Fritdjof memandang kosong layar komputernya. Sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan ini? Tujuh tahun? Atau lebih? Alasan Fritdjof memilih bidang ini, salah satunya karena dia tidak ingin terlalu banyak berurusan dengan wanita. Sebagian besar waktunya dihabiskan bersama software developer, programmer, software engineer dan siapa saja, yang berhubungan dengan bidang ini, yang sebagian besar adalah lakilaki. Departemen lain mungkin memiliki banyak karyawan wanita, tapi Fritdjof tidak sering berinteraksi dengan mereka. Atau berusaha tidak berurusan dengan wanita. Terakhir kali berhubungan dengan wanita, hidupnya berubah menjadi bencana.
Fritdjof senang sekarang para wanita sudah memiliki kesempatan yang lebih besar dalam STEM—Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Jenis kelamin tidak lagi memengaruhi proses promosi. Semua pegawai harus mau menghormati atasannya, tidak peduli atasannya perempuan atau laki-laki. Dalam urusan pendapatan pun perlahan mulai disetarakan. Di tempat kerjanya yang lama, Fritdjof termasuk saah satu orang yang mengusahakan agar gaji programer wanita dan laki-laki tidak dibedakan. Namun di antara beberapa perlakuan berbeda yang kurang menyenangkan tersebut, ada stereotype sama yang berlaku baik kepada programer laki-laki dan wanita, adalah sama. Wanita-wanita dan para laki-laki tersebut dilabeli geeky, anti sosial, serta kurang memerhatikan penampilan.
But that isn't always the case. Ada satu pengecualian di tim ini, Fritdjof melihatnya hari ini. Satu kata yang langsung tergambar di kepalanya ketika melihat wanita itu adalah cantik. Wanita itu memakai celana berwarna putih, yang membungkus kakinya yang ramping dan jenjang dengan sempurna. Seperti celana tersebut khusus dibuat hanya untuknya. Inner, blazer dan sepatu berhak sangat tinggi yang dia kenakan berwarna hitam. Profesional dan seksi pada saat bersamaan. Siapa pun tidak akan percaya ketika diberi tahu bahwa Kana adalah seorang software engineer, bukan public relationship manager.
Rambut hitamnya tebal dan panjang mencapai punggung, dibiarkan tergerai dengan ikal di ujungnya. Sederhana namun sempurna. Beberapa kali wanita itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Tidak terhitung berapa kali Firtdjof harus menghilangkan keinginan untuk mengubur jemarinya di rambut yang indah dan tampak lembut itu. Fritdjof ingin sekali menatap lekat-lekat bola matanya yang juga berwarna hitam. Ketika wanita itu tersenyum kepada Alen, salah satu senior di timnya, Fritdjof bisa melihat lesung pipit di kedua pipinya. Cantik luar biasa.
Namun wanita itu memiliki satu kekurangan. Tidak menghargai waktu. Tadi pagi dia datang terlambat dan membuat Fritdjof kesal luar biasa. Bagi Fritdjof, keterlambatan adalah perbuatan tak termaafkan. Dalam budayanya, budaya yang dibawa dari negaranya, terlambat sama dengan tidak sopan. Plus, dia tidak suka melihat orang yang berbuat sesukanya lantas berharap dimaklumi. Setelah teguran keras Fritdjof tadi, Fritdjof mengira wanita itu akan mendatangi Fritdjof secara pribadi di sini dan merengek agar dimaafkan. Selama ini Fritdjof banyak menjumpai wanita seperti itu, memanfaatkan kelebihan fisiknya untuk mengambil hati atasannya. Tetapi Frtidjof salah. Sampai selepas makan siang, tidak ada tanda-tanda wanita itu akan masuk ke ruangannya. Kana. Begitu wanita itu tadi memperkenalkan namanya.
Tanpa bisa dicegah, senyum terbit di wajah Fritdjof. Malam ini Frirdjof tidak akan bisa tidur nyenyak. Bukan karena memikirkan pekerjaan. Tetapi menghitung waktu sampai dia bisa melihat wajah Kana lagi keesokan hari.
***
"Aku dan Alen berencana menikah tahun ini." Kira duduk di tepi tempat tidur Kana.
