***
Ku tak pernah tahu belokan takdir mana yang akan ku lewati, biarlah Sang Pemegang Takdir yang mengarahkanku ...
***
Cicit burung pipit menyambut pagi yang cerah. Hujan deras semalam hanya meninggalkan jejak genangan air di permukaan tanah yang bergelombang, pohon dan dedaunan yang basah, serta teras rumah yang dingin dan berembun.
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, bel tanda apel pagi pun baru saja berdentang dan menggema di seantero sekolah. Tapi belum ada tanda-tanda pintu rumah Ayushita akan terbuka. Suasana masih sunyi seakan belum ada aktifitas kehidupan yang terjadi dalam rumah itu.
Firda merasa gelisah karena Ayushita belum hadir ke sekolah sama sekali. Pak Mardi pun tak luput menanyakan keberadaan salah satu bawahannya tersebut. Firda mencoba menghubungi gadis itu namun nomor kontaknya di luar jangkauan.
Setelah meminta izin ke Pak Mardi, Firda berinisiatif menengok Ayushita di kediamannya. Sesampainya di sana, Firda menemukan suasana sepi dan pintu yang terkunci.
Kemana Ayushita? Dia sangat yakin kalau dia mengantar Wonder Woman itu pulang semalam. Tidak mungkin pergi ke suatu tempat sepagi ini kan?
Firda mengecek jendela depan yang masih tertutup namun sulit untuk menengok ke dalam. Hanya saja lampu di kamar Ayushita masih menyala. Saat Firda mendekati jendela kamar Ayushita dari arah samping rumah, sayup-sayup telinganya menangkap suara rintihan dari dalam kamar.
"Sita? Sit, kamu ada di dalam?" teriak Firda dengan suara panik. Tak ada jawaban, hanya suara rintihan itu masih terdengar. Rasa panik kian berlipat menerpa Firda. Dia berusaha berpikir jernih.
Yang pertama terlintas di pikirannya adalah menghubungi seseorang. Nama Dokter Arjuna yang pertama terbersit dalam pikirannya. Mengapa?
Pertama karena dia pria yang bisa diandalkan semisal nantinya harus mendobrak pintu rumah Ayushita. Kedua, dia seorang dokter. Mengingat kondisi Ayushita, pria itu adalah orang yang tepat untuk memberikan pertolongan pertama seandainya terjadi sesuatu yang gawat pada Ayushita. Firda hanya bisa percaya Dokter Arjuna saat ini.
Dengan lincah tangan Firda menemukan kontak Arjuna dan melakukan panggilan. Dering ketiga panggilan tersambung. Suara serak dan lelah menyeruak rongga rungu Firda.
"Halo, Fir. Ada apa?" Arjuna menjawab dengan suara malas.
"Dokter lagi dimana?" Firda memastikan posisi Arjuna dulu karena setahunya Arjuna ke rumah sakit kabupaten semalam.
"Lagi di rumah. Baru bangun," jawab sang dokter.
"Syukurlah. Bisa ke sini dulu?" seru Firda dengan napas mulai menderu.
"Kesini kemana? Ada apa?" tanya Arjuna dengan nada bingung.
"Ayushita," Firda menelan ludah sejenak,
"Sepertinya Ayushita lagi sakit. Dia sama sekali belum bangun dan keluar rumah sampai sekarang. Tolong cepat ke sini."
Demi mendengar nama Ayushita disebut dengan nada panik Firda, seketika mata Arjuna terbuka lebar. Dia langsung bangun duduk di pinggir tempat tidur.
"Bagaimana kondisi Ayushita?" tanya Arjuna sambil bangkit ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi dengan terburu-buru. Ponsel di letakkan di atas lemari kecil di atas wastafel dalam mode loudspeaker.
"Aku belum tahu kondisinya. Pintu rumahnya terkunci dari dalam. Aku hanya mendengar suara rintihan di dalam," sahut Firda.
"Tunggu di sana. Segera cari orang untuk bantu buka pintu. Aku ke sana segera."
Arjuna memutuskan sambungan telepon dan bergegas ke kamar tidur untuk menyalin baju. Kemudian dia menyambar tas kerjanya dan masuk ke dalam mobil sedannya. Beruntung tadi dia sempat memanaskan mobil karena berencana akan ke rumah sakit kabupaten untuk menjenguk pasien bocah semalam.
Dengan wajah cemas Arjuna memacu mobilnya ke rumah Ayushita.
Sementara Firda masih berdiri di depan pagar berharap ada seseorang melintas untuk dimintai bantuan. Rasa panik membuatnya lupa menghubungi orang di sekolah untuk meminta bantuan.
