Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 9 - BWW #9

Chapter 9 - BWW #9

***

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa rate, power store dan komennya.

💝💝💝

Dulu aku yakin dia jodohku tapi Tuhan, Allah SWT, selalu punya cara untuk menunjukkan bahwa yang ku kira jodohku ternyata bukanlah jodohku.

***

Nyonya Aliya termenung tanpa menyadari Pak Ruslan Ramadhan, suaminya masuk ke dalam kamar. Pria paruh baya itu heran melihat tingkah istrinya yang begitu pendiam sepanjang sore ini.

Hingga suaminya menyelesaikan hajatnya di kamar mandi pun Nyonya Aliyah masih dalam mode yang sama.

"Ma, lagi pikirin apa?" Suara Pak Ruslan membangunkan istrinya dari lamunannya.

Nyonya Aliya menatap suaminya dengan wajah sendu.

"Kenapa lagi? Kangen sama anak gadismu atau anak lanangmu?" tanya sang suami sembari duduk di tepi ranjang dekat istrinya.

"Pastinya Mama kangen dua-duanya. Mama memikirkan Ayu juga memikirkan Ayub yang belum berumah tangga." sahut Nyonya Aliya.

"Biarkan Ayub menentukan pilihannya, Ma. Belajar dari pengalaman yang dialami Ayu, cukup satu anak kita yang menanggung kesalahan kita," ujar Pak Ruslan.

"Tapi sebagai orang tua kita punya kewajiban untuk mengarahkan anak-anak kita memilih jodoh terbaik. Mama tidak berniat memaksa Ayub tapi kita harus mengingatkannya, Pa." Nada Nyonya Aliya semakin serius.

"Iya, nanti kita bicarakan baik-baik pada Ayub ya." Pak Ruslan tersenyum menenangkan istri tercintanya itu.

"Pa, hari ini Mama ketemu Danu. Dia sekarang sudah berani menggandeng pacarnya itu di depan Mama," ucap Nyonya Aliya.

"Biarkan saja, Ma."

"Tapi kok dia sampai segitunya. Dia benar-benar tidak menghargai perasaan Mama," ujar Nyonya Aliya emosi.

"Emangnya apalagi yang Mama harapkan? Danu kembali pada putri kita?" Pak Ruslan memandang lekat manik mata istrinya.

"Bukan begitu Pa ..." kilah Nyonya Aliya.

"Sudahlah Ma. Ikhlaskan. Danu bukan jodohnya Ayu. Doakan putri kita segera menemukan jodohnya. Dia anak yang berbakti. Allah akan kasi terbaik untuk dia." Pak Ruslan menepuk pundak istrinya lembut.

Nyonya Aliya tersenyum mendengar keoptimisan suaminya. Mereka kemudian mulai beranjak ke dalam mimpi masing-masing.

***

Dua minggu pasca insiden pengeroyokan Ayushita oleh kelompok Joe, kini pemuda itu berangsur-angsur pulih. Tangannya yang hampir patah akibat pelintiran Ayushita mulai membaik. Begitu pula dengan salah satu anak buahnya yang mengalami patah tulang hidung.

Sepulang dari Puskesmas Joe lebih banyak berdiam diri di rumah. Seluruh biaya pengobatan digratiskan meski keluarga Kakek Joe tidak punya BPJS. Kehidupan keluarga Kakek Joe tidak memungkinkan mereka mendaftarkan BPJS yang iurannya lumayan mencekik ekonomi bawah. Entah siapa yang telah berbaik hati menanggung semua biaya perawatan Joe.

"Joe, makan dulu, Nak!" pinta Nenek Joe di depan pintu kamar cucunya.

Tanpa banyak bicara Joe langsung bangkit menuju dapur lalu duduk di depan meja makan. Dengan telaten Nenek Joe menyendokkan nasi dan lauk ala kadarnya di piring pemuda itu.

"Enak?" tanya sang nenek. Joe mengangguk sambil masih sibuk menyuap makanan ke mulutnya. Nenek tersenyum senang.

