Happy reading!
***
Arjuna POV.
Astagfirullah. Sampai segininya jantungku berdebar. Apa benar aku jatuh cinta sama perempuan lemah itu? Ck. Menyusahkan benar perempuan itu. Satu bulan tidak ketemu dia malah datang terus ke pikiranku. Apa sih maunya?
Jujur ini mendebarkan. Entah apa yang merasukiku, kok aku bisa ngomong begitu sama dia ya? Mungkin kata-kata Mama yang mempengaruhi pikiranku.
Mama juga. Apa sih di pikiran Mama sampai punya pikiran mau menjodohkan aku lagi. Apakah penolakanku kemarin-kemarin tidak cukup? Kali ini anak temannya yang mana lagi yang mau dijodohkan sama aku. Huffttt ... kapan aku bisa menentukan pilihan sendiri. Ketika punya pilihan lagi orangnya malah cuek dan mengabaikanku. Kenapa aku ditolak terus?
#Flashback on.
Mama menelepon aku saat aku sedang bertemu dengan Direktur rumah sakit tempat aku bekerja di Kota P. Aku rasa Pak Direktur yang memberi tahu mama tentang kepulanganku yang hanya sementara ini. Karena selama di kampung Petak Hijau aku tidak pernah menghubungi mama sekali pun sehingga membuat wanita kesayanganku itu menggila di telepon.
"Baiklah Nyonya Indi sayang, putramu ini akan pulang ke rumah. Tunggulah. Aku masih ada pekerjaan di rumah sakit, Nyonya."
"Awas kalau nanti kamu tidak pulang, Mama akan kasi tahu Direkturmu untuk membatalkan tugasmu di pedalaman itu," Suara Mama penuh nada ancaman.
"Mama jangan suka mengancam Pak Direktur gitu. Juna malu sama beliau karena Mama suka bersikap semena-mena."
"Makanya cepat balik ke rumah."
"Iya, Mama sayang. Juna tutup dulu. Ada pasien darurat."
Malam harinya di sinilah aku di ruang makan rumah kami. Di depanku ada mama dan Elvira, adik bungsuku yang lebih memilih tinggal bersama Mama. Kami sedang menghadapi meja makan yang penuh dengan masakan mama.
"Mana suamimu, Dek?" tanyaku pada Elvira.
"Lagi ada dinas ke Kaltim," jawab Elvira sambil menyendok nasi dan udang goreng tepung ke piring di depanku.
"Makan sayang. Mama sengaja masak banyak untuk kamu," ujar Mama dengan wajah berseri.
"Ini kebanyakan, Ma. Mana bisa Juna habiskan semua. Sekalian panggil ART dan sopir makan bersama."
"Sebentarlah mereka makan," jawab mama.
"Sisihkan untuk mereka," perintahku. Elvira langsung paham dan segera menyisihkan beberapa lauk untuk ART dan sopir mama. Mama hanya diam.
"Sayang, ada yang Mama mau bicarakan." Aku menatap Mama yang tampak serius.
"Apa itu?"
"Mama punya teman. Dia punya anak gadis yang cantik dan juga kerja di pedalaman," tutur Mama dengan hati-hati. Aku mulai merasa tidak nyaman. Namun aku diam menunggu lanjutan ucapan mama.
"Mama berniat menjodohkan kamu dengan putri teman Mama itu," lanjut Mama.
Tuh kan. Perjodohan lagi. Mama benar-benar tidak pernah mengerti perasaanku.
Aku hanya bisa merutuk dalam hati. Aku menyudahi makanku, karena rasanya menu lezat ini berubah hambar.
Aku menatap mama tajam.
"Mama belum lupa kan dengan apa yang Juna katakan sebelumnya. Biarkan Juna menentukan pilihan sendiri. Juna tidak ingin terluka seperti Elvira. Juna masih punya kewajiban lain yaitu menjaga Mama. Jika sudah waktunya Juna juga akan menikah," ucapku penuh penekanan.
"Kapan sayang?" tanya Mama dengan wajah sendu.
Aku menghela napas panjang. Inilah yang membuat aku lemah. Tatapan sendu mama atau derai air matanya. Itulah mengapa aku membenci perempuan yang selalu mengandalkan air matanya untuk mencapai keinginannya. Walaupun mama ataupun adik-adik perempuanku adalah pengecualian.
