Fritdjof tersenyum melihat Kana tidur dengan nyaman di pelukannya. Setelah menunggu tiga puluh menit, dia memutuskan untuk menggendong Kana ke kamar. Di pelukannya, Kana bergerak-gerak gelisah sambil menggumamkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Fritdjof.
"Sshh ... it's okay," bisiknya menenangkan Kana, lalu gadis itu kembali tidur setelah menyurukkan kepalanya ke leher Fritdjof.
Mungkin Kana bicara karena sedang bermimpi, tapi Fritdjof tidak peduli. Dia sudah terlalu lama tidak merasakan ada wanita dalam pelukannya. Dengan hati-hati Fritdjof membaringkan Kana dan menutupi tubuh Kana dengan selimut tebal sampai ke leher Kana.
"Kamu tidak boleh sembarangan membiarkan laki-laki melakukan ini padamu." Fritdjof mendekatkan tubuhnya lalu mencium bibir Kana.
Hangat, lembut, dan manis. Fritdjof menggeram kesal ketika memikirkan kemungkinan Kana dicium oleh Alen, anak buahnya sendiri. Melihat kedekatan mereka di muka publik, sangat mungkin mereka juga melakukan hal yang sama saat berdua. Seharusnya Kana tidak membiarkan Fritdjof berada di dekatnya terlalu lama kalau memang sudah punya kekasih.
Tidak terlihat Kana dan Alen sedang memiliki masalah komunikasi. Tadi saat Fritdjof melewati ruangan mereka, ruangan anak-anak itu, Kana dan Alen sedang saling melempar biskuit dan tertawa-tawa ketika biskuit itu tepat masuk ke mulut Alen.
Fritdjof mendengus. There's no such thing as fair play anymore. Jadi apa masalahnya, kalau memang Alen dan Kana adalah sepasang kekasih? Kepala Fritdjof mencoba berpikir rasional. Diam dan tidak melakukan apa-apa tidak akan membuat Fritdjof mendapatkan Kana. Kalau Fritdjof tidak bergerak untuk memenangkan hati Kana, dia hanya akan merana melihat Kana bersama laki-laki itu. Tidak ada pilihan lain, Fritdjof akan membuat Kana harus memilih di antara dua laki-laki yang menyukainya. Malam ini Fritdjof meninggalkan apartemen Kana dengan keyakinan Kana pasti memilih dirinya.
***
"Oh My God." Ketika sedang memakai sepatu, Kana mendengar desahan Kira dari luar, melalui pintu depan yang dibiarkan setengah terbuka.
"Hey, there." Kana kembali mendengar kakaknya menyapa seseorang. "I didn't know you live next door." Riang sekali suara Kira.
Kana mendengar langkah kaki mendekat ke arah mereka.
"Nice to meet you too." Suara yang sudah sangat dikenal Kana menjawab sapaan Kira.
Melalui ujung matanya, Kana melihat Kira sedang mengobrol dengan Fritdjof. Kakaknya sedang memandangi Fritdjof dengan tatapan terpesona. Itulah Fritdjof effect yang bisa menjangkiti setiap wanita. Kalau Kana tidak mempunyai daya imun yang kuat pada hatinya, mungkin dia juga sudah memandangi Fritdjof dengan tatapan memuja.
Kana berjalan keluar dan menutup pintu apartemennya. Sepagi ini dia sudah harus bertemu dengan atasannya. Apa ini keberuntungan atau kesialan, Kana tidak tahu.
"Feeling much better?" Kali ini Fritdjof menatap lurus ke arah Kana.
"Thanks for ... everything." Kana mengucapkan terima kasih atas bantuan Fritdjof sore itu.
Cepat-cepat Kana menarik tangan Kira untuk segera berangkat. Kana tahu Kira sedang menatap Fritdjof—dan Kana—penuh rasa ingin tahu. Pasti Kira penasaran, mau tahu apa yang terjadi di antara Kana dan Fritdjof.
"New boss." Kana berbisik pada Kira sebelum mereka masuk lift. Penjelasan singkat ini seharusnya bisa menghilangkan keingintahuan Kira.
"Kan, kayaknya aku harus mampir dulu ke rumah Eva." Kira berbicara sambil menatap layar ponselnya. Kakaknya adalah bos yang tidak memiliki jam kerja tetap, berbeda dengan Kana yang kalau terlambat sedikit saja dimarahi oleh atasannya, yang sejak tadi hanya diam berdiri di sudut kanan lift.
"Ya udah, aku naik bis." Kana mengangkat bahu. Eva, sahabat kakaknya, sedang hamil besar. Mungkin Eva perlu bantuan Kira mengingat suaminya sedang berada di luar negeri.
Kana turun di lantai dasar, langsung berjalan menuju jalan raya, bergabung dengan orang-orang yang berjalan kaki, bergegas menuju tempat kerja masing-masing. Sedangkan Kira dan Fritdjof menuju basement untuk mengambil mobil mereka.
Sebuah mobil berhenti di sebelahnya, ketika Kana sedang berdiri di pinggir jalan.