"Apa rencanamu selanjutnya, Nak? Apakah ... kamu masih mau kembali ... jadi preman?" Suara Nenek Joe terdengar serak dan terbata.

Joe diam namun kini gerakan tangannya melambat. Setelah menghabiskan isi piring dan meneguk segelas air, Joe kembali masuk ke dalam kamarnya berdiam di sana. Entah apa yang sedang dipikirkan. Pandangannya menerawang ke langit-langit. Nenek hanya menghela napas memandang cucu satu-satunya itu.

Waktu berlalu, hari-hari berganti dengan cepat mengiringi roda kehidupan yang tak pernah berhenti berjalan. Ada banyak hal yang terjadi namun dengan cepat orang-orang akan melupakan.

Topik Wonder Woman perlahan hilang dari peredaran. Secepat berita heroik siswa-siswa kebanggaan Indonesia yang menjadi pahlawan dalam Olimpiade Fisika Internasional dalam sejam tertutup oleh gosip skandal artis ibukota.

Semua kembali tenang, Ayushita sibuk mengajar seperti biasa, Dokter Arjuna pun sibuk dengan pasien-pasiennya dan tak ketinggalan Dian yang terus menerus menempel padanya. Hanya Joe yang memberikan tampilan berbeda.

Setelah dinyatakan sehat Joe mulai menjalani hukumannya dengan melakukan pelayanan masyarakat dan kerja bakti selama sebulan bersama gengnya. Mereka membersihkan seluruh kampung, halaman masjid, puskesmas dan sekolah, serta aliran sungai.

Mereka juga wajib membantu warga yang akan melakukan hajatan atau mengantarkan warga yang akan berobat ke Rumah Sakit di kota. Bapak Kades dan Babinsa menjadi pembina geng preman itu selama menjalani masa hukuman.

Suatu pagi menjelang siang, Ayushita sedang mengajar di kelas VII.

"Well, students. How many cats are there in the picture?" tanya Ayushita pada siswa-siswanya yang fokus memperhatikan gambar. Siswa terbengong mendengarkan pertanyaan sang guru.

(Terjemahan: Baiklah siswa semua. Ada berapa ekor kucing di dalam gambar?)

Ayushita tersenyum mendapati tak ada yang menjawab.

"Cat?" Ayushita menunjuk gambar hewan berbulu yang lucu.

"Kucing, Bu?" seru salah satu siswi bernama Anggi. Ayushita mengangguk.

"How many cats? One, two or ... three?" tanya Ayushita lagi seraya menggunakan jari-jarinya seolah menghitung. Beberapa siswa tampak berbinar paham dan mulai menghitung kucing dalam gambar.

(Berapa banyak kucing? Satu, dua, atau ... tiga?)

"Tree, Ma'am," jawab siswa yang duduk di pojok. ( Sebenarnya mau sebut Three = tiga tapi sebut Tree = pohon )

"Okay, three." Ayushita mengoreksi cara pengucapan siswa tersebut diikuti oleh seluruh siswa. (Baik, tiga)

"Excellent..!!" Ayushita lalu mengacungkan jempolnya. Siswa tersebut tersenyum bangga disambut tepuk tangan kawan-kawannya.(Bagus sekali )

Pembelajaran terus berlangsung. Siswa-siswa berebut hendak menjawab pertanyaan sang guru hingga menyebabkan suara riuh. Joe dan gengnya yang hari itu mendapat tugas membersihkan pekarangan sekolah tertarik mendengar suara riuh dari dalam salah satu kelas.

Satu persatu kepala mereka menyembul di depan jendela, berusaha mengintip keseruan di dalam kelas. Kehadiran mereka belum disadari oleh Ayushita yang masih fokus dengan kegiatan mengajarnya.

Joe dan gengnya ikut serius memperhatikan Ayushita yang menjelaskan dengan sabar di depan kelas. Ada dua anak tampak usil dan hanya bercanda dalam kelas. Joe jadi geram melihat tingkah kedua anak tersebut.