"Kamu bisa lihat fotonya dulu sayang. Dia cantik dan baik. Kata mamanya dia anak penurut dan pandai." Mama belum putus asa membujukku.
Apakah dia secantik dan sebaik Ayu? Apakah gadis itu setangguh Ayu yang pandai menyembunyikan air matanya?
Entah mengapa saat ini yang terlintas di benakku adalah Ayushita. Gadis itu boleh dibilang merepresentasikan semua hal yang aku suka.
"Ma, saat ini Juna belum bisa memikirkan hal itu. Mohon Mama kasi Juna waktu, please!"
Mama dengan terpaksa menyetujui permintaanku. Bukan berarti dia mundur tapi dia akan menunggu sampai dia menemukan celah yang tepat untuk memaksaku lagi. Seperti itulah sifat wanita yang telah melahirkan ku ke dunia ini. Pemaksa.
#Flashback off.
Aku merebahkan tubuh di atas ranjang yang setia menemani malam-mamakku, meraih ponsel yang sebelumnya aku lempar ke sudut ranjang. Aku mau menelepon Firda, partner in crime ku dalam mendekati Ayushita.
Suara nada sambung terdengar lalu disusul suara cempreng Firda.
"Halo, Pak Dokter. Gimana sudah memulai misinya?"
"Sudah," jawabku.
"Terus?" tanya Firda.
"Apanya?" tanyaku bingung.
"Hasilnya. Sita kelepek-kelepek kan?" ujar Firda dengan tawa jahil.
"Ck. Sepertinya dia cuek dan tidak peduli. Aku patah hati deh," jawabku frustasi.
"Wiss ... jangan dulu. Baru juga satu kali pedekate sudah menyerah. Jalan masih panjang. Sita memang seperti itu. Dia memang menghindari masalah dengan pria karena dia takut sakit hati lagi."
"Maksudnya?" Aku mulai kepo.
"Sebenarnya Sita sudah bertunangan." kata Firda.
"Apa? Bertunangan? Kok kamu tidak bilang sebelumnya? Dengan siapa?" Aku merasa dadaku terbakar mendengar hal itu. Apakah itu artinya aku benar-benar tidak punya peluang?
"Dengar dulu, Dok. Sebelum datang ke sini Ayushita memang bertunangan. Tapi tunangannya memutuskan sepihak di hari pertunangannya dan pergi dengan wanita lain yang jadi kekasihnya. Sita terluka dan sakit hati melihat keluarganya kecewa. Makanya dia minta tugas di sini untuk menghindari bertemu mantan tunangannya dan juga keluarganya."
Ada rasa lega di hatiku. Namun juga ada kemarahan yang meluap terhadap mantan tunangan Ayu.
Pria bodoh. Gadis secantik dan sebaik Ayu dihempaskan begitu saja. Sehebat apakah perempuan yang telah merebut tunangan Ayu itu. Pasti tidak ada apa-apanya dibanding Ayu, wanitaku. Ekhm ... maksudnya wanitaku di masa depan.
Tanpa sadar aku tersenyum membayangkan Ayu di masa depan denganku.
"Dok, masih di sana?" Suara Firda menyentak lamunanku.
"Hmm."
"Jadi, dokter harus pelan-pelan mendekati Sita. Dokter harus bisa membuat dia merasa nyaman dengan Dokter dan bisa menerima kehadiran Dokter. Jangan sekali-kali menyinggung masa lalunya. Dan jangan juga terlalu menekan dia," nasehat Firda seperti seorang seorang yang sangat berpengalaman dalam hal percintaan.
"Tapi bagaimana kalau dia dekat dengan pria lain? Dia kan lagi dekat sama preman Joe itu. Aku tidak suka," ungkapku.
"Jangan khawatir dengan Joe. Aku rasa Sita tak punya perasaan apa-apa sama Joe. Hanya sebatas teman,"
"Bagaimana dengan Joe? Apakah kamu bisa jamin dia tidak ada rasa sama Ayushita?" celutukku kesal. Kesal membayangkan wajah Joe yang semakin tampan. Dia kini tidak bisa dipandang remeh lagi.
