Piku pulang dengan membawa banyak makanan, di tariknya tali gasnya motor vespanya itu dengan kencang, dia melaju tanpa ragu-ragu sedangkan malam itu banyak sekali bintang, bulan juga bersinar terang, lampu kota juga ikut berkilauan.
Seteleh sampai di Mr.haouse Piku tidak langsung masuk ke kamar kostnya, tetapi mampir dulu sebentar ke kamar kost Mada, disana juga ada Paran yang sedang mengobrol dengan Mada.
"Kamu bawa apa, Ku?" tanya Mada.
"Ini ada makanan dari kantor,"Paran langsung mengambil kantong plastik yang berisi makanan itu dan menyiapkannya di atas meja, lalu setelah itu Mada dan Paran menyantap makanan yang dibawakan oleh Piku, sedangkan Piku sendiri malah berbaring di lantai.
Tak lama kemudian Piku tertidur karena kelelahan. Malam itu di Mr. house terdapat suasana yang ramai dan hangat, sedangkan dilain ruang, tepatnya dirumah Luca, merupakan malam yang sunyi dan masih saja pilu.
"Malam ini sangat dingin, tubuhku gemetar, udara ini menusuk masuk melalui pori-pori kulitku, sepertinya aku butuh teh hangat untuk menormalkan suhu tubuhku,"gumam Luca yang beranjak berdiri menuju dapur.
Luca membuat secangkir teh hangat dengan sedikit perasan jeruk nipis lalu ditaruhnya di atas meja, dia mengambil beberapa kertas dan pena, sebelum menulis surat Luca terlebih dahulu meminum teh yang dibuatnya itu hampir setengah gelas.
Kini dimanakah kau berada sayangku, sejauh mata memandang kau tak mampu kulihat dan telingaku tak mampu mendengar langkah kakimu, seberapapun jarak dimana keberadaanmu mengapa seakan aku merasa kau berada didakatku, tapi walau terasa dekat mengapa begitu menyesakkan batinku, adahkah penawar rindu selain pertemuan? Alasan yang sebenarnya tentang perubahan sikapku ini sungguh tidak jelas, pertama-tama kutulis dan kurangkai kata demi kata, akhirnya kupatahkan penaku dalam kebingungan.
Lalu Luca memasukkan kertas surat yang singkat itu kedalam amplop dan disimpannya pula amplop itu kedalam laci di meja itu, dia meminun lagi teh itu hingga tak tersisa, Luca meletakkan kepalanya diatas meja, dia menangis, benar-benar terisak sambal memukul meja itu dengan kepalan tangannya, wajahnya kini benar-benar pucat.
"Anastasya ... Anastasya, oh Anastasya," ujarnya dengan suara lirih.
Dia terus menerus memangil nama itu, tangan kirinya mencengkeram keras bagian paha dan air matanya tumpah berderai-derai. Luca tertidur tetap pada posisinya, duduk di kursi dengan kepala menindih lengannya yang berada diatas meja itu.
Kegundahan dan kegelisahan hatinya itu di istirahatkan oleh malam yang muram.
Malam itu mengisahkan dua kondisi yang saling bertolak belakang, seperti dua kutub magnet yang tak tersatukan, ada yang ramai dan sunyi. Di Mr.haouse lagi-lagi Piku dan Paran tertidur di kamar kost Mada, malam itu benar-benar penyelamat bagi keresahan setiap jiwa, seperti Piku yang lelah dengan pekerjaannya, Mada yang stress dengan skripsinya, Luca dengan kesepiannya, hanya Paran yang agaknya sedang bersenang hati malam itu.
Pagi-pagi sekali Paran sudah bangun meninggalkan Piku dan Mada yang masih tertidur, dia membuka pintu dengan pelan lalu kembali ke kost kamarnya sendiri untuk segera mandi, hari ini dia ada janji dengan Neta untuk pergi berjalan ke toko buku.
Pagi itu begitu indah, burung-burung berkicau, embun yang lembut dan aktivitas khas orang-orang di hari libur, seteleh selesai mandi Paran mempersiapkan diri untuk joging, udara pagi itu begitu sejuk, keramahan alam di pagi itu memberikan semangat.
Paran mulai berlari dengan rute Mr.House menuju taman kota, pada jalur yang ditempuh itu terdapat juga orang yang sedang berlari dan bersepeda namun tidak bertegur sapa, tidak ada komunikasi sosial, karena Paran berlari sambil mendengarkan musik dengan menggunakan hendset, hanya saja matanya melirik kesan kemarai memperhatikan sekitar jalan yang cukup ramai.