Raut pemuda-pemuda itu tampak begitu mendamba melihat keasyikan siswa-siswa itu. Mereka hanyalah pemuda-pemuda putus sekolah yang juga ingin mengenyam pendidikan secara penuh seperti anak-anak lainnya. Mereka juga ingin menjadi anak-anak yang pandai dan mendapat gelar yang membanggakan orang tua. Namun sekali lagi kemiskinan merenggut kesempatan mereka untuk menikmati pendidikan. Kerasnya kehidupan menyebabkan mereka harus meninggalkan bangku sekolah untuk membanting tulang menopang nafkah keluarga. Bahkan tak sedikit dari mereka harus terpengaruh pergaulan tak benar yang menyebabkan salah jalan dan salah tindakan. Seperti Joe dan teman-temannya.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Keluarganya yang miskin? Masyarakat yang kurang peduli? Atau pemerintah?

Tidak ada yang patut disalahkan. Kita hidup dalam sistem yang kompleks dengan segala tata aturan di masyarakat. Kita hanya dituntut untuk peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan kita tanpa menyalahkan siapa pun. Rasa peduli akan membuat mereka yang merasa terbuang menjadi merasa dianggap tanpa menyinggung strata pendidikan atau pun ekonomi masing-masing. Karena kita sama di mata Tuhan. Sama-sama hamba-Nya. Dan sebagai warga negara kita semua memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan pendidikan yang memadai.

Suara gaduh di luar jendela mengalihkan perhatian Ayushita dari kelasnya. Ketika dia menoleh ke arah jendela tampaklah beberapa kepala menyembul di sana. Ayushita terkejut saat mengetahui siapa yang berdiri di sana.

Joe yang semenit kemudian bertemu tatap dengan Ayushita langsung terpaku. Pandangan matanya terlihat rumit dan ada semburat merah di wajahnya. Pemuda itu segera beranjak dari depan jendela menyembunyikan rona malu di wajahnya. Teman-temannya pun ikut bubar kembali ke aktifitas awal mereka. Mereka menyiangi rumput sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Sedangkan Ayushita kembali fokus di depan kelas.

Setengah jam kemudian Ayushita selesai mengajar dan kembali ke ruang kantor. Dalam perjalanan ke kantor gadis itu melewati Joe dan gengnya. Para pemuda itu hanya diam tidak menyapa sama sekali. Mereka pun tidak berani memandang ke arah Ayushita.

'Ada apa dengan mereka? Apakah mereka takut padaku?' pikir Ayushita.

Setelah berpikir sejenak, Ayushita lalu berbalik ke arah kantin. Dia membeli beberapa minuman gelas dingin dan juga roti bungkus aneka rasa.

Ketika tiba di dekat Joe dan gengnya, Ayushita berhenti sejenak.

"Joe," panggil Ayushita seraya mengangkat kantong plastik di tangannya. Setelah meletakkan kantong berisi minuman dan camilan di atas salah satu bangku taman, Ayushita melanjutkan langkahnya ke kantor.

Joe dan gengnya berpandangan satu sama lain. Heran dan takjub sekaligus.

Dengan gaya cool Joe menghampiri kantong tersebut lalu memeriksa isinya. Sekilas dia memandang punggung Ayushita yang baru saja menghilang di balik pintu.

"Woyy ... kita dapat rejeki dari bidadari cantik." Joe memberi kode gengnya untuk mendekat. Segera mereka berebut minuman dingin dan roti. Mereka melahap 'rezeki dari bidadari cantik' dengan hati bahagia seraya meledek bos mereka.

"Wah, ternyata guru bidadari perhatian ya," ujar salah satu pemuda yang ceking.

"Tapi dia kenalnya cuma Joe. Kita mah ... mana masuk hitungan," timpal lainnya.

"Tapi sepertinya wajah Bos Joe merona waktu namanya dipanggil sama guru bidadari," ledek pemuda pertama.

"Jangan-jangan Bos jatuh cinta sama guru bidadari." Wajah Joe memerah.

"Kalau aku mah ... mana berani. Takut dihajar lagi."

"Kalau aku biar saja jadi samsak-nya guru bidadari asalkan dia mau sama aku." Mereka tergelak menggoda Joe.

