan menatapnya penuh tanda tanya.
"Meeting."
"Meeting apa?"
"Project baru."
"Project apa?"
"Payroll software."
"Bukannya sudah pernah rapat?"
"Meeting-nya soal user requirements untuk software payroll Petro."
"User requirements yang mana?"
"Materinya sudah ada, halaman tujuh sampai sepuluh."
"Ada di mana?"
"Di server. Cari sendiri."
"Di mana rapatnya?"
"Lantai tujuh."
"Ada banyak ruangan di lantai tujuh."
"Di ruang meeting A!"
Percakapan semacam ini menghabiskan lebih banyak energi dan pertanyaan-pertanyaan mendetail seperti itu benar-benar mengganggu. Kana tidak sanggup lama-lama meladeni mereka. Apalagi mengencaninya. She won't date any of them. Never.
(Bersambung)