Chereads / The Danish Boss / Chapter 6 - SEX: Apakah Ini yang Disebut Cinta?

Chapter 6 - SEX: Apakah Ini yang Disebut Cinta?

Alen punya teori, yang menyatakan bahwa seharusnya seorang programer adalah orang yang sabar, karena terlatih untuk bersabar. Mereka tahan mencari satu bug—cacat dalam kode program—selama satu hari penuh tanpa marah dan mengumpat. Karena kemarahan dan umpatan tidak akan membuat bug itu muncul dengan sendirinya. Kana tidak setuju dengan teori ini. Karena kesabarannya benar-benar habis dalam waktu lima menit saja. Sore ini Kana keluar dari apotek dan sudah memanggil taksi online. Berkali-kali dia dibatalkan dan membuatnya kesal sekali. Biasanya Kana ke mana-mana naik bus, tapi kali ini perutnya sakit sekali karena nyeri haid dan tidak punya tenaga untuk berjalan menuju halte.

Kana baru akan menelepon kakaknya untuk minta dijemput—sudah menyerah mencari taksi—ketika seseorang menepuk pundaknya. Saat menoleh ke belakang, Kana melihat Fritdjof berdiri menjulang di sebelahnya.

"Kamu sedang apa?" tanya Fritdjof. Sama seperti Kana, Fritdjof masih mengenakan baju yang dipakainya ke kantor hari ini.

"Nunggu dijemput," jawab Kana sambil meringis menahan sakit.

"Dijemput pacar?"

"Kakak." Kana menjawab dengan ketus, tidak mengerti kenapa Fritdjof konsisten sekali menanyainya perihal pacar.

"Kamu tidak apa-apa? Wajahmu pucat." Dengan sigap Fritdjof menahan lengan Kana saat Kana terseok-seok berjalan menjauhinya. "Ayo, pulang bersamaku."

Fritdjof menuntun Kana menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari apotek. Detik ini Kana sudah tidak punya tenaga lagi untuk menepis lengan Fritdjof, yang kini melingkari pundaknya. Ini bukan pertama kali Kana berangkulan dengan laki-laki. Tetapi kali ini rasanya begitu berbeda. Rangkulan Fritdjof menjanjikan perlindungan dan rasa nyaman. Kuat sekaligus lembut. Keinginan Kana untuk memberontak sudah lenyap tak bersisa, karena menyenangkan menyandarkan kepala di lengan atasannya.

Fritdjof membantu Kana masuk mobil, kemudian memasangkan sabuk pengaman untuk Kana. Menit berikutnya Fritdjof menyetir dalam diam. Tadi Fritdjof sedang dalam perjalanan menuju ke supermarket ketika melihat Kana berdiri di pinggir jalan sambil memegangi perutnya dan tampak kesakitan. Tanpa berpikir dua kali Fritdjof berhenti dan memarkirkan mobilnya di tempat kosong yang pertama kali terlihat olehnya. Demi Kana, Fritdjof memilih melupakan rencana untuk bertemu dan makan malam bersama teman-temannya.

Fritdjof tertawa dalam hati, tidak biasanya Fritdjof membatalkan janji yang sudah dibuatnya terlebih dulu. Kalau sudah memutuskan seperti ini, Fritdjof harus menemukan alasan yang tepat untuk diberikan kepada teman-temannya. Sebab selama ini Fritdjof dikenal sebagai orang yang sangat tepat waktu. Well, once again, he is a Danish. Seorang Danish tidak pernah datang terlambat saat membuat janji. Semenit pun tidak pernah terlambat. Apalagi tidak datang.

Hal paling mudah yang bisa kita lakukan untuk orang yang kita cintai adalah mengesampingkan kepentingan kita sendiri. Kemauan dan keikhlasan untuk melakukan hal-hal di luar kebiasaan—bahkan mungkin tidak kita sukai, kerelaan untuk melakukan apa saja demi seseorang, disebut orang dengan cinta. Cinta? Tanpa sadar Fritdjof tersenyum. Sambil matanya melirik wanita yang terkulai lemas di sebelahnya.

Fritdjof ingat tadi pagi dia melihat Kana berpelukan dengan Alen. Kenapa gadis ini tidak dijemput Alen? Di kantor, kedua orang itu seperti tak terpisahkan. Makan siang, ngopi, apa saja, selalu dilakukan berdua. Semua interaksi menunjukkan bahwa mereka sangat dekat. Pegawai yang lain juga tidak risih melihat Kana dan Alesn berpelukan atau bergandengan tangan di kantor. Apa ada sesuatu yang terlewat olehnya?