Sesaat Firda termenung seolah mengingat sesuatu. Segera dia membuka tas di pundaknya, merogoh seluruh isi tasnya dan wajahnya langsung lega. Sebuah anak kunci ditemukan dalam tasnya.
Sesuai dengan ingatannya bahwa Ayushita pernah memberikan kunci cadangan padanya agar dia mudah masuk ke rumah gadis itu saat Ayushita tak ada. Tak diduga ide brilian Ayushita menyelamatkan situasi saat ini.
Dengan tangan gemetar Firda mencoba membuka pintu dengan anak kunci tersebut. Setelah pintu terbuka Firda menghambur ke kamar Ayushita. Firda memekik saat melihat Ayushita yang terbujur dengan wajah seputih kertas. Gadis itu bergelung selimut dengan tubuh menggigil hebat. Firda mengecek dahi Ayushita yang penuh peluh. Panas menyengat.
'Duh Gusti. Demam tinggi,' gumam Firda dengan gurat cemas.
Terdengar bunyi klakson mobil di luar. Firda kembali berlari ke depan menemui Arjuna yang juga tergesa-gesa turun dari mobilnya.
"Dok, badannya panas kaya bara api," kata Firda. Mereka masuk ke kamar Ayushita.
Arjuna menyibak selimut yang membungkus tubuh Ayushita, mengecek denyut nadi dan pernapasannya.
Tubuh Ayushita basah kuyup dengan keringat menyebabkan piyama tidurnya ikut basah. Beruntung gadis itu memakai piyama lengan panjang dengan celana panjang agak tebal.
"Keringkan keringatnya lalu ganti bajunya. Kita bawa dia Puskesmas," titah Arjuna lalu keluar memberi ruang privasi bagi Firda dan Ayushita.
Firda segera melaksanakan perintah Arjuna. Saat semua siap, Arjuna langsung meletakkan tangannya di bawah lutut dan punggung atas Ayushita, menggendong gadis yang sudah tidak sadarkan diri itu ke mobilnya. Firda menyusul di belakang membawa sebuah tas perlengkapan Ayushita.
Lima menit kemudian mereka tiba di Puskesmas. Arjuna segera turun dan menghampiri kursi penumpang belakang dimana Ayushita tergeletak di pangkuan Firda. Arjuna kembali menggendong Ayushita yang terlebih dahulu kepalanya ditutup dengan selembar kain sarung oleh Firda karena sebelumnya Ayushita tidak memakai kerudung. Firda sangat paham bahwa dalam kondisi bagaimana pun dia harus tetap menjaga aurat sahabatnya meskipun Arjuna sudah terlebih dahulu melihat rambut legam dan panjang Ayushita.
Kedatangan mereka disambut wajah keheranan Dian dan salah satu perawat. Ketika Arjuna memberi kode untuk membuka salah satu kamar rawat tertutup, Dian segera berlari membuka pintu kamar tersebut. Kamar tersebut hanya diisi dengan sebuah ranjang, sebuah meja nakas dan dua buah kursi kayu jati. Sepertinya ini kamar VIP untuk ukuran Puskesmas ini.
Arjuna meletakkan tubuh Ayushita di atas ranjang. Dia lalu kembali menempelkan stetoskopnya di permukaan dada Ayushita.
Jika ada yang bisa menengok jantung Arjuna maka orang itu akan tahu bahwa saat ini jantung Arjuna berdebar tak beraturan saat menempelkan stetoskopnya di permukaan kulit putih Ayushita. Baru kali ini dia melihat kondisi gadis itu tanpa kerudung. Rambut legam, lurus dan panjang Ayushita menyita perhatian Arjuna sesaat. Namun pria itu harus bersikap profesional dan mengedepankan kode etik petugas medis di depan pasien.
Dian yang sedang memasang tabung IV untuk Ayushita melirik sejenak ke arah Arjuna. Dia menangkap raut khawatir di wajah sang dokter meskipun pria itu tetap menampakkan wajah tenang seperti biasa. Rasa kesal menyeruak dalam hati Dian.
Setelah menerima penanganan cepat dari Arjuna, akhirnya Ayushita tertidur pulas tanpa menggigil lagi. Demamnya masih tinggi. Tapi Firda bisa bernapas lega karena Ayushita akan lebih mudah di awasi jika tinggal di tempat itu.
"Kamu mau balik ke sekolah?" tanya Arjuna pada Firda saat mereka keluar dari kamar rawat Ayushita.
"Aku sudah menelepon Pak Mardi dan meminta izin. Aku juga sudah menjelaskan kondisi Sita. Beliau memberikanku izin sampai besok," jawab Firda.
"Temanilah dia sampai sadar. Nanti perawat akan memasak bubur untuknya. Kamu suruh dia makan saat bangun nanti," pinta Arjuna seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas snelinya.
