Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 10 - BWW #10

Chapter 10 - BWW #10

๏ฟผ

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan penilaian positif, komen membangun dan power stone ๐Ÿ˜Š

Happy reading!

***

Ayushita terbelalak memandang orang itu dan lupa pada kailnya yang juga bergerak di permukaan sungai.

"Kamu ..."

Joe hanya menoleh sekilas tanpa ekspresi ke Ayushita kemudian kembali fokus pada kailnya.

Ayushita terpaku sejenak. Kailnya yang sedari tadi meronta kini diam pertanda sang ikan berhasil lepas kembali dari umpan maut milik Ayushita.

Dengan wajah sedikit merona karena salah tingkah, Ayushita kembali memandang ke permukaan sungai yang hanya menyisakan riak kecil. Tak ada percakapan di antara dua manusia yang duduk saling berjauhan itu. Suasana sunyi yang melingkupi pinggiran sungai hanya ditimpali oleh suara burung pelatuk di balik pohon, kecipak air sungai dan geleparan ikan dalam ember hasil tangkapan Joe.

Sore yang kian beranjak senja menciptakan nuansa baru di hati Ayushita. Seuntai senyum mengembang di sudut bibirnya. Sudut matanya pun sesekali melirik pria bersurai kuning berantakan dengan wajah datar di sebelahnya.

Joe, mungkinkah kamu mulai berubah.

***

Pagi yang cerah di sekolah menengah pertama di kampung Petak Hijau.

Proses pembelajaran berlangsung tertib dan hikmad. Bel istirahat sebentar lagi berdentang. Para siswa mulai terlihat semringah membayangkan menu lezat dan minuman segar di kantin sekolah.

Ketika bel akhirnya berdentang, para siswa berhamburan menyerbu kantin. Ayushita terkekeh melihat polah tingkah anak didiknya. Sepasang lesung pipi menghias kedua sisi wajahnya. Kedua matanya membentuk sudut melengkung seperti pelangi. Dua gigi kelinci yang berbaris rapi dengan gigi putih lainnya pun menambah efek manis pada wajahnya. Mungkin senyum inilah yang membuat semua siswanya terang-terangan menyatakan kekaguman padanya.

Saat berbalik hendak melangkah ke kantor Ayushita langsung membeku. Senyumnya langsung sirna seketika saat mendapati Arjuna sedang bersandar di salah satu tiang koridor sekolah. Pria itu terlihat begitu tampan dengan jas putih medis yang melapisi kemeja biru langit di tubuhnya. Kedua tangannya pun dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya.

Dan, ada apa dengan tatapan itu? Dua bola mata hitam pekat itu menyapu tajam wajah Ayushita, membuat gadis itu langsung menundukkan wajahnya.

'Oh Tuhan. Mengapa jantungku berdebar melihat senyum perempuan itu. Jika aku bisa membelinya maka aku akan membayar berapa pun agar tetap tersenyum seperti itu di depanku.' Arjuna menggumam sambil meremas kantung dalam celananya erat.

'Sejak kapan dokter itu berdiri di sana? Mengapa dia memandangku dengan tatapan seperti itu?' Dengan langkah tergesa Ayushita melewati Arjuna tanpa menyapa.

Arjuna mendehem lalu menegur Ayushita.

"Ibu Ayu, bisakah Anda mendampingi saya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan siswa hari ini?"

Ayushita berhenti lalu menoleh ke arah Arjuna. Gadis itu hampir membuka mulutnya untuk menjawab saat Dian dan Ibu Marlina salah satu guru senior muncul dari arah kantor.

"Dokter, saya mencari Anda tadi, ternyata ada di sini. Kita sudah akan mulai kan? Ibu Marlina akan membantu kita," ujar Dian dengan nada riang dan seolah menganggap Ayushita tidak ada.