"Serius?" Kana membelalak tak percaya. "Kalian belum setahun pacaran."
"Kakak dan Alen males pacaran lama-lama. Capek. Boros." Kira beralasan.
"Capek dan boros gimana?" Kana memandang kakaknya tidak mengerti.
"Pacaran itu butuh tenaga dan biaya untuk ketemu pacar, kalau menikah kan nggak, karena tinggal serumah," jelas Kira lalu tertawa.
"Cuma karena itu Kakak mau menikah sama Alen? Apa nggak terlalu cepat? Mungkin Kakak perlu mengenal Alen lebih dalam lagi." Kalau ada yang membuat Kana iri kepada kakaknya, itu adalah kemampuan Kira membuat keputusan dalam waktu cepat.
"Kakak dan Alen memang sudah merasa siap untuk menikah. Secara mental, finansial, segalanya. Kakak sudah yakin Alen adalah orang yang tepat untuk Kakak. Kami saling mencintai." Kira menjelaskan dengan benar kali ini.
"Kakak beruntung. Alen sangat mencintai Kakak. Semua orang bisa melihatnya." Kana memeluk kakaknya, satu-satunya keluarga sedarahnya yang tersisa. Sejak orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil lima tahun yang lalu, Kira menggantikan peran orangtua mereka menjaga Kana. Kira memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai relationship manager di sebuah bank dan melanjutkan bisnis milik ayah mereka, usaha di bidang event organizer.
"Kita akan dapat tambahan keluarga baru." Kana tersenyum lebar. "Ada Alesn dan anak-anak kalian nanti."
"Setelah kami menikah, kamu mau ikut tinggal sama kami nanti?" Kira menawarkan.
"Ngapain aku tinggal sama pengantin baru?" Kana tertawa mendengar ide paling konyol yang pernah ada.
"Kalau kamu mau, kamu bisa bersih-bersih rumah Kakak." Kira menjawab lalu tertawa.
"Berani gaji berapa?" Kana tertawa. "Tapi aku tinggal di sini saja kalau boleh." Resminya apartemen ini milik Kira.
"Kamu nggak papa nanti sendirian di sini?" Kira menatap Kana tidak yakin.
"Astaga, Kak. Aku bukan anak umur sepuluh tahun." Kana mengingatkan kakaknya. Bulan lalu Kana sudah merayakan ulang tahun kedua puluh tujuh.
Kira menganggukkan kepalanya, setuju dengan Kana. "Kakak cuma nggak terbiasa hidup tepisah sama kamu, Kan. Oh, apa kamu punya pacar?"
"Apa hubungannya kita nggak pernah hidup terpisah sama aku punya pacar? Jawabannya, nggak, aku nggak punya pacar. Kakak sendiri yang bilang aku nggak boleh lagi gonta-ganti pacar." Kana sampai tidak bisa menghitung berapa kali Kira menasihatinya untuk berhenti mempermainkan perasaan laki-laki. Sampai sekarang, rekor berkencan Kana bisa membuat orang menggelengkan kepala. Sudah tidak bisa dihitung dengan jari.
"Tapi Kakak nggak bilang kamu nggak boleh pacaran sama sekali. Kalau ada satu laki-laki yang mencintaimu dan membuatmu jatuh cinta padanya, kamu harus pacaran dengannya."
"Ya belum dapat aja." Kana asal saja menjawab.
"Cari yang serius, Kana. Kamu sudah dewasa. Nanti suatu saat perlu berkeluarga. Sebentar lagi Kakak akan menikah, juga punya keluarga sendiri. Mungkin berkurang waktu yang bisa Kakak gunakan untuk menemanimu. Kamu perlu pasangan pada saat itu." Kira menepuk lengan Kana lalu meninggalkan Kana melamun sendirian di tempat tidur.
Sudah tiga bulan Kana tidak punya pacar. Rekor terbaik, atau terburuk, karena Kana belum pernah jomlo dalam waktu selama ini. Laki-laki datang dan pergi dalam hidupnya. Atau Kana yang sengaja membuat mereka datang lalu memaksa mereka pergi. Kana membenamkan kepalanya ke bantal. Saat ini dia sedang tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Sepertinya Kira benar. Pacaran itu melelahkan.
(Bersambung)