Fritdjof memarkirkan mobilnya di tempat parkir tamu di depan gedung apartemen mereka, sebelum membantu Kana turun dan menuntunnya berjalan menuju lobi.

"Kamu sakit?" Fritdjof tidak tahu kenapa Kana terlihat lemas seperti ini.

Pertanyaan Fritdjof hanya dijawab Kana dengan gelengan kepala sambil menyandarkan punggungnya di dinding lift. Fritdjof menekan-nekan tombol untuk membuat lift turun ke lantai satu. Keluar dari lift, Kana berjalan pelan menuju unitnya, diikuti Fritdjof di belakangnya. Tenaga Kana tidak ada lagi untuk mengusir Fritdjof yang ikut masuk ke unitnya.

Yang pertama dilakukan Kana ketika sampai di tempat tinggalnya adalah masuk ke kamar dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Dia melihat Fritdjof menyusul sambil membawa segelas air untuknya. Kana duduk, mengambil obat pereda nyeri di tasnya, dan menenggak habis seluruh air di gelasnya.

"Aku akan memesan makanan dari restoran di bawah. Kamu mau apa?" Fritdjof memandangi Kana yang kembali berbaring.

Kana menggeleng, dia tidak nafsu makan dan lebih memilih untuk memejamkan mata.

***

Kana tidak tahu berapa lama dia tertidur ketika merasakan ada sentuhan lembut di lengannya.

"Kamu harus makan dulu." Ada Fritdjof berdiri di samping tempat tidurnya.

Kana mengangguk patuh. Membiarkan Fritdjof membantunya berdiri, menuntunnya dan mendudukkannya di sofa merah di depan TV.

Perut Kana menghangat ketika dia sudah menghabiskan setengah isi mangkuknya. Chicken soup. Kana memperhatikan Fritdjof yang sedang mengunyah kentang—roasted potatoes. Masih ada mediterranean chicken dan dua semolina pudding. Kana belum pernah mencoba makan di restoran di lantai dasar apartemen ini, selama ini dia lebih sering memasak atau makan di luar bersama Alen dan Kira.

"Apa kamu perlu sesuatu lagi?" Fritdjof bertanya dengan lembut.

Kana merasa ada yang salah dengan telinganya. Selama ini dia hanya mendengar suara Fritdjof yang tajam dan datar. "Salah dengar ya tadi."

"Kamu tidak apa-apa?" Fritdjof menatapnya dengan alis bertaut.

"Mmm...." gumam Kana sambil menggeleng.

Tubuhnya sudah lebih baik sekarang. Fritdjof membereskan bekas makan mereka dan Kana masuk ke kamarnya untuk mandi air hangat. Obat penghilang rasa sakit dan sup tadi sedikit membantu Kana. Ketika Kana keluar dari kamar setengah jam kemudian, Fritdjof sedang duduk menonton televisi.

"Besok tidak usah masuk kerja dulu," saran Fritdjof saat Kana duduk di sampingnya.

Kana hanya mengangguk sebagai jawaban.

Hanya suara televisi yang terdengar. Fritdjof menonton film dokumenter, sedangkan Kana sibuk dengan pikirannya sendiri. Sudah dua kali dia memperbolehkan Fritdjof masuk ke sini. Selama ini Kana tidak pernah membawa laki-laki ke sini. Apartemen ini milik Kira, yang dibeli ketika mereka merasa tidak sanggup hidup di rumah orangtua mereka. Rumah yang terlalu penuh dengan kenangan indah. Rasanya tidak pantas kalau berbuat macam-macam dengan laki-laki di rumah orang lain, meskipun itu rumah kakaknya sendiri. Kalau berdua dengan pacar tidak mungkin hanya duduk diam menonton TV seperti ini. Paling tidak akan berciuman dengan sangat menggebu-gebu sampai lupa diri.

Untung laki-laki di sebelahnya ini bukan pacarnya, jadi mereka tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak yang bisa membuatnya malu kalau Kira datang kapan saja. Baru beberapa menit duduk, mata Kana terasa sangat berat dan tubuhnya semakin merosot. Seharian ini dirinya merasa luar biasa lelah, tidak tahu karena pengaruh hormon atau karena memang otaknya berteriak minta ampun setelah diajak bekerja terlalu keras. Rasa tenang dan nyaman yang dia rasakan sepanjang sore ini membuat tubuhnya rileks dan mudah sekali mengantuk. Kana masih sempat merasakan Fritdjof menarik kepalanya.

Dan Kana menyukai ini. Kana menyukai lengan Fritdjof yang merangkulnya.

(bersambung)