Kana sedang memasukkan kode ke pintu apartemennya ketika mendengar suara langkah kaki di selasar yang sunyi. Saat menoleh ke kiri, hendak mengecek milik siapa langkah kaki tersebut, dia mendapati Fritdjof sedang melangkah ke arahnya. Tidak cukup melihatnya di kantor, Kana juga harus melihat laki-laki ini di sini. Orang yang tidak terlalu menyenangkan bagi Kana, baik sebagai pribadi atau sebagai atasan.
"Apa kamu tinggal di sini?" Fritdjof sudah berdiri di sebelah Kana.
Kana mengangguk. Kata 'kamu' terdengar sok akrab di telinga Kana. Seminggu ini, di kantor, orang ini menggunakan kata ganti 'anda' setiap bicara pada Kana.
"Tinggal sendiri?" Fritdjof bertanya lagi.
"Nggak." Kana menggeleng dan mendorong pintu unitnya hingga setengah terbuka. "Anda mau mampir?" tanya Kana, sekadar berbasa-basi karena melihat atasannya masih diam di tempatnya. Tidak tampak buru-buru beranjak pergi.
Fritdjof tetap diam dan menatap tajam ke arah Kana. Membuat Kana menelan ludah dengan tidak nyaman. Kenapa laki-laki ini tidak bisa bersikap sedikit lebih ramah? Bahkan sorot mata dan bahasa tubuhnya seolah memperingatkan dia tidak ingin siapa pun mendekatinya. Sudah jelas ada peringatan begitu, Kana masih saja menawarinya untuk mampir.
"Boleh."
Jawaban Fritdjof membuat Kana langsung menyesal. Sebelumnya Kana sudah yakin kalau bosnya akan menolak tawarannya. Mungkin di sini Fritdjof sedang mengunjungi temannya di sekitar sini.
"Jangan pernah telat lagi, juga jangan telat sama deadline, dia itu sudah bilang kalau dia nggak bisa menoleransi keterlambatan. Satu detik pun." Beberapa kali Alen mengingatkan Kana.
Fritdjof mengikuti Kana masuk dan Kana menyuruhnya duduk di sofa di depan televisi. Satu-satunya tempat yang bisa diduduki Fritdjof di apartemen kecil milik Kira. Setelah itu Kana berjalan ke dapur, mengambil minuman di kulkas dan memberikan kaleng minuman ringan kepada Fritdjof. Kana tidak mau repot-repot membuatkan minuman hangat.
"Apa kamu tinggal di sini bersama pacarmu?" Fritdjof mengamati sekelilingnya. Seluruh ruangan terkesan feminin. Walpaper-nya berwarna salmon. Tidak ada benda-benda yang menunjukkan ada laki-laki yang tinggal di sini.
"Nggak. Kalau kamu nggak keberatan, aku akan ke dapur untuk masak. Karena aku lapar." Tanpa menunggu jawaban, Kana meninggalkan Fritdjof.
Kana tidak ingin terlalu lama satu ruangan dengan atasannya. Setiap kali bersama Fritdjof, Kana selalu ingin menatap bola mata berwarna biru itu. Ada sesuatu di sana yang membuat Kaka penasaran dan Kana bersedia selamanya tersesat di dalamnya untuk mencari tahu. Tetapi Kana menahan diri. Akan sangat tidak sopan kalau dia terang-terangan menatap mata Fritdjof.
"Apa kamu tidak keberatan kalau aku ikut makan malam denganmu?" Tanpa dipanggil, Fritdjof menyusul Kana ke dapur. "Lain kali aku bisa mentraktirmu makan malam untuk menggantinya." Dengan santai Fritdjof menarik satu kursi dan duduk.
Kepala Kana menoleh ke belakang. Baru kali ini ada laki-laki selain Alen duduk di kursi itu. Dahi Kana mengerut, berpikir sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa dia menyiapkan piring untuk dua orang. Kana merebus pasta sambil menyiapkan saus bolognese. Tidak lupa meatballs. Setelah memeriksa isi kulkasnya, dia masih bisa membuat salad. Salad dressing di kulkasnya juga masih cukup untuk dua porsi salad.
***
Fritdjof mengamati Kana yang sedang memotong tomat ceri dan sayuran lain. Sejak tadi Kana memunggunginya. Meski tidak melihat ekspresi wajah Kana, Frtidjof tetap bisa menilai bahwa Kana menikmati kegiatannya di dapur. Sedari tadi Kana bersenandung kecil. Suaranya lembut dan menenangkan. A woman who knows how to cook is really beautiful. Seharusnya sekarang Fritdjof telah mendapatkan kehidupan seperti ini. Setiap pulang ke rumah di malam hari, ada seorang wanita yang menyambutnya, yang membuat semua rasa lelahnya hilang hanya dengan senyum cantiknya, wanita yang menyiapkan makanan untuknya dengan penuh rasa cinta. Sayangnya, harapan itu terlalu berlebihan. Wanita yang dia inginkan untuk menjadi istrinya … Fritdjof menarik napas dan melarang dirinya sendiri untuk memikirkan masa lalu.