"Nah kalau itu aku tidak tahu. Kalau memang Joe punya rasa sama Sita artinya Dokter sudah punya saingan. Dokter harus mengeluarkan semua kemampuan Dokter untuk menaklukkan Sita. Dokter harus bersaing sehat dengan Joe. Dan tunjukkan pada Sita kalau Dokter serius suka sama dia," tambah Firda.
"Ck, ngomong sih gampang," dengusku.
"Eh, jangan putus asa dulu. Harus berjuang sampai Sita resmi jadi masa depannya. Aku mendukungmu, Dok."
"Okelah. Terima kasih ya."
***
Aku tercenung setelah sesi curhatku dengan Firda. Kini aku tahu alasan Ayushita selalu menghindariku. Dia punya luka yang belum sembuh. Bahkan masih berdarah mungkin.
Setelah memikirkan segalanya, kini aku bertekad akan menyentuh titik simpati gadis itu. Aku mungkin tidak berpengalaman dalam hal menaklukkan hati wanita, apalagi menghibur seorang gadis yang patah hati, tetapi Elvira pernah mengalami hal yang sama. Saat itu hanya aku yang sering mendampingi dia yang sedang hancur dan bersedih. Bahkan harus turun tangan memberikan bogem mentah ke pria tidak tahu diri yang telah menghancurkan adik perempuanku.
Perjuangan masih panjang. Rival pun sudah mulai tampil. Entah Joe layak dianggap rival atau tidak, tapi kedekatan Ayushita dengan mantan preman itu akan cukup membuatku kesulitan memenangkan hati calon masa depanku.
CALON MASA DEPAN
Aku tulis dengan huruf besar dan tebal di hatiku. Biar jadi motivasi.
***
Author POV.
Arjuna baru saja selesai memeriksa seorang pasien anak yang terkena diare di salah satu bangsal. Hujan kembali turun lumayan deras sore ini. Pria itu memandang butiran hujan yang mengembun di kaca jendela.
Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar ruang kerjanya. Segera dia membuka pintu ruang kerja itu. Dian tidak tampak di meja depan.
Seketika matanya membulat ketika mendapati Ayushita sedang berlari masuk ke dalam Puskesmas sambil menggendong seorang bocah yang sedang lemas. Tubuhnya basah kuyup karena terpaan hujan deras di luar.
"Dokter, tolong! Anak ini lemas karena tenggelam," pekik Ayushita di depan Arjuna yang terpaku.
Teriakan Ayushita menyadarkan Arjuna yang langsung sigap menyusul gadis itu yang sudah lebih dulu berlari ke ranjang di ruang penanganan darurat, meletakkan bocah dalam gendongannya di atas ranjang.
Arjuna menyingkap baju sang bocah lalu meletakkan stetoskop di atas dada anak itu.
"Denyut jantungnya masih ada tapi lemah," kata Arjuna.
"Apa yang terjadi?" tanya Arjuna pada Ayushita.
"Aku melihatnya tergelincir di dekat sungai pulang dari memancing. Dia jatuh ke dalam sungai dan mungkin pingsan karena aku menemukannya tidak bergerak. Aku mencoba memberi CPR. Dia sempat mengeluarkan air dari mulutnya lalu pingsan lagi," Ayushita menjelaskan dengan terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dengan bibir bergetar yang sama pucatnya.
Tak lama Dian datang tergesa-gesa bersama seorang ibu dan bapak yang merupakan orang tua korban. Keduanya tampak panik dan ditenangkan oleh Dian.
Arjuna dan Dian sibuk menangani anak itu. Dian mengganti pakaian basah anak itu lalu menyelimuti dengan selimut tebal. Sementara dokter Arjuna terus memeriksa denyut jantung dan beberapa bagian tubuh lainnya. Dia menemukan memar di belakang kepala dan punggung bocah itu. Mungkin hasil benturan saat tergelincir.
Ayushita berdiri menepi di sudut memperhatikan kesibukan mereka. Kedua tangannya memeluk tubuhnya yang mulai menggigil. Namun dia tidak berniat beranjak dari tempat itu. Matanya menatap cemas pada bocah yang belum juga sadarkan diri itu.