"Baik, Dok."
"Kapan demamnya akan turun?" tanya Firda.
"Insyaallah saat sadar nanti demamnya akan turun. Untuk saat ini keadaannya sudah tidak terlalu mnegkhawatirkan." Arjuna menghela napas panjang seraya mengusap rambutnya.
"Aku menyesal meninggalkan dia sendiri semalam," sesal Firda. Mereka sama-sama terdiam sejenak.
"Oke. Aku ke ruanganku dulu. Sepuluh menit lagi aku ke rumah sakit menengok bocah semalam. Kamu jaga dia baik-baik." Arjuna sudah beberapa langkah menuju ke ruangannya saat dia berbalik kembali.
"Fir, jangan biarkan pria lain masuk. Kalau dia sudah sadar pakaikan dia kerudung. Aku tidak suka kalau ada pria lain yang memandangi rambutnya," ujar Arjuna.
Firda tersenyum lebar mendengar titah sang dokter. "Asiyaaaap, Dok!" Mengerling ke Arjuna seraya mengangkat tangan sikap hormat.
Arjuna berlalu dengan senyum mengembang di bibirnya. Entah mengapa ada bahagia membucah di dadanya dan juga rasa posesif untuk gadis yang kini jadi pasiennya.
Semoga ini adalah jalan untuk bisa dekat dengan gadis lemah itu. Ah, calon masa depanku,' lirih Arjuna dalam hati.
***
Di kediaman keluarga Danuar.
Danuar duduk di salah satu sofa ruang keluarga bersebelahan dengan Elena. Pak Yuda dan Nyonya Rosita duduk berhadapan dengan keduanya. Danuar hanya menunduk begitu pun dengan Elena yang gentar menghadapi tatapan tajam kedua orang tua Danuar. Tak ada satu pun yang memulai pembicaraan.
"Ada apa kalian datang kemari?" Suara Pak Yuda memecah keheningan di antara mereka.
Danuar mendehem lalu memberanikan diri memandang wajah ayahnya.
"Pa, Ma, Danuar datang meminta restu untuk menikahi Elena," kata Danuar. Jantungnya berdebar sangat cepat. Tapi dia sudah bertekad apa pun akan dia lalui hari ini demi mendapat restu baginya dan Elena.
Wajah Pak Yuda langsung merah padam. Kemarahan langsung berkobar di dadanya.
"Kamu ... berani-beraninya datang meminta restu setelah mempermalukan keluargamu, hah??" Pak Yuda sudah berdiri dari tempat duduknya.
"Pa ... !!" Nyonya Rosita memegang lengan suaminya untuk menenangkannya.
"Aku mencintai Elena, Pa. Aku tidak mau pisah dengan dia. Untuk Ayushita, aku merasa bersalah tapi aku tidak mencintainya. Aku hanya mau menikahi Elena," ujar Danuar frontal. Hal itu semakin menyulut kemarahan ayahnya.
"Maaf Om, Tante. Saya sangat mencintai Danu dan saya juga tak ingin pisah dengan dia. Mohon Om dan Tante merestui kami." Elena ikut memohon dengan wajah memelas.
Pak Yuda hanya bisa memijit pelipisnya demi meredakan amarah yang bisa mempengaruhi perasaannya. Dia tidak mau gegabah membentak gadis muda di hadapannya itu. Ini bukan sepenuhnya salahnya.
"Nak, kami sangat menyayangimu karena kamu adalah anak semata wayang kami. Papa dan Mama menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jujur Mama belum bisa menerima semua ini," tukas Nyonya Rosita dengan wajah sedih.
"Ma, aku tidak bisa memaksakan perasaanku sesuai dengan keinginan Mama dan Papa. Aku hanya mencintai Elena. Dan tanpa restu kalian aku akan tetap menikahi Elena," tegas Danuar.
Pak Yuda dan Nyonya Rosita terkejut. Putra mereka tidak bisa dibujuk lagi. Dengan terang-terangan dia berkeras pada keputusannya.
Pak Yuda berdiri membelakangi putranya. Wajahnya tampak sangat sedih.
"Pergilah! Lakukan apa yang kamu suka. Kamu sudah dewasa. Bukankah kamu tak mengharapkan restu kami. Kamu sudah tahu apa jawaban Papa dan Mamamu. Jadi lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Papa tidak peduli," ucap Pak Yuda seraya menahan sebak di dadanya. Nyonya Rosita mulai terisak di sampingnya.