Langit begitu biru dan sinar matahari yang masuk melalui cela-cela awan putih, sesampainya di taman kota Paran langsung duduk di kursi-kursi taman yang tersedia, dia benar-benar merasa letih, keringatnya mengucur di sekujur tubuhnya. Taman kota itu penuh dengan bunga-bunga dan pepohonan yang hijau, ada juga bunga mawar yang begitu indah di salah satu taman kota itu.
Bunga itu sangat anggun, ada kepastian di dalam warnaya yang begitu mencolok, gumam Paran.
Kenapa tidak aku petikkan saja setangkai mawar itu untuk Neta dan mungkin Neta akan bersandar di pundakku, pikir Paran.
Setelah merasa cukup dengan istirahatnya Paran melanjutkan lari pagi itu dengan tujuan kembali ke Mr. House, dia cukup terburu-buru saat itu karena hari mulai terang dan janji bertemu dengan Neta adalah jam sepuluh pagi.
Sesampainya di kamar kostnya, Paran kemudian mengambil sekotak susu dan roti lalu menungakan susu itu kedalam cangkir, kemudian menghidupkan kipas dan setelah itu barulah Paran menyantap sarapan paginya itu.
Mungkin jika aku memulai obrolan dengan topik yang seru saat berjalan nanti akan baik, aku juga harus selalu tersenyum agar suasana menjadi ramah," pikirnya, Paran adalah type orang yang selalu merencanakan setiap hal yang akan dia lakukan, bahkan jika itu hanya sebuah pertemuan atau obrolan biasa saja, dia selalu punya rencana-rencana karena spontanitas itu bukanlah gayanya, butuh lebih dari keberanian untuk bersikap apa adanya.
Paran selalu menghindari kondisi dimana dia harus menunjukan dirinya yang sebenarnya, itulah mengapa dia sangat tertutup jika itu tentang masalah pribadi. Meraka akhirnya ketemuan ditoko buku tepat pukul 10.00 pagi. Pada akhirnya semua imajinasi tentang jalan-jalan yang menyenangkan itu seakan sirna.
Aku tak akan bisa memahami Neta bahkan jika aku seorang detektif sekalipun, terlintas di benak Paran.
Sementara Neta saat itu hanya sibuk dengan gadjetnya meski meraka berdua sedang jalan bersama. Perjalanan itu minim sekali komunikasi, meraka berdua sedang berada di dalam elevator yang ada di pusat perbelanjaan buku.
Hari itu sekitar pukul sepuluh pagi lewat sedikit, mereka pergi untuk membeli buku sebagai bahan referensi ujian yang jadwalnya semakin dekat.
Samar-samar Paran menyadari bahwa pintu elevator yang sedang meraka gunakan perlahan terbuka. Saat pintu itu terbuka dengan sempurna ada seorang pekerja kebersihan dengan alat penghisap debunya yang akan masuk menggunakan elevator juga, mereka berhadap-hadapan.
Paran dan Neta kemudia keluar sedangkan pekerja itu masuk, Paran memalingkan kepala dari pekerja itu, dia tidak mau jika pekerja kebersihan itu sampai melihat matanya yang terlihat sangat sedih, sejenak hening. Paran dan Neta berjalan menyusuri rak-rak buku tanpa ada pembicaraan.
Ketika sedang mencari buku tiba-tiba saja Paran teringat satu jam sebelumnya, ketika mereka belum sampai di tempat perbelanjaan buku itu, saat itu di kamarnya sambil sarapan Paran membayangkan perjalanan ini akan sangat menyenangkan, dengan canda tawa atau mungkin setelah itu mereka akan mampir di tempat makan berharap hubungan mereka bisa lebih dekat dari sekedar pertemanan.
Namun ketika itu di tengah lamunan tiba-tiba saja Neta menupuk pundak Paran sambil berkata.
"kita mapir ke tempat makan dulu ya setelah aku membayar buku-buku ini di kasir, mau kan?"
Paran tersenyum lalu menjawa "Iya aku juga sudah lapar."
"Ini mungkin kesempatan yang bagus setelah gagal dalam topik pembicaraan, sebab Neta yang sibuk dengan dirinya sendiri,"sambung Paran di dalam hati.
Lalu mereka berdua menuju kasir untuk membayar buku yang telah dipilih kemudian lekas menuju salah satu cafe yang tidak berada jauh dari toko buku itu.
Setelah meraka berdua sampai di cafe dan duduk di salah satu meja yang tersedia, pelayan datang menghampiri dengan membawakan menu makanan, Paran memesan secangkir kopi dan spaghetti sedangkan Neta memesan secangkir capucino dengan sepotong cake coklat strawberry.