***
Cinta bisa tumbuh dari kebersamaan, rasa nyaman, rasa simpati, atau rasa saling membutuhkan. Ada juga yang mencari rasa cinta pada keelokan paras, kemolekan tubuh, limpahan harta atau tingginya strata sosial. Lalu, cinta seperti apakah cintamu?
***
Sudah hampir tiga bulan Ayushita berada di kampung Petak Hijau. Dia mulai terbiasa dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Semakin hari Ayushita semakin dekat dengan Joe. Pemuda itu telah banyak berubah. Penampilannya berubah, pakaiannya lebih santai dan kalem, tubuhnya menjadi lebih bersih dan berisi. Karena sehari-hari bekerja keras di tambak Pak Jaja, otot-otot tubuhnya terbentuk sempurna tanpa harus ke tempat fitnes. Tubuh Joe jadi lebih maskulin dengan posturnya yang sedang.
Warga pun mulai bisa menerima perubahan Joe. Banyak ibu-ibu yang memakai jasanya untuk beberapa pekerjaan dengan upah layak. Tidak hanya sendiri, Joe juga mengajak teman-teman se-gengnya untuk berubah.
Di pagi hari mereka akan bekerja di peternakan milik Pak Junaid, ayah Firda. Siang hari mereka membantu Pak Jaja. Dan di sore hari mereka melakukan aktifitas pribadi mereka. Kemana Joe di sore hari?
Kemana lagi kalau bukan menempel pada Ayushita. Dia dengan setia akan menemani guru Bahasa Inggris itu memancing yang menjadi hobinya sejak tinggal di kampung itu. Saat memancing Joe dengan tekun membaca berbagai buku atau novel yang dibawa oleh Ayushita. Joe adalah pemuda yang cerdas. Dia tidak sungkan mengungkapkan pikiran-pikirannya mengenai hal-hal yang telah dibacanya. Hal itu yang membuat Ayushita semakin kagum dengan semangat pemuda itu.
Di malam hari, setelah shalat Magrib Joe dan kawan-kawannya belajar tata cara shalat dan baca Alquran pada Ustad Anwar, Imam kampung. Semua atas anjuran Ayushita. Awalnya Ayushita akan membimbing mereka sendiri, tetapi dia mempertimbangkan banyak hal. Karena dia adalah wanita dewasa dan Joe serta teman-temannya adalah pria dewasa pula yang bukan **mahrom-*nya, maka takutnya nanti akan timbul fitnah.
Sedangkan dokter Arjuna tidak tampak selama sebulan. Kata Dian, Arjuna sedang ke kota mengurus beberapa hal di rumah sakit yang mengirimnya tugas di kampung ini. Dian sengaja menberitahukan hal itu pada Firda dengan maksud pamer bahwa dia tahu segalanya tentang Arjuna. Sesuai harapan Dian juga, Firda menceritakan semua informasi itu meskipun Ayushita tidak bertanya.
"Aku cuma kasi tahu supaya kamu tidak penasaran tentang menghilangnya Dokter Arjuna," kata Firda saat itu.
"Emang aku bilang aku penasaran kemana dia pergi? Terserah dia mau pergi kemana?" kilah Ayushita.
"Ididiii ... yakin tidak penasaran?" goda Firda dengan senyum jahilnya.
"Tidak," sanggah Ayushita tanpa memandang Firda. Dia sibuk merapikan meja kerjanya.
"Padahal Dokter Arjuna suka banget sama kamu lho, Sit. Dua hari yang lalu dia chat aku tanyain kamu," ujar Firda seraya mengamati ekspresi sahabatnya. Heran. Ayushita tidak peduli sama sekali.
"Kamu tidak mau tahu dia ngomong apa?" tanya Firda lagi.
"Emang dia ngomong apa?" tanya Ayushita dengan nada cuek.
Firda tersenyum simpul sebelum menjawab.
"Dia tanya kabarmu terus dia pesan supaya aku jaga kamu baik-baik," jawab Firda lugas.
"Emang aku siapanya?" Ayushita menoleh ke arah Firda dengan kening berkerut.
"Calon masa depannya katanya," kata Firda dengan senyum lebar.
"Cih, najis!" dengus Ayushita sembari menepuk bahu Firda yang terbahak-bahak.
