Fritdjof meletakkan kunci mobilnya di meja Kana ketika dia harus keluar dari ruangan untuk mengunjungi lantai marketing. Sebab Kana tidak ada di tempat. Begitu masuk lift, Fritdjof mengetik pesan kepada Kana.
Itu kunci mobilku. Kalau mau, tunggu aku di mobil. Aku masih ke marketing.
Untuk kencan pertama mereka kali ini, Kana memberi syarat. Satu syarat yang sangat berat. Jangan sampai ada orang kantor yang tahu. Bagi Fritdjof, mereka terdengar seperti remaja yang dilarang berkencan oleh orangtuanya, jadi terpaksa melakukannya diam-diam. Apa gunanya punya hubungan seperti ini? Fritdjof berniat memberitahu seluruh dunia kalau dia sedang mengejar Kana. Supaya pesaingnya, kalau ada, di kantor ini, bisa segera menyingkir karena Fritdjof sudah hampir dekat dengan targetnya.
Mungkin Kana perlu waktu untuk menyesuaikan diri hubungan baru mereka. Kalau diibaratkan sebuah mobil, orang yang paling ahli menyetir pun, tidak akan langsung merasa nyaman dengan mobil baru. Tidak bisa langsung merasa sama enaknya dengan mengendarai mobil yang lama. In life, everything takes some times to fit in.
Tidak ingin terlalu lama menunda kencan, Fritdjof cepat-cepat menyelesaikan urusannya dengan marketing dan kembali ke ruangannya. Meja Kana kosong dan anggota tim yang lain masih berada di sana. Bergegas Fritdjof mematikan semua peralatan elektronik di ruangannya supaya bisa mencari tahu di mana keberadaan Kana.
"Tumben," kata Dinar begitu Fritdjof menutup pintu. "Biasanya pulang telat juga."
Fritdjof bisa berbicara sedikit lebih santai dengan Dinar dan Alen, sebab mereka bertiga sebaya. Dengan dua orang yang lain, Fasa dan Manal, Fritdjof agak jarang bercakap dengan mereka. Karena mereka masih muda dan agak segan berbicara dengan Fritdjof.
"Ada urusan." Fritdjof memberi alasan. "I am off."
"Kana sudah keluar dari tadi!" seru Dinar sebelum Fritdjof berlalu terlalu jauh.
"Thanks." Fritdjof tertawa dalam hati membayangkan betapa marahnya Kana saat tahu bahwa Dinar—dan mungkin banyak orang lain—sudah bisa menduga Kana dan Fritdjof memiliki hubungan Fritdjof.
***
"Lama banget sih." Kana, yang sudah duduk di mobil, protes.
"Aku tadi sudah bilang, Kana, kalau aku ada urusan mendesak. Tidak bisa ditunda. Aku tidak tahu kamu sudah di sini. Kalau tidak diberitahu Dinar bahwa kamu sudah keluar, aku akan mencari ke seluruh gedung. Kamu tidak membalas pesanku tadi. Memberi tahu kamu akan menunggu di mana."
"Dinar?!" Kana melotot mendengar nama Dinar.
"Iya. Dinar."
"Dinar? Dia bilang apa?"
"Dia bilang kamu sudah lama menunggu aku di luar."
"Kok dia tahu?"
"Kenapa kamu tidak mau dia tahu? Apa akan jadi masalah kalau dia tahu?"
"Kan nggak enak, Fritdjof."
"Apa yang nggak enak?"
"Susah deh ngomong sama kamu." Kana melipat tangannya di dada.
Fritdjof tidak berbicara sepanjang perjalanan menuju bioskop. Apa Fritdjof harus mencium Kana di lobi, sekalian saja supaya semua orang tahu, sehingga Kana bisa berhenti mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang tentang mereka? Demi Tuhan, mereka tidak sedang berbuat salah. Tidak sedang melanggar aturan apa-apa. Mereka sama-sama single dan sama-sama tertarik. Tidak ada larangan mengencani teman sekantor di tempat kerja mereka.
Jauh di dalam hatinya, Fritdjof memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memberitahu seluruh dunia, bahwa wanita paling cantik di seluruh negeri ini adalah kekasihnya. Tetapi Fritdjof berusaha menahan diri untuk tidak mengumbar kehidupan asmaranya di kantor. Karena berpotensi menimbulkan rasa iri dan muak dari karyawan lain—terutama penggemar Kana. Bisa jadi Kana akan membenci Fritdjof, karena risih menjadi bahan pembicaraan pegawai lain.
