Chereads / The Danish Boss / Chapter 15 - FJEMTEN: Biasanya Jodoh Itu Dekat

Chapter 15 - FJEMTEN: Biasanya Jodoh Itu Dekat

Di dunia ini, banyak cerita cinta telah dibukukan dan tak lekang dimakan zaman. Sampai berabad-abad kemudian, cerita-cerita tersebut tetap dibaca setiap kali orang ingin mencari tahu makna cinta. Dari sekian banyak cerita, mungkin Romeo dan Juliet adalah pasangan paling fenomenal sepanjang sejarah umat manusia. Kedua orang itu menjadi simbol cinta, bahkan dianggap sinonim dari kata cinta. Take your own life for the one you love is definitely sign of true love. Untuk penyuka mitologi Yunani, ada cerita indah tentang Odysseus yang harus pergi berperang, hanya beberapa hari setelah menikahi kekasihnya, Penelope. Penelope setia menanti walaupun tidak tahu apakah suaminya akan kembali dalam keadaan hidup atau tidak, dan menolak seratus delapan orang laki-laki yang ingin menikahinya. True love is worth waiting for.

Bagi yang suka dengan cerita masa perang dunia, kisah Napoleon akan ada di urutan pertama untuk dibaca. Naopleon menikahi Josephine, wanita yang tidak hanya lebih tua darinya, tapi juga berasal dari kalangan bangsawan dan sangat kaya raya. Sangat besar sekali cinta Napoleon kepada Josephine. Dan perasaan Napoleon pun berbalas. Sayangnya mereka harus berpisah karena Josephine tidak bisa memberikan keturunan. Meskipun demikian, selamanya api cinta di antara keduanya tidak pernah padam. Selain itu masih ada cerita Layla dan Majnun dari Arab, Shah Jahan dan Mumtaz Mahal dari India, dan Paris dan Helena dari Helen of Troy and Trojan War yang juga termasuk kisah-kisah yang bisa menguatkan kepercayaan orang terhadap cinta dan kesetiaan.

Kana mendesah membayangkan indahnya—meski berbalut tragedi—cerita mereka.

"Cari pacar beneran sana. Daripada cuma baca-baca dongeng saja," komentar Kira ketika melihat Kana masih bermalas-malasan di kasur membaca novel. "Sarapan dulu."

"Belum ketemu pangeran berkuda putih." Kana menutup bukunya lalu mengikuti Kira ke dapur. Bayak buku yang sudah lama dibeli, tapi tidak sempat dibaca karena hari-hari Kana hancur lebur digempur lembur. Menjelang deadline, Fritdjof suka melongok-longok ke ruangan mereka, bahkan kadang-kadang mengintip ke layar komputer, memastikan semua orang mengerjakan tugasnya, bukan sedang belanja online atau bermain game.

"Ya disamperin aja pangerannya." Kira menyodorkan sepiring omelet kepada Kana.

Kana duduk dan meneguk susu yang sudah disiapkan kakaknya. "Di mana?"

Sejak hubungannya dengan Alen mulai serius, Kira selalu menyuruh Kana untuk segera memiliki kekasih juga. Tetapi Kana tidak mengindahkan. Karena Kana punya waktu tiga tahun sampai usianya menyamai Kira dan ketika saat itu tiba, dia baru akan memikirkan pasangan. Suami. Masa depan bersama. Sekarang adalah waktu untuk bermain-main. Ups, Kira pasti marah kalau tahu niat Kana dan akan menceramahi Kana sampai pagi.

"Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak," kata Kira.

"Kuman? Gajah?"

"Ya coba dilihat kanan dan kiri siapa tahu pangerannya ada. Biasanya jodoh itu dekat, tapi kita nggak bisa melihatnya. Malah cari jauh-jauh." Kira menjelaskan lalu meneruskan makan.

"Salah peribahasa, Kakak."

"Biar saja." Kira mengangkat bahu. "Kamu ini lucu, Kan. Dulu kuliah di kampus yang nggak ada ceweknya, sekarang kerja juga di tempat banyak cowoknya. Masa nggak dapat pacar satu saja?"

"Ya cowoknya kali yang nggak doyan sama aku. Doyannya komputer." Hingga hari ini Kana belum pernah pacaran dengan laki-­laki yang seprofesi dengannya. "Asal Kakak tahu, ya, sebelum Kakak beneran menikah sama Alen. We are polyglots, we speak many weird languages, bahasa pemrograman tapi, bukan bahasa manusia. Dan Kakak bakal sering dicuekin, gara-gara Alen lebih cinta komputer daripada Kakak."

Kalau meminjam istilah Dinar, komputer adalah istrinya. Kalau Dinar sampai bisa menikahi wanita, komputer tetap akan menjadi istri pertamanya.