"Eits, mulut bisa menyangkal tapi debaran hati yang berbicara, tuh wajahmu sampai merona merah jambu tuh." Firda terkikik, "Siapa tahu ada malaikat lewat terus mengamini ucapan saya tadi, gimana?" cerocos Firda semringah.
"Ucapan yang mana?" Wajah Ayushita benar-benar merona. Tapi merona geram dengan tingkah sahabatnya.
"Itu tuh ... kalau Ayushita Ramadhani adalah calon masa depan Dokter Arjuna Prawira," tukas Firda sambil menekankan setiap kata dalam ucapannya.
"Firdaaa ... ," teriak Ayushita pada sahabatnya yang sudah berlari menghindari pukulan Ayushita di lengannya.
"Iya calon Nyonya Arjuna. Aamiin!" balas Firda tanpa berhenti terkekeh.
"Awas kamu ya?" Ayushita bercakak pinggang geram.
"Iya ya aku tahu kok. I love you, too," Firda hanya melambai ke arah Ayushita kemudian melangkah ke kelas.
Firda tahu Ayushita tidak serius marah padanya. Mereka sangat menyayangi satu sama lain. Persahabatan mereka masih seumur jagung namun kasih sayang mereka tak bisa dibandingkan dengan apapun.
Sebagai sahabat, Firda sangat mengenal Ayushita dengan baik. Semua luka dan kesedihannya, segala kesendiriannya. Ayushita bukan pribadi yang introvert tetapi gadis itu bukan pula orang yang mudah membagi kesusahan dan kesulitannya. Dia selalu berusaha tegar meskipun dia tidak sekuat batu karang. Namun dia juga bukan gadis rapuh yang mudah terbawa emosi karena dia akan berusaha menjadi setangguh Black Widow, seperti katanya dulu.
Dan sejak Arjuna menaruh perhatian lebih pada Ayushita, Firda bertekad akan membantu mendekatkan kedua insan yang sama-sama suka jaga imej saat bertemu itu.
Gadis kampung Petak Hijau ini pantang menyerah menjodohkan Ayushita dan Arjuna. Katanya mereka berdua cocok. Dari segi latar belakang, pendidikan, dan segalanya. Ayushita cantik dan luwes akan mampu mengimbangi Arjuna yang tampan, cool dan punya banyak penggemar. Dan sepertinya pria itu juga dari kalangan orang berada. Dian itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Ayushita.
Dan untuk Dian, Firda akan melakukan sesuatu untuk menyadarkan posisi gadis tidak tahu malu itu.
***
Akhir pekan yang sejuk. Hujan baru berhenti mengguyur bumi Petak Hijau siang tadi. Setelah hampir tiga bulan Ayushita tinggal di kampung ini, semalam pertama kalinya hujan turun mendinginkan tanah yang kering berdebu.
Ayushita telah membuat janji akan berkumpul dengan Firda, Joe dan gengnya di hari Minggu sore. Mereka akan membahas sesuatu yang masih dirahasiakan oleh Ayushita.
Setelah shalat Ashar, Ayushita telah siap pergi. Dia mematut dirinya di depan kaca lemari. Gamis hitam dipadankan dengan kerudung abu-abu yang menutupi dada. Wajahnya hanya ditabur sedikit bedak dan bibirnya dipoles lipgloss warna soft pink agar tampak segar.
Tak lama terdengar seseorang mengetuk pintu sambil memberi salam. Ayushita menjawab salam lalu segera membuka pintu.
Dia terkejut. Di depan pintu berdiri seorang pemuda memakai kemeja hitam lengan pendek dan celana jins biru yang sudah lusuh dengan perawakan sedang. Rambutnya dipotong rapi berwarna hitam. Dan senyumnya. Oh, senyum itu sangat familiar.
"Joe?" Tatapan Ayushita terpaku pada penampilan baru Joe. Pemuda itu tersenyum tampan memperlihatkan giginya yang putih berseri. Sepertinya Joe tidak pernah merokok meski dia mantan preman.
"Ya Allah. Penampilanmu? Kamu keren sekali Joe." Ayushita tak dapat menyembunyikan kekagumannya.
"Terima kasih." Joe sampai merona mendapat pujian dari Ayushita.
"Aku datang menjemput Kak Sita. Apakah sudah siap?" tanya Joe menutupi rona malunya.
Mereka telah sepakat akan memanggil sebutan 'Kakak' kepada Ayushita saat di luar jam sekolah seperti halnya mereka memanggil Firda dengan sebutan yang sama.
