Setelah bercengkrama, berdialog, dan berbagi kisah akhirnya muncul rasa tak enak hati kalau-kalau kedatangannya mengganggu, sebab pagi bukanlah waktu yang pas untuk bertamu, dan saat itu keluarga Herman sedang bersiap membuka kedai. Sekarang sudah pukul 09.00 pagi, sudah waktunya untuk membuka jam oprasional kedai, lantas Luca pamit diri pada Herman beserta keluarganya.
"Sering-sering mampir ya, Ka," ujar Herman yang mengantar sampai kedepan pintu rumah.
"Pasti Mas." Menundukan kepala lalu lekas mengengkol motor.
Sesampainya dirumah Luca langsung merebahkan tubuhnya dikasur, mencari posisi senyaman mungkin, tetapi saat itu hatinya sudah kembali gelisah, kesepian memang racun. Berbaring kekiri dan kekanan tak menghasilkan tenang. Benarlah bahwa sepi adalah penjarah terbaik. Hingga akhirnya Luca duduk di meja kerjanya untuk menulis sebuah surat, dia mencurahkan rindu dan sepi dengan sastra, diambilnya selembar kertas yang menjadi media penumpah rindu itu.
Desember ini begitu dingin Anastasya, aku merindukan kehangatan keluarga. Pertemuanku dengan keluarga Herman Bach sangat menyenangkan, mereka benar-benar keluarga yang tahu caranya bahagia, aku begitu kagum dengan Herman, dia mengurus semua pekerjaan keluarganya, bahkan dia masih sempat meluangkan waktunya untukku. Ya aku, seseorang yang baru dikenalnya.
Anastasya kau tahu, rumah mereka sangat unik, berbeda dengan rumah-rumah seperti pada umumnya, halaman depannya luas dan ada kedai mie juga disana. Tidak hanya itu saja, halaman belakang rumah mereka merupakan kebun yang rimbun. Menyenangkan sekali berada disana, dan yang paling membuatku takjub, ketika aku diajak masuk kedalam rumah, ada sebuah ruangan kecil, mereka menyebut ruangan itu perpustakaan pribadi, kemudian di sanalah kami mengobrol, aneh saja bagiku, sebab rasa-rasanya ruangan itu tak menghadirkan asing. Ruangan yang dekorasinya diatur oleh Lilyana dengan sekeliling buku-buku yang bagus terpampang di rak yang rapi. Aku tidak tahu apakah Lilyana adalah pustakawannya, kebetulan saat itu aku tidak tanya.
Disana ada satu meja lesehan dan buku-buku yang tersusun rapi di rak yang di atasnya terdapat jam dinding tua berukuran besar. Jam dan buku disandingkan, aku tidak tahu apa filosofinya. Oh iya sayangku, ada yang membuatku gelisah saat ini, aku heran kenapa disana aku merasa akrab, tetapi merasa begitu asing di rumah kita sendiri. Sendirian itu tidak menyenangkan.
Luca telah selesai dengan suratnya, dia kembali merebahkan tubuhnya pada kasur, Luca mencapai satu titik kesimpulan, bahwa satu-satunya jalan keluar baginya adalah bertahan agar terbiasa dengan kesendirian. Dia juga belajar satu hal, bahwa kenangan tidak layak untuk dilupakan, meskipun sangat sakit jika teringat terus menerus, tetapi kenangan hanyalah sebuah kenangan, dia hanya berdampak sakit bagi orang yang berjiwa lemah, tetapi jika dia menghadapi kenangan itu dengan kejujuran, maka itu lebih baik. Luca sadar bahwa kejujuran adalah intinya, jujur pada diri sendiri, karena satu kebohongan indah yang dirinya ciptakan adalah sama buruknya dengan kebohongan yang buruk.
***
Tiga hari telah berlalu namun Luca belum keluar rumah sama sekali. Cengkraman adalah temannya saat itu, buku-buku adalah dialog yang tak saling bersahut lisan. Sebuah buku adalah mediasi bagi Luca untuk mengeksplorasi ide-idenya sekaligus menciptakan suatu tempat tersendiri untuk berlindung dari provokasi dan privasi.
Luca benar-benar berfikir, berkontemplasi, sebuah waktu kesendirian yang yang dia ciptakan untuk membiasakan diri. Suara pemantik kompor gas sering terdengar pada jam-jam tertentu, dan bersamaan dengan itu aroma teh hijau menyeruak melalui celah-celah kecil dan jendela yang sengaja di buka.
"Oh Tuhan … Desember macam apa ini! Sekarang gelap dingin dan suram, bahkan udara malam ini tanpa kehidupan," bergumam.
Kehampaan malam itu menambahkan kerinduan pada sinar fajar yang menghangatkan, Luca sedang berbaring ketika itu, memalingkan wajahnya kedinding dan merenung. Tekanan hidup tetap saja berat, bahkan bagi Luca yang sudah belajar banyak hal. Malam itu hanya menghadirkan hujan yang membasahi hamparan bumi, suka ataupun tak suka untuk di basahi, mereka akan tetap basah, karena langit mendung dikota sedang tak menyediakan ruang kering.