Sepiring pasta dan semangkuk salad mendarat di depan Fritdjof. Juga teko bening berisi air putih dingin beserta dua buah gelas. Kana tidak mengatakan apa pun, menyilakan Frirdjof makan pun tidak. Hanya duduk di kursi di seberang Fritdjof dan sibuk dengan piringnya sendiri.
Tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua. Hanya sesekali denting garpu dan sendok meningkahi suasana. Namun Fritdjof sama sekali tidak keberatan. Aneh sekali, Fritdjof tersenyum dalam hati. Di sini Fritdjof menemukan kenyamanan dalam keheningan. Nyaman adalah rasa yang dicari Fritdjof jauh-jauh hingga ke benua ini. Kenyamanan yang ternyata dia dapatkan di sebuah dapur kecil, saat menikmati sepiring pasta bersama wanita yang tampak tidak ingin bercakap dengannya.
***
Sudah dua tahun Fritdjof tinggal di negara ini. Di dua kota berbeda. Minggu lalu dia mulai menempati apartemen ini. Juga pindah dari tempat kerjanya yang lama. Keputusan yang tepat. Karena kehidupannya akan semakin menarik mulai dari sini. Fritdjof tersenyum samar, merasakan Kana sedang mengamatinya sambim menikmati the hangat. Sebagai rasa terima kasih karena sudah diizinkan menumpang makan malam, Fritdjof mencuci piring dan peralatan memasak.
Ada beberapa alasan kenapa Fritdjof menyukai negara ini. Pertama, tidak ada seorang pun yang mengetahui masa lalunya. Sehingga Fritdjof terbebas dari pertanyaan orang tentang masa lalunya. Ini sangat membantu Fritdjof untuk cepat bangkit dan melupakan semua kejadian buruk tersebut. Negara ini sangat hangat, dalam segala aspek, seperti yang dia inginkan. Cuaca di Denmark benar-benar mengerikan dan tidak masuk akal. Fritdjof lega akhirnya bisa terbebas dari udara dingin dan langit gelap yang ada sepanjang tahun di sana.
Tidak hanya cuaca saja yang hangat, orang Indonesia pun bersikap hangat dan ramah kepadanya. Hingga hari ini belum pernah sekali pun Fritdjof bertemu orang yang ketus atau jahat kepadanya. Orang Indonesia selalu mengucapkan kata maaf ketika tidak sengaja menabrak orang lain, mengatakan permisi ketika lewat dan ingin minta jalan, dan banyak lagi. Di sini tidak aneh orang mengajak ngobrol siapa saja—orang lain di warung kopi, di pinggir jalan, sopir taksi atau siapa saja—dan semua akan menjawab tanpa memasang wajah sebal.
Tidak seperti di negara asal Fritdjof. Di sana mereka merasa tidak perlu mengatakan maaf atau permisi. Tidak suka beramah-tamah dengan orang lain. Hanya menanggapi orang dengan seperlunya saja. Atau tidak ditanggapi sama sekali. Masing-masing individu sangat tertutup dan tidak suka akrab dengan orang lain. Jika ada orang yang bertanya kabar, orang Denmark dengan tidak acuh akan menjawab 'baik'. Mau kabar mereka buruk atau sangat buruk, mereka tetap menjawab baik. Karena mereka tidak benar-benar ingin orang tahu bagaimana kabar mereka. Kalau orang sedang bernasib baik, Danes akan bersikap sopan. Ya, hanya sopan. Karena mereka tidak mengenal kata ramah.
Fritdjof, as same as other Danes, is very cold and take a long time to warm up to people. Bukan Fritdjof tidak tahu bahwa semua orang Indonesia yang mengenalnya menganggapnya dingin dan kaku. Fritdjof ingin bersikap dingin kepada orang-orang yang baru ditemuinya di sini. Teman-teman setimnya terutama. Tetapi Frtidjof memang tidak terbiasa cepat akrab dengan orang baru. Fritdjof terlahir dan tumbuh besar bersama dengan kebiasaan itu. Sehingga sulit sekali untuk diubah.
Kebiasaan tersebut mulai terlihat tidak menguntungkan ketika Frirtdjof tertarik pada Kana di kesempatan pertama. Tidak mudah bagi Fritdjof untuk memulai percakapan dengan Kana. Saat itu atau hari ini. Demi Tuhan, Fritdjof sudah berusaha membuat suaranya terdengar ramah. Tetapi suara yang keluar dari mulutnya tetaplah dingin dan datar. Suaranya lebih terdengar seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi pencuri. Dan itu, tampaknya, meninggalkan kesan buruk mengenai dirinya pada Kana. Kana bukan wanita pendiam, Fritdjof bisa membaca. Hanya saja Kana tampak enggan berbicara dengan Fritdjof. Bagaimana Fritdjof akan bisa masuk ke dalam hidup Kana, kalau duduk bersamanya saja Kana terlihat tersiksa.
"What is the algorithm* for approaching a woman? Looks like there is a bug in my social life that I must solve," gumam Fritdjof dalam hati.
--
*Urutan langkah logis untuk menyelesaikan masalah dalam pemrograman
(bersambung)