"Yuk berangkat," kata Ayushita lalu mengunci pintu rumahnya.
Mereka lalu berjalan beriringan keluar pintu pagar. Joe kemudian naik ke atas sebuah motor matic.
"Motor punya siapa ini Joe?" tanya Ayushita.
"Punya Pak Jaja. Saya pinjam tadi siang untuk ke tempat tukang cukur di kampung sebelah. Sekalian saya balikin habis Magrib," jawab Joe. Dia lalu menyalakan mesin dan mempersilahkan Ayushita naik ke boncengan.
Mereka menyusuri jalanan kampung yang sedikit becek setelah diguyur hujan. Lima menit kemudian mereka tiba di depan rumah Firda. Beberapa teman Joe telah berkumpul di sebuah aula di samping rumah Firda. Aula ini sengaja dibangun Pak Junaid untuk dijadikan tempat kegiatan anak-anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna. Aula di kantor desa hanya digunakan untuk keperluan rapat saja.
Ketika Ayushita dan Joe hendak masuk ke pekarangan aula, Arjuna juga sedang keluar dari pintu pagar pekarangan rumah dinasnya. Mata Arjuna seketika bersirobok dengan mata Ayushita yang refleks menoleh ke arahnya. Sepasang mata masing-masing membola karena terkejut. Ayushita mengalihkan pandangan ke arah lain. Sedangkan Arjuna terus menatapnya lalu berganti ke arah pemuda di samping Ayushita.
Arjuna merasa mengenal pemuda itu. Seperti Joe tapi tampilannya berbeda.
Ayushita masuk ke aula diikuti oleh Joe di belakangnya. Sementara Arjuna segera masuk ke dalam mobil sedan hitam yang terparkir di sisi jalan.
Ayushita mengerutkan keningnya. Dia tidak memperhatikan jika sebenarnya ada mobil yang terparkir di sana sebelumnya. Ternyata itu mobil Arjuna. Karena selama ini pria itu selalu mengendarai motor kemana-mana.
"Apakah semua sudah berkumpul?" Firda membuka suara setelah mereka semua duduk.
"Sudah, Kak," jawab salah satu pemuda ceking teman Joe.
"Baiklah. Kita mulai ya. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh." Ayushita membuka pertemuan kecil mereka.
"Jadi sebenarnya saya meminta teman-teman semua berkumpul di sini karena ada proyek yang hendak saya bicarakan dengan kalian," lanjut Ayushita.
"Proyek apa?" sela Joe dengan raut serius seperti biasa.
"Hmm ... beberapa hari yang lalu salah satu teman saya yang bekerja di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten menelepon saya. Awalnya hanya basa-basi dan menanyakan kabar serta tempat kerja baru saya. Waktu saya bilang kalau saya mengajar di sini, teman saya itu memberi informasi tentang adanya program bantuan pemerintah daerah kepada kelompok tani di desa terpencil seperti desa kita ini."
"Bantuan seperti apa, Kak?" tanya pemuda lain yang tampak tertarik. Ayushita tersenyum melihat wajah mereka yang mulai antusias.
"Bantuan ini berupa modal untuk membuat usaha di bidang pertanian dan peternakan namun dengan syarat harus ada wadah kelompok tani yang legal untuk mengatur manejemen usaha. Jadi, saya meminta kalian datang sore ini untuk mengajak kalian, kalau mau, untuk sama-sama membuat sebuah kelompok usaha pemuda. Apakah kalian mau?" tutur Ayushita sembari mengedarkan pandangannya.
"Mau, Kak. Mau!" seru mereka bersemangat.
"Lalu, usaha apa yang akan kita buat?" tanya Firda.
"Menurut kalian?" Ayushita mencoba memancing ide Joe dan teman-temannya.
"Menurut Kakak usaha apa yang cocok?" Kali ini Joe yang bertanya.
"Jika kalian setuju, bagaimana kalau kita usaha ternak ayam petelur. Kampung kita punya sumber daya alam yang bagus untuk dijadikan modal awal. Selain itu sangat mudah mendapatkan pakan ternak di sini. Kita hanya perlu modal untuk mengadakan bibit dan peralatan lainnya. Saya dan Firda akan membuat proposal permohonan dana dan mengusahakan agar modal itu bisa cair. Sedangkan untuk pelaksanaan di lapangan saya serahkan pada Joe dan teman-teman. Firda juga sudah meminta bantuan pada Pak Junaid untuk membimbing kita mengelola usaha ini," tandas Ayushita dengan senyum manisnya.