Danuar terdiam. Sementara Elena mulai bersorak dalam hati. Meskipun kedua orang tua Danuar tidak merestui mereka tapi pernyataan sikap Danuar untuk mempertahankannya membuat dia lega. Tak apa jika kedua orang tua itu tidak merestui mereka, toh saat dia menikah dengan Danuar nanti dia tetap akan menjadi bagian dari keluarga Raharja yang kaya raya yang mana Danuar adalah pewaris tunggalnya. Dan saat mereka punya anak nanti lambat laun mertuanya pasti dapat menerimanya.
"Maaf kalau aku telah mengecewakan Papa dan Mama. Tidak lama lagi aku akan menikahi Elena. Papa dan Mama tidak perlu khawatir. Elena adalah kebahagiaanku dan berharap kelak Papa dan Mama juga bisa menerima Elena," ujar Danuar seraya berdiri dari tempat duduknya. Dia meraih tangan Elena yang ikut berdiri. Sebelum mereka pergi kembali terdengar suara ayahnya yang serak menahan sesak.
"Dan ada yang perlu kamu tahu. Lima puluh persen saham di perusahaan atas nama Papa sampai Papa dan Mamamu meninggal. Saham atas namamu hanya dua puluh persen," Pak Yuda berhenti sejenak menarik napas. "Tiga puluh persennya atas nama Ayushita."
Danuar terkejut. "Kenapa, Pa?"
Pak Yuda berbalik menatap putranya lalu berganti ke kekasih putranya.
"Saat perusahaan hampir bangkrut, Papanya Ayushita meminjamkan dana untuk menyelamatkan perusahaan meubel kita. Pinjaman tanpa jangka waktu," terang Pak Yuda.
"Apakah karena pinjaman itu hingga perjodohan ini direncanakan?" tanya Danuar.
"Tidak. Papa rasa kamu sudah tahu bahwa kalian dijodohkan oleh Mamamu dan Mama Sita sejak lama. Bahkan sebelum masalah pinjaman itu. Pak Ruslan juga tidak menuntut apa pun karena dia menjaga hubungan silaturahmi kedua keluarga kita. Hanya saja Papa tahu diri ketika Mama Sita meminta melanjutkan perjodohan itu. Apalagi saat Mamamu tahu kalau Sita juga menyukaimu. Papa punya utang budi pada keluarga mereka. Mereka keluarga baik-baik dan Sita adalah gadis yang baik pula."
Danuar menggenggam erat tangan Elena saat mendengar penuturan ayahnya. Dia tahu Elena pasti sakit hati.
"Saat rencana pertunangan itu dibatalkan, Papa mengalihkan tiga puluh persen saham perusahaan atas nama Ayushita," lanjut Pak Yuda.
"Mengapa, Pa?" Danuar memandang ayahnya dengan raut tidak paham.
"Karena saat Papa akan mengembalikan pinjaman pada Pak Ruslan, beliau tidak mau menerimanya karena tidak mau melanggar perkataannya. Dia tulus membantu Papa dan dia tahu perusahaan kita belum sepenuhnya stabil. Itulah mengapa dia menolak pengembalian dana itu dan pembatalan perjodohan kalian tidak akan disangkut pautkan dengan masalah perusahaan. Papa malu sama Pak Ruslan. Papa tidak punya muka lagi menghadapi kebaikan mereka apalagi Sita. Akhirnya Papa dan Mama sepakat untuk mengalihkan tiga puluh persen itu atas nama Sita sebagai tebusan rasa bersalah kami," tutup Pak Yuda lalu beranjak meninggalkan putranya yang masih mematung di tempatnya.
"Mama pikir kamu sudah dewasa dan bijak. Mungkin sudah waktunya Mama melepaskan kamu untuk menentukan keinginanmu. Maaf kalau Mama sulit memberi restu pada Elena karena Mama tidak bisa mengkhianati hati Mama, Nak. Mama cuma berharap kamu bahagia dengan pilihan kamu. Pulanglah saat kelak kamu ingin pulang," Nyonya Rosita pun ikut menyusul suaminya.
"Sayang ..." Elena membuyarkan keterpakuan Danuar. Pria itu memandang wajah sendu kekasihnya. Dengan berat Danuar meninggalkan rumahnya sambil memegang erat tangan Elena, menguatkan hatinya atas keputusan yang sudah diambilnya. Dia tidak mungkin mundur lagi. Karena dia sudah berjanji pada Elena.
Bersambung ...
๐๐๐
Cinta adalah segalanya tapi restu orang tua adalah jalan untuk menuai berkah dalam mengarungi suatu hubungan. Ridho orang tua apalagi Ibu adalah ridho Allah.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBERIKAN APRESIASI YANG BESAR BAGI BWW. SEMOGA CERITA INI BISA KITA PETIK HIKMAHNYA DAN MENJADI PEMBELAJARAN.
SEE YOU NEXT CHAPTER ๐