"Masih ada air yang menyumbat paru-parunya. Kita harus membawanya ke rumah sakit terdekat. Dian siapkan tabung oksigen dan peralatan yang dibutuhkan," ucap Arjuna dengan suara tenang. Dian segera menyiapkan perlengkapan untuk membawa korban ke rumah sakit kabupaten. Kedua orang tua anak itu pun setuju dan segera kembali ke rumahnya untuk berkemas.
Arjuna menoleh ke arah sudut ruangan dan mendapati Ayushita masih di sana dalam kondisi yang juga tampak tidak baik. Segera pria itu menyeret Ayushita ke ruangannya, mendudukkan di atas ranjang rawat. Dia segera mengambil sebuah selimut tebal dan menyelimuti seluruh tubuh Ayushita.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Arjuna sambil menatap wajah pucat Ayushita. Tangan lebarnya menggenggam erat tangan Ayushita yang terbungkus selimut.
Ayushita hanya mengangguk dengan tatapan mata sayu. Tubuhnya belum berhenti bergetar.
Arjuna lalu memanggil salah satu perawat yang biasanya menemani Dian dan menyuruhnya membuat secangkir teh panas. Pria itu lalu menelepon Firda untuk datang membawa pakaian kering dan tebal untuk Ayushita. Dia juga menjelaskan sedikit kondisi yang terjadi agar Firda tidak panik.
Tak lama perawat datang dengan teh panas dan menyerahkan pada Arjuna.
"Minum perlahan." Arjuna meletakkan cangkir hangat ke tangan Ayushita yang terbungkus selimut.
Ayushita lalu menyeruput teh perlahan. Tatapan Arjuna tak lepas dari wajah gadis di depannya. Setelah teh habis setengah Ayushita masih memegang cangkir hangat itu dan meletakkan di atas pangkuannya.
Arjuna kembali menggenggam kedua tangan Ayushita yang masih menggenggam cangkir untuk memberi kehangatan tambahan. Mata pria itu pun masih menatap lekat wajah gadis di depannya yang lebih memilih untuk menundukkan wajahnya. Tak ada yang berbicara, hanya keheningan membentang di antara suara derai hujan di luar sana.
"Dok, semua sudah siap." Suara Dian menginterupsi keheningan di antara mereka. Ada raut cemburu saat Dian melihat tangan Arjuna menggenggam tangan Ayushita. Namun saat ini bukan waktu yang tepat untuk meluapkan emosi pada gadis itu.
"Sebentar lagi Firda akan datang. Setelah ini istrahat dan telepon aku kalau kamu merasa deman," titah Arjuna pada Ayushita sebelum beranjak pergi menyusul Dian yang sudah masuk ke dalam mobil sedan Arjuna. Mobil itu akan mengantarkan bocah korban tenggelam ke rumah sakit.
Ayushita memandang kepergian mereka dengan raut cemas. Dia cemas dengan kondisi bocah itu.
Hingga Firda tiba dengan pakaian ganti kering dan sebuah jaket tebal. Keadaan Ayushita sedikit membaik.
"Astagfirullah, Sit. Bagaimana keadaan kamu?" pekik Firda cemas.
"Aku baik-baik saja. Basah semua nih," jawab Ayushita.
Firda menyerahkan baju ganti pada Ayushita.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kata Dokter Arjuna kamu terjun ke sungai menyelamatkan bocah tenggelam," sergah Firda.
"Seperti itulah. Nanti aku cerita lengkapnya. Aku mau pulang sudah mau Magrib nih," jawab Ayushita seraya keluar ruangan Arjuna setelah mengganti pakaian basah.
Mereka berpamitan pada perawat jaga di sana kemudian meninggalkan Puskesmas. Firda mengantar Ayushita pulang dengan motornya. Hujan sudah berhenti. Suara azan Magrib pun mengalun dari masjid kampung.
Setelah menunaikan shalat Magrib, Ayushita langsung merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Menyelimuti tubuhnya yang kembali menggigil. Kepalanya terasa pening. Hingga kesadarannya hilang dalam lelapnya.
Bersambung ...
💝💝💝
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 😉
See you next chapter 😘