"You'd better get in." Dari kaca yang sudah diturunkan, Kana melihat Fritdjof duduk di belakang kemudi dan memandang ke arahnya.
Mengabaikan tawaran Fritdjof, Kana melangkahkan kakinya menjauh.
Suara Fritdjof terdengar lagi. "Sudah terlalu siang untuk naik bus."
Sial, Fritdjof benar. Kana memeriksa jam tangannya. Ini karena Kira berbasa-basi dengan Fritdjof agak lama tadi. Kana menimbang-nimbang sebentar lalu memutuskan untuk ikut mobil Fritdjof. Daripada terlambat dan kena marah bosnya. Lebih baik dia terlambat bersama bosnya. Sambil memikirkan itu, Kana membuka pintu penumpang dan memasang sabuk pengamannya.
Bagaimana reaksi para gadis—Raina, Rachel, Valeri dan anggota FFC atau Fritdjof fans club yang lain—ketika mengetahui Kana datang ke kantor satu mobil dengan idola mereka?
"Kalau Kira tidak bisa mengantarmu, kamu bisa ikut mobilku." Fritdjof memecah keheningan di antara mereka.
"Apa?" Kana terperangah mendengar ide fantastik yang keluar dari mulut Fritdjof. Itu adalah gagasan paling tidak masuk akal yang pernah didengar Kana.
"Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Kana."
"Terus aku dicakar-cakar sama penggemarmu bergitu sampai kantor? Nggak deh, terima kasih." Kana menolak tawaran Fritdjof.
"Penggemar?" Fritdjof tersenyum geli. Sejak kapan dia punya penggemar?
"Iya, penggemar. Apa kamu nggak tahu kamu itu penggemarnya banyak di kantor? Ada fans club-mu. FFC." Orang ini benar-benar tidak sadar kalau dia populer atau bagaimana. Kana sebal sekali. Apa dia tidak merasa bahwa banyak gadis yang sengaja menunggunya agar bisa berdiri dalam lift yang sama? Setiap pagi.
"Seperti nama restoran cepat saji." Fritdjof tertawa pelan.
"Yeah, Fritdjof Fried Chicken." Kana menyahut.
"I smell jealousy." Tidak ada salahnya menggoda gadis ini. Fritdjof ingin tahu reaksinya.
"I don't get jealous!" Kana menjawab sambil bersungut-sungut, membuat Fritdjof menahan tawa melihatnya.
"Okay. Let's say you don't. So, are you one of them?" Fritdjof berusaha menahan tawa.
"Them?" Kana menoleh cepat ke arah Fritdjof.
"My fans." Mobil Fritdjof berhenti di parking lot di belakang gedung kantornya.
"Ha! In your dream!" Kana berteriak sebelum turun dan menutup pintu mobil Fritdjof.
Fritdjof tertawa lepas. Selama ini Fritdjof membiarkan kotak tertawanya kering. Sepertinya ini sudah saatnya kotak itu mulai terisi lagi. Terisi tawa bersama Kana.
***
Tiga orang wanita keluar dari lift di lantai tiga, menyisakan mereka berdua di dalamnya. Kana melirik Fritdjof yang berdiri tenang sambil menulis pesan di ponsel. Lift bergerak ke atas dan berhenti sebentar di lantai empat.
Kana menggigit bibir bawahnya sebelum menggumamkan nama Fritdjof. "Fritdjof...."
"Yes?" Tentu saja Fritdjof mendengar suara pelan Kana, suara jarum jatuh juga terdengar dalam suasana sehening ini.
"Thank you." Terlepas dari ketidaksukaan Kana terhadap caranya dan Fritdjof memulai pertemanan, Kana tetap ingin berterima kasih karena Fritdjof menyelamatkannya yang hampir pingsan di jalan sore itu.
"Anytime, Sunshine." Fritdjof tersenyum lebar mendengar dirinya memanggil Kana ... sunshine?
Setelah kenal dengan Kana, Fritdjof merasakan semangatnya kembali bangkit. Fritdjof bersemangat pergi ke kantor hanya karena ingin melihat gadis itu tersenyum, walaupun bukan untuknya. Hatinya mendadak dipenuhi dengan harapan, mungkin Kana adalah jawaban yang dicarinya selama ini. Jawaban yang tidak ditemukannya di Copenhagen dan membuatnya merantau sampai jauh ke negara ini.
Sementara itu Kana menundukkan kepala. Pipinya terasa panas mendengar suara Fritdjof. Suara Fritdjof juga membuat hatinya menghangat dan melayang.
Ding!
Lift berhenti di lantai lima.
Saved by the bell. Kana mengembuskan napas lega dan melangkah cepat menuju ruangannya sedangkan Fritdjof berjalan di belakangnya.
"Al!" Teriak Kana ketika melihat Alen berjalan keluar dari kamar mandi. Kana langsung sibuk berceloteh, kali ini membahas tentang persiapan pernikahan Alen dan Kira.
Dari kejauhan, Fritdjof memandang keduanya dengan tatapan tidak suka.
"Dammit, back to square one," umpat Fritdjof dalam hati.
(bersambung)