"Bisa diam gak sih. Anak-anak tuh pada belajar," bentak Joe. Bukannya takut pada bentakan Joe, mereka makin riuh menggoda Joe yang membuat wajah pemuda tersebut semakin memerah malu.

Sementara Ayushita diam-diam mengintip tingkah Joe dan teman-temannya dari balik jendela kantor.

"Lagi lihat apa?" tanya Firda tiba-tiba di belakang Ayushita. Gadis itu terkejut.

"Tidak ada apa-apa," jawabnya salah tingkah lalu kembali ke tempat duduknya.

Firda ikut memandang ke arah objek pengamatan Ayushita dan mendapati Joe dan gengnya sedang asyik bercanda di sana. Firda hanya tersenyum masam.

"Sit, kamu masih berurusan dengan mereka?" tanya Firda menghampiri tempat duduknya. Ayushita hanya diam.

"Please, hindari Joe, Sit. Jangan sampai dia macam-macam lagi sama kamu," cetus Firda.

"Tidak perlu suudzon sama orang. Lagian kalau mereka berani macam-macam mereka mau terbaring di Puskesmas lagi," jawab Ayushita sedikit jumawa.

"Cieee ... Wonder Woman kita. Dokter Arjuna sampai klepek-klepek dibuatnya," goda Firda dengan senyum jahil.

"Apaan sih, Fir."

***

Pulang sekolah Ayushita merasa sangat lelah. Hari ini dia harus mengajar full dari jam pertama hingga jam terakhir. Begini nasib guru rangkap mata pelajaran.

Setelah shalat Dzuhur dan makan siang Ayushita istirahat sejenak menikmati bunga-bunga dalam pot yang maramaikan teras rumahnya. Dia berencana memancing sore ini untuk lauk malam hari.

Lamunannya terganggu saat ponselnya berdering. Nama Dokter Arjuna tertulis di layar. Mengingat peringatan Dian beberapa waktu yang lalu membuat Ayushita enggan meladeni dokter itu. Dia hanya menghindari konflik apalagi yang berhubungan dengan pria.

Dering ponsel berhenti. Lalu lima menit kemudian sebuah pesan masuk. Dari siapa lagi kalau bukan sang dokter.

📩

Dokter Arjuna :

Besok aku pemeriksaan di sekolah.

"Buat apa kasi tahu aku? Kalau mau datang ya datang saja," gerutu Ayushita

📩

Dokter Arjuna :

Kamu yang mendampingi saya

"What??? Aku kamu. Sejak kapan kita akrab begini?"

📤

Me :

Firda yang dampingi. Sebenarnya itu tugas dia.

📩

Dokter Arjuna :

Aku maunya kamu. Kamu gampang menenangkan anak-anak yang rusuh.

📤

Me :

Firda juga bisa

Semenit. Dua menit. Lima menit. Lima belas menit. Tak ada lagi balasan.

"Mungkin dia ngambek," gumam Ayushita terkikik geli.

***

Pukul empat sore Ayushita sudah nongkrong di tempat biasa, di pinggir kali dekat tambak Pak Jaja. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, Ayushita membaca novel yang dibawa dari rumah. Embernya masih kosong.

Saking seriusnya, Ayushita tidak menyadari seseorang datang dan duduk di bawah pohon tempatnya memancing berjarak empat meter darinya. Orang tersebut ikut melempar kailnya dan duduk diam.

Sepuluh menit kemudian bunyi kecipak air sungai pertanda seekor ikan bergerak di sana. Ayushita mengalihkan perhatiannya dari novel yang dibacanya lalu meraih tongkat kailnya. Seketika dia terperanjat saat orang di sebelahnya menyentak tongkat kailnya dengan seekor ikan mujair tersangkut di ujungnya.

Ayushita terbelalak memandang orang itu dan lupa pada kailnya yang juga bergerak di permukaan sungai.

"Kamu ..."

Bersambung ...

💝💝💝

Mohon beri dukungan untuk novel author berjudul Sekretarisku Pengawalku yang sedang diikutkan kontes.

See you next chapter!