Teman-teman Joe langsung bertepuk tangan senang. Mereka sangat setuju dengan rencana Ayushita. Meskipun Joe tidak mengungkapkannya tapi dari tatapan matanya Ayushita dapat melihat semangat dan rasa bahagia pemuda itu. Ayushita pun tersenyum padanya.
Pertemuan sore itu berlanjut pada pembahasan tentang apa saja yang akan mereka persiapkan. Dan diputuskan Firda yang akan menyusun proposalnya sedangkan Ayushita dan Joe yang akan mengantarkan proposal permohonan tersebut ke Dinas terkait.
Saat waktu Magrib menjelang mereka membubarkan diri. Di wajah mereka masing-masing tergambar secercah harapan akan masa depan yang lebih baik bagi kehidupan mereka nanti.
***
Malam harinya, setelah makan malam Ayushita mulai mempersiapkan materi ajar untuk besok. Ponselnya berdering tanda panggilan masuk.
Ayushita meraih ponsel di atas meja, nama Dokter Arjuna tertera di layar.
'Ada apa lagi dokter ini menelepon?'
Ayushita mengusap tanda panggilan diterima.
"Halo, Assalamu'alaikum," sapa Ayushita.
Sejenak tak ada jawaban dari seberang sambungan. Hanya tarikan napas berat yang menggema di ruang dengar Ayushita.
"Halo?"
"Halo, wa'alaikumussalam." Akhirnya suara Arjuna menyapa.
"Apa kabar, Ibu Ayu?" tanya Arjuna. Suaranya terdengar dalam dan berat.
"Baik. Bagaimana dengan Dokter sendiri?" Baiklah. Ini cuma basa-basi bukan bentuk perhatian ya.
"Saya kurang baik," Sekali lagi terdengar tarikan napas berat. Dahi Ayushita mengernyit.
"Ada apa? Apa Dokter kurang sehat?" timpal Ayushita. Sekali lagi ini bukan bentuk perhatian ya, hanya bentuk sopan santun.
"Sepertinya begitu," jawab Arjuna ambigu.
'Begitu bagaimana maksudnya ini?' gerutu Ayushita dalam hati.
"Mmm ... maksudnya, Dok?" tanya Ayushita hati-hati. Hening sejenak di ujung sana. Ayushita sampai memandang layar memastikan bahwa panggilan masih tersambung.
"Ayu!" Menghela napas. "Sepertinya saya sakit kangen sama kamu," ujar Arjuna dengan suara pelan. Ayushita menahan napas.
'Ya Rabb. Ini orang lagi mengigau mungkin.' desah Ayushita dengan wajah frustasi.
"Ayu. Kamu dengar tidak. Sebulan tidak ketemu kamu, saya rindu. Saya ingin nelpon kamu tapi saya takut kamu menolak lagi untuk bicara sama saya. Tapi hari ini saya tidak bisa menahannya lagi." Suara Arjuna terdengar serak.
"Oh!" Hanya satu gumaman pendek yang keluar dari mulut Ayushita. Dia benar-benar syok mendengar pengakuan Arjuna.
"Ayu!"
"Hmm?"
"Good night and have nice dream," ucap Arjuna.
"Iya." Ayushita langsung menutup telepon. Dia meraba pipinya. Panas. Mungkin juga sudah memerah.
"Aaaarrrghhh ...!! Kenapa aku jadi baper gini sih?" teriak Ayushita sambil membekap wajahnya dengan bantal.
Ponselnya kembali berdering. Tanpa melihat nama penelepon Ayushita langsung menjawabnya.
"Apa lagi?" tanya Ayushita dengan nada sengaja dibuat ketus. Dia mencoba menyembunyikan gejolak hatinya karena takut Arjuna dapat mengetahui debaran jantungnya dari suaranya.
"Apa yang apa lagi, Dek?" Suara berbeda namun tidak asing.
Ayushita menggeser ponsel dari kupingnya dan membaca nama di layar ponsel.
'Subhanallah. Kak Ayub. Mati aku.'
Bersambung ...
💝💝💝
Nb : Baca juga novel aku yang lain judulnya Sekretarisku Pengawalku.
Happy reading jangan lupa rate, batu kuasa dan komen membangun ya 😉