"Sunshine?" Kana menggumam dalam hati. Kana tidak suka dengan panggilan-panggilan centil seperti itu. Dia tidak suka setiap mantan-mantan pacarnya memberinya pet names: babe, honey, sweety, dan sejenisnya. Karena hanya membuatnya merasa seperti anak umur belasan dengan cinta monyetnya. Namun saat Fritdjof memanggilnya Sunshine, Kana tidak merasa itu norak, tidak sama sekali. Fritdjof seperti mengatakan itu karena … because he meant it. As if she was his sunshine.
"Bukannya kerja, bengong terus." Suara Alen mengusik Kana yang sedang termangu memikirkan Fritdjof.
"Programming is thinking, not typing." Kana kembali berusaha meletakkan jari-jarinya di atas keyboard, meskipun otaknya sedang tidak ingin berpikir.
Kana paling suka melamun di depan komputer. Karena setiap ditanya orang, Kana bisa selalu melemparkan alasan yang sama. Programming tidak melulu tentang sibuk mengetik barisan code-code yang begitu membosankan. Bengong dan memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah yang harus diprogram itu jauh lebih penting. Tetapi Alen sudah hafal sekali dengan alasan Kana itu. Dan Alen benar. Kali ini yang dipikirkan Kana tidak ada hubungannya dengan programming. Hanya Fritdjof yang mengisi kepalanya sedari pagi. Anytime, Sunshine. Satu kalimat itu berputar-putar di kepalanya. Ini sungguh tidak masuk akal. Kana terbuai oleh dua kata itu.
Dalam pemrograman, orang-orang harus menyelesaikan segala persoalan menggunakan logika. Suatu kebiasaan yang lama-lama tidak hanya diterapkan pada pekerjaan. Melainkan juga pada aspek hidup lainnya. Mereka lebih mengedepankan kepalanya daripada hatinya dalam menyikapi setiap masalah. Sayangnya, begitu dihadapkan pada masalah cinta, logika tidak ada gunanya. Seperti kata orang, hati kita memiliki keinginan sendiri. Yang tidak bisa disetir oleh logika. Kita bertemu dengan seseorang, jatuh cinta, dan tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.
Cinta? Kana ingin tertawa mendengar satu kata itu keluar dari kepalanya. Memikirkannya membuat Kana pusing sendiri. Kana mematikan komputer. Tidak ada gunanya berlama-lama duduk di sini dan tidak menghasilkan apa-apa.
"Kenapa kamu pulang cepat terus?" Dinar menghalangi langkah Kana.
"Bukan urusanmu." Kana tidak seperti gerombolan si berat yang lebih senang menginap di kantor, dengan alasan internet gratis.
"Kamu punya pacar lagi, ya?" Dinar menyelidik.
"Bukan urusanmu juga."
"Urusanku. Karena kalau kamu terjebak dalam kencan yang nggak kamu suka, kamu pasti akan mencariku aku dan memaksaku datang buat pura-pura jadi pacarmu," Dinar mengingatkan Kana tentang kebiasaan buruknya di masa lalu.
"Jangan cerewet, ah! Kepalaku pusing." Kana mendorong tubuh Dinar yang menghalangi jalannya. Memang Kana sedang tidak punya pacar. Tidak akan ada lagi acara dia menelepon salah satu dari anggota si berat untuk pura-pura jadi pacarnya dan menyelamatkannya dari laki-laki menyebalkan yang mengajaknya keluar. Terserah Dinar kalau tidak percaya.
Kana berjalan cepat menuju lift. Mungkin Kana harus lembur hingga berdarah-darah saat mendekati deadline, tapi siapa peduli. Saat ini tubuhnya ada di bawah kendali hatinya, bukan otaknya. Lagi pula ini sudah hampir jam enam, waktu yang pantas untuk meninggalkan kantor.
***
Kana mendorong troli sambil membaca catatan di ponselnya. Membaca keperluan yang perlu dibeli dan mencari titipan Kira. Setelah membaca baris ketiga, Kana berbelok menuju lorong toiletries, matanya menelusuri rak dan mencari sikat gigi sesuai yang diinginkan Kira.
"Are you following me?"
Kana hampir melonjak saat sebuah suara berat mengagetkannya dari belakang tubuhnya. Lalu Kana mengelus dadanya melihat Fritdjof berdiri di sampingnya. Mengherankan sekali kenapa laki-laki ini selalu muncul di tempat tidak terduga.
"No," jawab Kana dengan ketus. Menyesal pernah sempat memikirkan kemungkinan dia menyukai laki-laki ini. Memangnya dia kurang kerjaan sampai harus mengekori laki-laki ini ke mana-mana. Kana bergerak meninggalkan Fritdjof.
