It was not just the goodbye that hurts. Yang paling menyakitkan dari perpisahannya adalah menjalani hari-hari tanpa wanita yang dia cintai. Ini tentang semua foto dan video yang harus dihapus dari ponsel dan laptopnya. Tentang semua lagu-lagu kesukaan Helene yang tersimpan di iPod-nya, yang kadang-kadang tidak sengaja secara acak terputar saat Fritdjof menyumpal telinga dengan earphone. Ini tentang semua barang-barang kecil—DVD, kaus, topi, buku dan lain-lain—milik Fritdjof yang tertinggal di flat Helene di Nørrebro. Juga tentang semua tempat di Copenhagen—Torvehallerne, bibliotek, Hipsterbroen, tempat-tempat lain di sekitar Nørrebro dan Københavns Universitet—yang tak akan lagi dia datangi, karena di sana mungkin dia bertemu dengan Helene atau membangkitkan kenangan bersama Helene. Ini tentang semua candaan dan obrolan dengan Helene yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Juga tentang semua tanggal-tanggal penting yang lekat dalam ingatan Fritdjof. Hari ulang tahun Helene, hari jadian mereka, hari di mana Fritdjof melamar Helene. Melupakan itu semua lebih berat daripada sekadar mengucapkan selamat tinggal.
Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dijalani dengan mencintai seorang wanita. Mencintai dengan sepenuh hati dan jiwa. Dan Fritdjof ingin tidak ingin berhenti mencintai. Sampai dia mati dia ingin terus menghujani Helene dengan kasih sayang. Namun kenyataan berkata lain. Yang tersisa sekarang hanyalah Fritdjof yang harus berjuang sendiri memperbaiki hatinya, yang berserak dan terlalu sulit untuk disusun kembali. Akan perlu waktu seratus tahun hingga tempat terdalam dalam hidup Fritdjof itu siap ditempati seorang wanita.
***
Wajah Kana terlipat saat keluar dari ruangan Fritdjof siang ini.
"Kenapa lagi hari ini?" tanya Alen.
"Disuruh lihat jadwal baik-baik." Kana mengeluh karena Fritdjof menyuruhnya membaca jadwal yang telah mereka buat dan sepakati bersama-sama. Seperti Kana anak usia lima tahun yang susah mengikuti jadwal.
"Kamu kan nggak telat mengumpulkan project kita?"
"Iya, kata dia kalau bisa cepat jangan nunggu sampai mepet, jadi kalau ada yang perlu diperbaiki, masih ada waktu." Kana menjatuhkan tubuhnya ke kursi.
Yang bikin telat kan dia juga, keluh Kana dalam hati. Akhir-akhir ini Kana banyak melamun memikirkan Fritdjof sehingga tidak terlalu produktif mengerjakan apa pun.
"Ya sudah, jangan dipikirkan lagi. Ayo kita makan siang!" Alen mendorong mundur kursinya.
Semua anggota tim—kecuali Kana—mengikuti Alen meninggalkan ruangan untuk makan siang. Sambil menghela napas panjang, Kana meletakkan kepala di meja. Pusing sekali kepalanya hari ini dan dia sedang tidak ingin makan.
"Kamu sakit?" Sebuah suara membuat Kana buru-buru mengangkat wajah.
Fritdjof berdiri di depan meja Kana, dengan wajah biasa saja. Bukan seperti orang galak yang baru saja mengomel sangat panjang kepada Kana. Kana menggeleng menjawab pertanyaan Fritdjof dan meletakkan kembali kepalanya di meja.
"Tidak makan siang?" Fritdjof bertanya lagi.
"Sedang diet. Ngapain anda masih di sini? Pergi sana! Bikin makin pusing saja." Kana mengusir Fritdjof yang tidak juga beranjak pergi.
"Kamu sakit kepala?"
"Nggak, Fritdjof." Ups, Kana menutup mulutnya. Ini di kantor, kenapa dia bicara tidak formal dan sok akrab kepada atasannya?
"Ke mana?" Fritdjof melihat Kana tiba-tiba berdiri.
"Toilet." Kana berjalan cepat.
Bagaimana bisa setelah marah-marah, sekarang laki-laki itu bertanya dengan penuh perhatian? Terdengar sungguh ingin tahu kenapa Kana tidak makan siang. Seperti dia mengkhawatikan Kana yang sedang tidak bersemangat. Kana menepuk kedua pipinya, berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Mungkin Fritdjof bertanya seperti itu kepada semua bawahannya yang terlihat lesu, bukan Kana saja.
Kana keluar dari kamar mandi sambil berharap Fritdjof sudah tidak ada di dekat mejanya. Karena terlanjur tidak ikut keluar makan siang, Kana memilih melanjutkan pekerjaannya. Supaya selesai lebih cepat dan tidak diomeli laki-laki ganteng dan seksi.
"Buatmu." Alen meletakkan Caffe Americano di meja. Juga dua roti isi kesukaan Kana.
"Thank you," gumam Kana.
Kana meraih kopi tersebut dan meminumnya sampai tinggal separuh. Seperti sedang membuktikan bahwa kutipan yang banyak dicetak di kaus—programmers are machines that turn caffein into codes—memang benar adanya. Walaupun kopi hanya menghilangkan kantuk, bukan menghilangkan kemalasan. Kana merasa kafein membantu otak Kana bekerja lebih baik. Apakah itu scientifically proven atau tidak, Kana tidak peduli. Sugesti seperti itu sudah terlalu mendarah daging. Namun sepanjang bermanfaat, Kana akan tetap melakukannya.
Kana kembali memasang earphone di telinganya dan kembali duduk di depan komputer. Menyumpal telinga bukan berarti Kana sedang mendengarkan musik. Earphone adalah tanda bahwa Kana tidak bisa diajak berbicara. Sedang ingin berkonsentrasi penuh.
Apakah pemrograman menyenangkan? Apa Kana menyukai pekerjaannya? Kana tidak bisa menjawab jika ada yang bertanya begitu. Sesuatu yang menyenangkan baginya, belum tentu menyenangkan untuk orang lain. Begitu juga sebaliknya. Bagi sebagian orang merajut menyenangkan. Bagi sebagian yang lain, bermain ski menyenangkan. Menulis buku, menggambar komik, berbelanja, atau menonton TV bisa jadi menyenangkan untuk sebagian banyak orang dan tidak bagi sebagian orang lainnya.
Sedangkan untuk Kana, duduk di depan komputer, tak ubahnya seperti orang lain duduk santai di dekat jendela sambil merajut. Membuat sesuatu selalu menyenangkan. Apalagi membuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Membuat payroll software agar banyak pegawai bisa menerima gajinya dengan jumlah yang tepat dan tidak terlambat, sama menyenangkannya dengan membuat sweater untuk hadiah ulang tahun yang berkesan.
Yes, making something always makes her happy. Kana tersenyum karena mendapat ide untuk membuat sesuatu. Yang akan membuat dirinya sendiri bahagia dan orang lain bahagia. Kana membuka chatting client di komputernya, mencari nama seseorang lalu mengetikkan pesan pendek.
Dinner tonight? My home at 7.
Kalau Kana pulang jam lima, Kana masih sempat untuk memasak makan malam yang enak. Kana sedang memikirkan akan memasak apa ketika komputernya berdenting.
I'd love to. I'll see you there.
---
(Bersambung)