***
Fritdjof mencari titik parkir yang dekat dengan akses masuk mal, sehingga mereka tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk mencapai bioskop.
"Ayo." Fritdjof membantu Kana turun.
Selama berjalan di dalam mal, Fritdjof meraih pinggang Kana agar merapat ke arahnya. Apa gunanya pergi berkencan kalau mereka berjalan berjauhan?
"Nanti ada orang kantor yang lihat." Kana berusaha melepaskan diri dari pelukan Fritdjof.
"Kana, anggap saja semua orang sudah tahu tentang hubungan kita. Walaupun kita simpan ini rapat-rapat, nanti orang-orang juga akhirnya akan tahu. Orang sudah bisa menebak bagaimana kita berinteraksi di kantor selama ini. Seperti Dinar tadi. Jadi, anggap saja semua orang sudah tahu dan kita bisa santai malam ini." Fritdjof mengatakan ini dengan jelas agar Kana bersikap normal. "Kamu yang minta nonton di sini. Kalau kamu khawatir, kita bisa pulang dan nonton DVD di rumah."
"Masa di rumah terus? Kan mau pacaran kayak yang lain juga." Kana memandang dua orang anak muda yang sedang bergandengan tangan di depan mereka di elevator naik.
"Kalau begitu bersikaplah seperti yang lain." Fritdjof menggandeng Kana menuju antrian terpendek untuk mendapatkan tiket.
"Duduk di sini aja." Kana menunjuk kursi nomor dua belas dan tiga belas saat mereka sudah di depan konter. "Boleh ya?"
Fritdjof mengangguk setuju dan mengeluarkan dompetnya.
"No, it's on me." Kana mengingatkan. "This is your special day." Lalu mengeluarkan kartunya dan membayar untuk mereka.
Fritdjof hanya tersenyum dan mengelus puncak kepala Kana. "Drink? You have me the ticket, I'll have you the drink."
Kana menggeleng ketika Fritdjof menawari makanan.
"Kita akan telat makan malam lho. Nanti kamu lapar." Fritdjof menatap Kana khawatir.
"Aku biasanya nggak makan kalau malam."
"Tapi malam ini kita harus makan."
"Pasti makan kalau lagi sama kamu. Karena kamu hobinya makan."
Karena mereka datang dekat dengan jadwal pemutaran film, mereka bisa langsung masuk ke dalam teater. Tidak terlalu banyak orang menonton jam segini. Selain bukan akhir pekan, kebanyakan anak-anak muda seperti Kana dan Fritdjof masih belum pulang dari.
"Dingin?" Fritdjof berbisik saat mereka sudah duduk di kursi masing-masing.
Kana mengangguk. Tadi sebelum turun dari mobil Kana berniat melepas blazer dan meninggalkan di mobil. Beruntung Fritdjof melarangnya. Kalau tidak pasti Kana sudah menggigil dengan gigi gemeletuk sekarang.
"Sini." Fritdjof menarik Kana merapat. Lengan kanan Fritdjof melingkari punggung Kana. Sedangkan tangan kiri Fritdjof menggenggam tangan Kana.
Kana menoleh ke samping, mengamati wajah Fritdjof yang sedang serius menonton.
"Kamu tidak perlu bayar untuk melihat wajahku. Dan tidak perlu di tempat gelap seperti ini. Sampai hari ini aku tidak tahu apa enaknya duduk di sini, kecuali bisa berdekatan denganmu." Fritdjof berbisik di puncak kepala Kana.
Nonton film di bisokop. Kedengarannya seperti kencan yang sudah sangat biasa, banyak dilakukan orang. Duduk di ruangan gelap begini dan tidak bisa melakukan apa-apa juga tampak membosankan. Kalau bukan Fritdjof Kana tidak akan melakukannya. Kencan nonton film dengan Fritdjof berbeda. Sebab Kana tidak perlu konsentrasi lagi pada film yang ditontonnya. Heck, bahkan judul filmnya saja Kana tidak ingat. Now all her focus is almost entirely on how his hand feels in hers, on the way his thumb traces her palm, half tickling, half making her stomach do flip-flops.
--
(bersambung)