Chereads / The Danish Boss / Chapter 25 - Tidak Ada Pilihan Selain Melepasnya Pergi

Chapter 25 - Tidak Ada Pilihan Selain Melepasnya Pergi

"Kana menarik. Dia cerdas sekali ... tidak membosankan setiap diajak bicara atau melakukan sesuatu, dan cantik. Cantik sekali. Pertama kali mengenalnya pasti semua laki-laki menganggap Kana baik. Sangat mudah bagi laki-laki untuk menyukainya. Untuk jatuh cinta padanya. Karena Kana perhatian dan ya, seperti yang kubilang, dia baik. Waktu itu, kupikir siapa tahu aku beruntung, bisa membuatnya jatuh cinta padaku dan kamu berjodoh selamanya."

Makanan di piring Fritdjof baru tersentuh separuh dan Fritdjof tidak ingin lagi melanjutkan. Sudah hilang nafsu makannya.

"Dia memberi kesempatan padaku untuk mendekatinya dan dia menikmati kedekatan kami. Kelihatannya seperti itu. Selama pendekatan dan pacaran dengannya ... adalah saat-saat membahagiakan bagiku. Tidak pernah ada hari sebaik itu dalam hidupku, saat Kana setuju untuk punya hubungan denganku. Laki-laki mana yang tidak bahagia bersama wanita luar biasa yang mencintainya? Atau terlihat mencintainya." Daniel tertawa getir.

Frtidjof tercengang. Sama sekali Fritdjof tidak menyangka Kana bisa berbuat seperti itu. Apa Kana juga ingin memper­mainkan cinta Fritdjof? Seperti dia mempermainkan Daniel?

"Apa kamu mencintainya?" Fritdjof menatap Daniel tajam.

"Tentu saja." Jawaban Daniel membuat Fritdjof ingin menghajar Daniel saat ini juga.

"Kenapa tidak berusaha untuk bisa bersamanya kalau mencintainya? Mencoba membuatnya mencintaimu sehingga dia tidak lagi … begitu." Fritdjof tidak suka manusia yang hanya berpangku tangan, meratapi nasib dan tidak mengusahakan apa pun untuk memperbaiki suatu kondisi atau mendapatkan apa yang dia inginkan.

"I did everything. Tapi Kana tidak mau bersamaku lagi. Cinta adalah pengorbanan. Tapi cinta tidak hanya tentang berkorban untuk bisa bersama dengan orang yang kau cintai. Ketika tidak punya pilihan selain melepasnya pergi, pengorbanan itu seharusnya juga dinamakan cinta." Daniel menarik napas panjang, suaranya terdengar menahan kepahitan.

"Apa sekarang kau masih mencintainya?"

"Ya. Dia ... sulit dilupakan."

Tentu saja. Fritdjof sangat tahu betapa istimewanya Kana dan seorang laki-laki tidak akan dua kali bertemu wanita seperti Kana. Sulit untuk melupakan ketika sudah terlanjur mengenalnya. Sisa makan siang mereka lebih banyak digunakan Fritdjof untuk menanyakan kemungkinan membuka usaha di sini, dari segi hukum untuk warga negara asing sepertinya. Walaupun pikiran Fritdjof tidak sepenuhnya berada di sini.

***

Kana melirik the Danish boss slash boyfriend-nya yang sedang menyetir dalam diam. Sejak mereka masuk mobil Fritdjof tidak bicara sama sekali. Memang Fritdjof pendiam, tapi tidak sesenyap ini juga. Tadi siang semuanya masih baik-baik saja. Masih bersemangat memberi tahu Kana mengenai rencana besarnya—yang akan dibicarakan dengan salah satu temannya semasa kuliah. Tetapi setelah pulang makan siang, Fritdjof sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Sampai waktunya pulang. Juga Fritdjof tidak membalas pesan Kana yang menanyakan bagaimana tadi pertemuannya dan mereka akan pulang jam berapa.