"Saya rasa dokter tidak butuh bantuan saya lagi," kata Ayushita dengan senyum lugas. "Maaf saya tidak bisa membantu Ibu Marlina. Ada tugas siswa yang harus saya periksa." Ayushita mengusap lengan Ibu Marlina dengan mimik menyesal.

"Tidak apa-apa, Bu," tutur Ibu Marlina.

"Baiklah, silahkan lanjutkan dokter. Saya permisi." Ayushita pamit dan berlalu.

Arjuna gamang. Dia kembali ditolak. Gadis itu benar-benar menghindarinya. Sementara Dian diam-diam tersenyum senang.

Sepanjang siang itu pikiran Arjuna disibukkan dengan mengingat wajah tersenyum Ayushita. Bahkan sikap pedekate terang-terangan Dian tak digubrisnya. Hanya sesekali dia menyunggingkan senyum ke arah Ibu Marlina yang dengan sabar mengatur para siswa.

Di sudut hati terdalam Arjuna berharap saat ini Ayushita lah yang sedang berdiri di sana.

Apakah ini rasa suka. Entahlah. Namun sejak insiden malam itu dan ketika tadi dia secara tidak sengaja melihat senyum gadis itu, rasanya pikirannya telah dihantui oleh ibu guru muda itu.

Apakah ini cinta? Sekali lagi Arjuna tidak yakin.

Kisah kelam yang dialami ibunya dan dua adik perempuannya membuat dia tidak yakin dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan emosi bernama cinta. Baginya hidup hanya harus dijalani tanpa harus terikat pada seseorang. Arjuna terbiasa dikelilingi dengan rasa kagum dari kaum hawa terhadap dirinya. Maka dia tidak ada sedikit pun niat terikat dengan makhluk yang lebih banyak menggunakan perasaannya itu.

Bahkan dia berada di kampung ini hanya meyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan pernah mengenal rasa cinta agar kelak dia tidak merasakan yang namanya terluka.

Tetapi ada satu hal yang dilupakan oleh Arjuna. Sesungguhnya hatinya adalah milik Sang Pemberi hidupnya, yang meniupkan perasaan bahagia, duka, kecewa bahkan rasa cinta dalam kalbunya. Sang Maha Penguasa hati yang dengan mudah bisa membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Maka ketika kelak Arjuna sampai pada titik dia akan merasakan emosi yang mampu menjungkir-balikkan hidupnya itu, pria itu akan bisa melakukan apa nanti?

Setiap rasa sakit yang dirasakan oleh Arjuna maupun oleh Ayushita, tanpa mereka sadari telah menggiring keduanya pada permainan rasa yang rumit, yang kelak akan membuat mereka siap berkorban apa pun demi memenangkan rasa itu.

***

Joe sedang menyalin baju kaos ketika neneknya mengetuk pintu kamarnya. Tak lama pintu terbuka menampakkan wajah senja sang nenek.

"Mau kemana siang-siang gini, Nak?" tanya Nenek Joe heran melihat cucunya yang berpakaian santai. Pemuda itu tak pernah lagi memakai pakaian premannya meski tampilan rambut dan tindik di telinganya masih sama.

"Ke tambaknya Pak Jaja," jawab Joe sembari merapikan rambutnya.

"Mau apa di sana?" Nenek mengernyit.

"Kerja," jawab Joe singkat.

"Benar?" Joe mengangguk tetapi wajahnya tetap datar. Nenek sudah terbiasa dengan sikap cucunya itu.

"Alhamdulillah!" Nenek Joe berseru senang.

Joe lalu pamit pergi ke tambak Pak Jaja. Nenek Joe memandang kepergian cucunya dengan senyum lega di wajah keriputnya. Cucunya perlahan berubah menjadi lebih baik. Pemuda itu tidak bergaul lagi dengan teman-teman premannya.

Sesampainya di tambak Pak Jaja, Joe langsung diberi petunjuk oleh Fuad, pegawai kepercayaan Pak Jaja tentang pekerjaan yang harus dia lakukan. Dengan serius Joe memperhatikan petunjuk tersebut lalu mengerjakannya.