"Good. Because I am following you." Fritdjof sudah tahu bahwa berbicara dengan gadis ini tidak akan mudah.
Sambil memutar bola mata, Kana terus mendorong trolinya. Berhenti untuk mengulurkan tangan, mengambil sebuah sikat gigi juga untuk dirinya dan sebotol mouthwash ukuran besar.
Fritdjof mengambil sebuah pasta gigi dan meletakkan begitu saja di dalam troli Kana, tidak peduli pada tatapan sebal Kana.
"Kamu akan memasak makan malam?" tanya Fritdjof ketika mengikuti Kana yang sedang berjalan menuju bagian sayuran segar. "Aku tidak keberatan menemanimu makan."
"Apa?" Kana tidak habis pikir, orang ini tidak tahu malu sekali minta makan di rumahnya. Padahal kalau dipikir-pikir, gaji Fritdjof lebih banyak dibandingkan Kana. "Atasan kok minta makan sama bawahan."
"Aku akan membeli sendiri bahan makanannya." Fritdjof menawar.
"Kamu pikir aku ini koki pribadimu?" Kana menyahut dengan sebal.
Fritdjof tidak memedulikan Kana yang sedang melipat wajah. Apa saja akan dilakukan Fritdjof untuk menikmati masakan Kana, yang membuatnya jatuh cinta sejak mencicipi pasta buatannya waktu itu.
"I always get anything I want, I always do." Fritdjof memasukkan dua kantong kentang ke dalam troli yang sedang didorong Kana. "Kita perlu beli apa saja untuk makan...." Pertanyaan Firtdjof terhenti saat merasakan Kana merapatkan badan ke tubuhnya.
Seorang laki-laki berjalan ke arah mereka. "Kana."
Tubuh Kana menegang mendengar suara laki-laki itu.
Laki-laki itu semakin mendekat dan Kana semakin merapatkan tubuhnya kepada Fritdjof, kepalanya mendongak dan berusaha mengirimkan kode melalui mata agar Fritdjof menolongnya.
"Get me out of here." Kana berbisik sangat pelan.
Fritdjof mengerti dan merangkul pundak Kana.
"Your friend?" Bisiknya sambil menunduk sehingga mulutnya tepat berada di atas puncak kepala Kana.
Kana merasakan embusan hangat napas Fritdjof di kulit kepalanya. Bukannya memikirkan laki-laki berengsek yang sekarang berdiri di depannya, Kana malah sibuk memikirkan kepalanya yang sedang menempel di dada Fritdjof dan punggungnya yang menempel di perut Fritdjof. Dada Fritdjof bidang sekali, juga kuat dan perutnya padat.
"Jadi sekarang seleramu barang impor seperti ini?" Laki-laki itu memperhatikan Kana dan Fritdjof, membuat Kana menggeram kesal mendengar kalimat tidak sopan dari laki-laki itu.
Saat ini juga penyesalan Kana berlipat ganda, menyesal pernah pacaran dengan laki-laki berengsek seperti itu.
"Bukan urusanmu." Kana berhasil membuat suaranya terdengar dingin dan tidak bersahabat. Keberanian Kana muncul karena Fritdjof meremas pelan lengannya, memberinya kekuatan untuk menghadapi lelaki berengsek di depan mereka itu.
"Let's go. I am getting hungry." Fritdjof bicara sedikit keras sehingga laki-laki di depan mereka masih bisa mendengarnya, lalu membimbing Kana meninggalkan tempat itu.
"Bitch!" Telinga Kana masih sempat mendengar laki-laki itu berteriak memakinya.
Kana merasakan lengan Fritdjof terlepas dari punggungnya. Detik berikutnya Fritdjof membalikkan badan, rahangnya terkatup menahan amarah. Tangannya mengepal. Dengan langkah pasti Fritdjof berjalan mendekati laki-laki yang berdiri lurus di hadapannya. Tidak tampak takut dan gentar sama sekali, jelas karena Fritdjof jauh lebih besar dan tinggi daripada laki-laki kurang ajar itu.
"Fritdjof." Cepat-cepat Kana menarik lengan Fritdjof. "Jangan," mohonnya, mencegah Fritdjof melakukan sesuatu yang akan disesalinya nanti. "Kita pergi, please."
Melihat Kana berkaca-kaca hendak menangis, Fritdjof memejamkan matanya sebentar, mencoba menahan emosinya lalu membawa Kana berjalan meninggalkan laki-laki berengsek itu.
(Bersambung)