"Sayang…." Kana mencoba memecah keheningan di antara mereka. Sayangnya, Fritdjof tidak bekerja sama, tetap diam menatap jalanan di depannya.

"Apa kamu sakit?" Kana memandang Fritdjof khawatir dan ingin menempelkan punggung tangannya di dahi Fritdjof. Tetapi urung melakukan. Seluruh bahasa tubuh Fritdjof seperti menunjukkan ia tidak ingin disentuh. "Atau ... kamu ada masalah?" Bagaimana pun juga, Kana sudah menganggap dan mengakui Fritdjof sebagai kekasihnya, jadi apa yang terjadi pada Fritdjof, Kana berhak tahu.

Walaupun Fritdjof menganggap Kana apa juga Kana tidak tahu. Dianggap tembok mungkin. Saat ini Kana merasa dirinya sudah bisa dipercaya, lebih-lebih oleh kekasihnya, meski hanya sekadar sebagai pendengar. Teman berbagi beban. Atau perasaan, paling tidak. Tidak masalah Kana tidak diajak mengambil keputusan. Kalau mau sampai pada level itu, Kana harus menunggu hingga menjadi istri Fritdjof dulu mungkin.

"Kamu mau makan di rumahku malam ini? Aku akan masak." Kana mencoba mencairkan ketegangan. Biasanya Fritdjof senang sekali kalau disogok makanan, apalagi masakan Kana.

Walaupun sudah sangat lelah, Kana bersedia memasak. Makanan apa saja yang diinginkan kekasihnya, Kana akan membuatkan. Asalkan Fritdjof tidak mendiamkannya seperti ini.

"Tidak," jawab Fritdjof singkat.

Kana mengernyitkan kening. Suara Fritdjof membuat hati Kana menggigil. Dingin sekali. Sama seperti Fritdjof yang memarahi Kana karena datang terlambat pada hari pertama Fritdjof bekerja dulu.

"Memangnya kamu sudah makan malam?"

Kana belum makan. Atau tidak akan makan. Tidak ada nafsu makan. Bagaimana dia ingin makan kalau hatinya cemas karena kekasihnya mendiamkannya seperti ini? Sedari siang yang dilakukan Kana hanya menoleh ke ruangan Fritdjof terus. Berharap Fritdjof keluar dari sana dan mengatakan sesuatu kepada Kana.

"Sudahlah, Kana! Aku lelah! Kamu bisa tidak diam dulu?!"

Suara Fritdjof yang meninggi membuat Kana tergeragap. Biasanya Fritdjof yang memaksa ikut makan bersama Kana. Sekarang ditawari, justru Kana dibentak.

"Ya sudah kalau nggak mau makan. Kenapa teriak-teriak sih? Memangnya aku tuli." Kana mengelus dada. Kaget karena Fritdjof tiba-tiba marah. Dosa apa hari ini, keluh Kana dalam hati.

Hingga mereka sampai di area parkir penghuni apartemen, berjalan melintasi lobi, masuk lift dan sampai di lantai tujuan, Fritdjof sama sekali tidak mengatakan apa-apa.

"Fritdjof...." Panggil Kana ketika Fritdjof berjalan lurus ke apartemennya, tidak berhenti di apartemen Kana terlebih dahulu seperti biasanya. Biasanya Fritdjof akan memastikan Kana masuk. Kemudian mencium Kana—dalam dan lama—sebelum meninggalkan Kana untuk pulang ke apartemennya sendiri. Beberapa kali Fritdjof kembali ke kantor setelah mengantar Kana pulang, untuk berkumpul lagi dengan gerombolan si berat.

"Aku sedang pusing." Fritdjof meninggalkan Kana, membuka pintu dan masuk ke apartemennya, membiarkan Kana sendirian termangu.

Apa salahku kali ini? Kana membatin dan masuk ke unitnya dengan perasaan khawatir, sedih, dan bertanya-tanya.

(Bersambung)