Dari jauh Pak Jaja memperhatikan gerak gerik Joe. Pria paruh baya itu menawarkan pekerjaan pada pemuda itu setelah masa hukumannya selesai. Awalnya Pak Jaja mengira Joe akan menolak. Tak disangka pemuda itu menerima tawaran itu. Beberapa pegawainya sempat protes mengingat sepak terjang Joe selama ini. Tetapi Pak Jaja meyakinkan para pekerjanya bahwa Joe sudah berubah dan meminta mereka untuk memperlakukan pemuda itu dengan baik.

Di sore hari, setelah menunaikan shalat Ashar seperti biasa Ayushita kembali nongkrong memancing di tempat biasa. Tak lama Joe ikut bergabung dengannya duduk di tempat kemarin.

Ayushita kembali dibuat melongo dengan kehadiran Joe di tempat itu. Pemuda itu seperti kemarin hanya diam tanpa bicara. Ayushita tergelitik ingin menyapanya.

"Joe," panggil Ayushita.

Berhasil. Pemuda itu menoleh meski hanya sebentar.

"Aku baru tahu kalau kamu suka memancing juga." Ayushita mencoba membuka percakapan.

"Ini tempat aku mancing waktu kecil," jawab Joe datar. Ayushita tersenyum.

"Maaf kalau aku mengambil tempat favoritmu ini," ucap Ayushita seraya mengamati raut Joe dari samping.

Pemuda ini sebenarnya tampan. Selama ini ketampanannya tertutupi oleh sifat urakannya. Rambut pirang buatan yang tidak terpotong rapi, dan tindik di telinga kanan. Hidungnya bangir, bola matanya yang kelam selalu menatap tajam.

Keheningan kembali menyeruak di antara mereka. Tiba-tiba seekor ikan menyambar kail milik Ayushita. Dengan gerakan refleks Ayushita meraih tongkat kail dan menarik dengan keras.

Perlawanan ikan yang menggelepar membuat Ayushita kewalahan. Dengan heboh gadis itu berteriak senang. Joe segera beranjak membantu Ayushita menarik kailnya saat melihat ikan tersebut hampir terlepas.

Mereka berdua tertawa saat bersama-sama menarik tongkat kail. Rasa canggung di antara mereka seketika menguap berganti dengan canda tawa seolah mereka telah bersahabat selama bertahun-tahun.

Dari jauh sepasang mata menatap tajam ke arah dua insan yang sedang bercanda satu sama lain. Ada kilatan marah berkelebat di wajah putih bersihnya. Sepasang tangannya mencengkeram setir motor dengan erat.

"Dokter mengapa kita berhenti di sini?" Dian yang duduk di boncengan heran saat Arjuna menghentikan motor mereka di tengah jalan. Untung saja jalan yang mereka lalui adalah gang sepi di sekitar tambak dan pinggiran sungai. Sehingga tidak mengganggu pengguna jalan lain. Mereka baru saja pulang dari memeriksa salah satu pasien darurat.

"Hmmm..." Arjuna hanya berdehem lalu melajukan kembali sepeda motornya. Mereka melewati Ayushita dan Joe yang masih asyik memancing sambil bercakap-cakap di sana.

"Lho, itu kan Ibu Sita dan siapa temannya?" celutuk Dian tiba-tiba. Arjuna hanya diam. Sementara Dian masih kepo mengamati kedua orang di pinggir sungai.

"Itu ... Joe? Tunggu. Itu Joe kan?" Dian berseru dengan keras. Arjuna terkejut tapi dia berusaha menguasai rasa terkejutnya tanpa menghiraukan seruan Dian.

"Hahaha ... tidak sangka ya, Ibu Sita itu seleranya memancing dan juga preman kaya Joe. Sepertinya mereka akrab sekali. Jangan-jangan mereka pacaran," ujar Dian dengan senyum licik.

