Fritdjof duduk diam menghabiskan nasi goreng di piringnya. Begitu sapai di rumah, Fritdjof merasa lapar lagi. Padahal tadi di kantor sudah makan. Dan Kana, meskipun matanya melotot sebal tapi tetap mau mengikuti Fritdjof ke apartemennya dan membuatkan Fritdjof makanan.
"Kamu cuci semua ini." Kana menunjuk bekas penggorengan dan kawan-kawannya.
Fritdjof mengangguk. Tidak masalah baginya. Bayaran yang tidak seberapa untuk bisa menikmati makanan selezat ini.
"Ke mana?" tanya Fritdjof ketika melihat Kana hendak keluar dari dapur.
"Pulang."
"Jangan dulu," Fritdjof mencegah.
"Apa lagi, Frits? Kamu belum kenyang? Aku sudah capek. Ngantuk." Kana masih saha sulit memercayai ada orang dengan kapasitas perut sangat besar. Nasi goreng di piring Fritdjof tadi sudah diisi penuh-penuh oleh Kana dan kini sudah hampir tandas.
"Mau ngobrol dulu."
"Ngobrol? Maksudmu bukan aku cerita sendiri terus kamu cuma dengerin kan?"
Karena Fritdjof irit bicara, selama ini Kana yang selalu mendominasi percakapan. Orang Denmark ini bicara paling panjang tiga kalimat. Atau empat. Kadang-kadang kalau Kana sedang beruntung, Fritdjof akan bicara lebih panjang lagi.
"Aku akan bicara." Fritdjof mengemasi piring kotor di meja.
Saat Fritdjof memunggungi Kana untuk mencuci piring, Kana keluar dari dapur. Sudah selarut ini Kana masih berduaan dengan laki-laki. Di rumah laki-laki yang tinggal sendiri. Kalau ayah dan ibu Kana masih ada, pasti sudah habis Kana dimarahi. Atau diseret pulang.
***
Fritdjof menyelesaikan tugas mencuci piring dan sebagainya, lalu mencari-cari kopi kaleng di kulkas. Meski sudah larut, Fritdjof tetap ingin minum kopi. Well, Danes drink coffee three cups a day. Or four. Saat Fritdjof keluar dari dapur, dia tidak menemukan Kana di ruang TV. Mungkin Kana sudah pulang. Fritdjof sudah akan mengambil ponselnya, ingin memastikan kalau Kana pulang ke unitnya ketika dia melihat pintu menuju balkon terbuka.
Kana berdiri di sana, menyandarkan perutnya pada besi pengaman. Apartemen ini tidak memiliki pemandangan yang indah, hanya gedung-gedung tinggi dan langit malam yang penuh polusi. Bahkan bintang pun tidak tampak dari sini. Kalah dengan lampu kota.
Fritdjof memperhatikan tubuh Kana dari belakang. Untuk ukuran orang Asia, Kana terbilang tinggi. Dan seksi, kepala Fritdjof menambahkan. Walaupun tinggi badan Kana tak melebihi bahu Fritdjof. Tubuh Kana sedikit bergetar ketika angin malam berhembus agak kencang. Sambil menggelengkan kepala, Fritdjof berjalan pelan dan mendekati Kana. Kenapa wanita ini suka menyusahkan diri sendiri? Bagaimana kalau dia sakit karena kedinginan? Bukannya beranjak, Kana justru menutup matanya dan mendongakkan kepalanya ke atas.
"What are you up to?" Fritdjof berbisik di telinga Kana.
Kana sedikit terkejut ketika Fritdjof berdiri di belakangnya dan kedua lengan Fritdjof melingkari perut Kana. Normalnya, Kana akan meronta atau marah-marah kalau ada laki-laki sembarangan menyentuhnya begini. Tetapi kali ini, tubuh Kana rileks di pelukan Fritdjof. Rasanya seperti ... sedang pulang ke rumah setelah bepergian jauh dan lama. Di sini rasa lelah hilang. Di sini rasa aman datang.
Kana merasa hangat ketika hawa dingin, yang sempat menerpanya tadi, kini tidak terasa lagi. Tubuh Fritdjof terasa sangat besar sehingga bisa melingkupi badan Kana. Kana memarahi dirinya sendiri. Ini bukan kali pertama ada laki-laki yang memeluknya. Tidak perlu sampai berdebar-debar dengan norak seperti ini. Tetapi kali ini sungguh berbeda. Tubuh Kana tidak bisa diajak kompromi. Jantung Kana berdetak sangat cepat, sampai-sampai Kana takut Fritdjof bisa mendengar suaranya.
"Kamu tidak mau membagi apa yang ada di kepalamu? Tidak mau cerita padaku?" Fritdjof menempelkan dagunya di puncak kepala Kana.
Napas Fritdjof menyapu kulit kepala Kana. Tersenyum lebar, Kana kembali memejamkan mata dan menghirup wangi tubuh Fritdjof. Juga menikmati berada dalam pelukan lengan kukuh ini. "Kalau aku minta kamu loncat ke bawah sana ... apa kamu mau?"
Kana memandang ke bawah dengan ngeri. Sebenarnya Kana tidak suka berada di tempat tinggi di ruang terbuka. Karena kepala Kana selalu tergerak membayangkan yang bukan-bukan. Bagaimana rasanya jatuh ke bawah sana, misalnya, selalu muncul jika dia membuka mata di tempat tinggi dan terbuka. Makanya sejak tadi Kana berdiri di sini dengan memejamkan mata dan menatap ke atas.
"Yes, I will."
"Eh? Why?" Kana mengerjapkan mata. Fritdjof menjawab dengan ringan, seperti Kana hanya memintanya mencuci piring.
"Karena aku tahu kamu pasti akan menahan tanganku dan menarikku kembali ke sini."
"Kalau aku nggak mau gimana?" tanya Kana.
"Then I'll die with belief that you tried your best but couldn't save me." Fritdjof mencium puncak kepala Kana. Lembut dan lama.
Kana mendesah dalam hati, kenapa laki-laki ini begitu mudah memercayainya. Benak Kana sering dipenuhi pikiran bagaimana jika pada akhirnya dialah yang akan menyakiti Fritdjof. Bukan sebaliknya.
___
(Bersambung)