"Asal Alen gajinya banyak, aku nggak masalah." Kira menanggapi dengan santai.

"Dasar mata duitan!" Kana memaki sambil tertawa.

Kira ikut tertawa. "Bukankah kesejahteraan alasan yang bagus untuk menikah? Selain mereka sanggup menjamin kesejahteraan batin?"

"Terserah Kakak saja deh." Kana menyerah. Kakaknya sudah sangat cinta dengan calon suaminya, mau bagaimana lagi.

"I wish you marry a programmer so we could share the same crap."

"Amit-amit." Kana melempar serbet ke wajah Kira yang kian terbahak.

"Hati-hati, Kan, nanti kemakan omongan sendiri."

"Amit-amit." Kana menyentuh meja dengan buku-buku jarinya.

***

Mata Kana melotot ketika tahu siapa orang berdiri di balik pintu dan membunyikan bel beberapa saat yang lalu. Terima kasih kepada pengembang apartemen yang memasang peephole, sehingga Kana bisa mengintip dulu siapa orang yang datang sebelum membuka pintu. Secepat kilat Kana berlari ke kamar dan mengambil ponselnya. Dengan panik Kana menelepon Kira. Ini hanya berselang lima menit sejak Kana masuk ke sini, setelah Kana pergi jogging sendirian tadi. Kana tidak merasa sedang dikuntit orang akhir-akhir ini. Hanya deadline yang menghantuinya ke mana pun dia pergi.

Dengan tidak sabar Kana menekan-nekan ponselnya. Tidak ada jawaban dari Kira. Siapa lagi yang bisa dihubungi? Alen. Cepat-cepat Kana mencari nama Alen di buku teleponnya sambil berjalan dan mengecek lagi, apakah tamu tak diundang itu sudah pergi. Sama dengan Kira, Alen tidak juga menjawab panggilan Kana. Bel pintu kembali berbunyi. Berkali-kali. Ditekan-tekan dengan tidak sabar.

Jari Kana bergerak lebih cepat mencari nama-nama lain yang bisa dihubungi. Yang sekiranya bisa datang dalam waktu dekat. Dinar atau anggota gerombolan si berat lain pasti masih tidur, setelah semalaman begadang bermain game. Rumah mereka juga jauh dari sini.

"Kamu bisa datang ke unitku?" Suara Kana bergetar begitu mendengar halo dari seberang sana. "Ada Niel di depan pintuku."

Kana takut Niel akan nekat mencoba kombinasi-kombinasi angka untuk masuk ke sini. Tanggal lahir Kana, tanggal lahir Kira, dan informasi-informasi lain diketahui Niel karena dulu Kana pacaran dengannya dan memercayainya. Tidak lagi bisa memikirkan alternatif lain, Kana masuk kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat lalu memeluk tubuhnya sendiri. Seandainya Niel bisa menerobos masuk, setidaknya dia perlu waktu lama dan pertolongan sudah datang.

Tetapi apakah ini pilihan yang benar? Dulu Niel hampir memerkosa Kana ketika mereka berada di sebuah apartemen. Di ruang tertutup seperti ini. Dalam benak Kana terbayang wajah Niel saat itu. Bukan Niel yang lembut dan tenang yang dikenal Kana. Dan membuat Kana jatuh cinta. Tetapi Niel yang liar dan buas, seperti bukan manusia. Tidak. Jangan biarkan Niel masuk ke sini, Tuhan. Kana berdoa dalam hati. Sudah banyak tahun berlalu kenapa Niel masih juga ingin mengganggu Kana?

Kana merasakan ponselnya bergetar dalam genggaman. Panggilan masuk. "Halo!"

"Aku di depan. Buka pintunya."

Kana turun dari tempat tidur dan setengah berlari menuju pintu depan. Bergegas membuka pintu ketika tahu Fritdjof yang berdiri di sana. Tanpa mengatakan apa-apa, Fritdjof masuk dan menutup pintu, mengikuti Kana berjalan ke sofa.

"Kamu ketemu Niel?" Kana menyandarkan punggungnya, lega ada orang lain yang bersamanya.

"Ya. Security juga datang. Aku menelepon mereka, kubilang ada orang mencurigakan di depan unitku." Fritdjof menjelaskan. "Laki-laki itu mengaku temanmu, tapi aku katakan kepada security bahwa kamu tidak menginginkannya ada di sini. Aku menyewa tempat ini dan laki-laki itu bukan siapa-siapa, jadi security lebih mendengarkanku."

"Aku takut, Fritdjof. Dulu Niel hampir memerkosaku di apartemen juga...."

--

(Bersambung)