"Itu urusan mereka. Tidak usah ikut campur," geram Arjuna. Dian hanya mencibirkan bibirnya. Senyum kemenangan terbit di sana.

'Hm. Aku akan membuat dokter Arjuna tidak suka dengan Sita. Biar tahu rasa guru itu. Dasar ganjen.'

Sementara Arjuna hanya tersenyum kecut. Ayushita terus saja menghindarinya tapi dia tersenyum lepas pada Joe.

'Ada apa dengan perasaan ini? Mengapa aku kesal saat melihat mereka? Huhhh. Apa peduliku,' dengus Arjuna.

Jika saja angin senja dapat bersuara maka dia akan menceritakan betapa galaunya hati sang dokter anak. Mulut bisa mengingkari tapi hati dan pikiran berkata lain. Apalah daya saat hati telah terpaut maka rasa sakit karena terus diabaikan perlahan mengiris asa. Hanya keyakinan yang akan membuatnya dapat bertahan.

***

"Sayang, kapan orang tua kamu merestui hubungan kita?" tanya Elena yang sedang bergelayut dalam pelukan Danuar.

Kedua anak manusia ini baru saja menuntaskan gairah mereka. Sudah beberapa hari Danuar tidak pulang ke rumahnya setelah menerima kobaran kemarahan ayahnya. Dia lebih sering menghabiskan malamnya di kontrakan sang kekasih yang belum sah menjadi istrinya. Tidak perlu tanya apa yang mereka lakukan di sana.

"Sabar sayang. Aku akan terus berusaha agar Papa dan Mama menerimamu jadi istriku. Segera. Tidak lama lagi kita akan menikah," janji Danuar.

Mata Elena berbinar. Ada sebaris asa terukir di hatinya untuk segera menjadi Nyonya Danuar. Jika dia menikah dengan Danuar maka hidupnya tidak akan susah lagi. Dia tidak perlu bekerja keras lagi. Sebagai pewaris usaha keluarga tentu saja Danuar akan memenuhi semua keinginannya.

"Lalu kapan kamu akan ketemu orang tuamu lagi. Ayolah sayang, baik-baiklah pada mereka supaya mereka merestui kita," desak Elena.

"Kamu kan tahu sayang, aku selalu emosi kalau Mama mulai bicara tentang Sita," ujar Danuar.

"Emang apa sih bagusnya Sita itu sampai Mama kamu menyukainya?" tanya Elena tidak senang.

"Jujur saja Sita itu gadis sabar, cantik pasti, dan dia itu dekat dengan Mama sejak kecil. Dia tidak pernah cengeng dan manja meskipun orang tuanya sangat memanjakannya," tutur Danuar. Seketika wajah tersenyum Ayushita melintas dalam benaknya.

"Tuh kan, kamu juga memuji dia. Jadi kamu belum bisa melupakan dia?" ketus Elena cemburu.

"Bukan begitu sayang. Aku cuma anggap dia seperti adikku. Dia saja yang salah paham dengan perhatianku. Mama juga begitu. Pokoknya tenang. Besok aku akan ketemu Mama dan bujuk dia lagi. Oke? Jangan cemberut dong!" Danuar langsung mengecup bibir kekasihnya yang masih saja cemberut.

Elena kembali tersenyum dan membalas kecupan Danuar dengan ciuman dalam nan menggairahkan. Selang beberapa saat mereka kembali bergelut melampiaskan berahi mereka.

Danuar benar-benar telah lupa diri. Dia telah terjerat pada pesona Elena hingga mengabaikan semua norma agama yang telah ditanamkan orang tuanya sejak kecil. Hanya nafsu ingin memiliki Elena yang terus melingkupi pikirannya.

Dan Elena begitu berbangga karena telah berhasil memenangkan hati Danuar dari tunangannya. Cita-citanya sebentar lagi tercapai.

Bersambung ...

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

See you next chapter guys! ๐Ÿ˜˜